PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

 

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN)

AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

Oleh:

Agus Suhariono

 

Pendahuluan

Notaris merupakan jabatan yang diciptakan dan dibentuk untuk memenuhi unsur Pejabat Umum sebagaimana ditentukan pada Pasal 1868 KUH Perdata yang mengatur mengenai akta otentik. Pada Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, diatur unsur-unsur suatu alat bukti tertuls sebagai akta otentik yang meliputi:

a.       Bentuknya diatur dalam undang-undang;

b.      Dibuat oleh/dihadapan Pejabat Umum.

c.       Tempat pembuatan akta.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata di atas, kemudian diciptakan Notaris sebagai Pejabat Umum, yang keberadaannya sekarang ini diatur dalam Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Noomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN).

Salah satu unsur, agar akta notaris memenuhi kriteria sebagai akta otentik menurut Pasal 1868 KUH Perdata adalah mengenai bentuk akta diatur dalam undang-undang. UUJN sebagai undang-undang yang mengatur mengenai jabatan Notaris, di dalamnya telah cukup jelas di atur :

1)      kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum

2)      kewenangan Notaris dan pembatasannya

3)      persyaratan dan tatacara pengangkatan serta pemberhentian Notaris

4)      bentuk akta dan tatacara penulisan akta serta tatacara pembuatan akta

5)      kewajiban dan larangan serta sanksi-sanksi sebagai bentuk tanggung jawabnya

6)      pembinaan dan pengawasan pelaksanaan jabatan

Dengan demikian UUJN merupakan pedoman bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya.

Isu hukum dalam penulisan ini adalah terkait adanya seorang Notaris digugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut Pasal 1365 KUH Perdata, karena tidak adanya paraf pada setiap halaman dari minuta akta, sehingga Penggugat menganggap tidak diparafnya setiap halaman pada minta akta, belum tercapai kesepakatan berkenaan hal-hal yang dimuat dalam akta notaris.

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang hendak dikaji adalah bagaimana prosedur pembacaan dan penandatanganan akta (verleiden) dalam pembuatan akta notaris?

Manfaat dan tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai masukan bagi Notaris dan penegak hukum (hakim) dalam memahami prosedur pembacaan dan penandatanganan akta (verleiden) pada akta notaris.

 

Pembahasan

1.   Pengaturan Bentuk Akta Notaris Menurut UUJN

UUJN telah memberikan pengaturan mengenai bentuk akta, mulai dari sistematika akta, tatacara penulisan hingga tatacara pembacaan dan penandatanganan akta (verleiden). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa bentuk akta notaris harus memenuhi semua persyaratan yang ditentukan UUJN agar akta notaris tersebut memiliki kekuatan sebagai akta otentik.

Pelanggaran terhadap sistematika akta, tatacara penulisan serta tatacara pembacaan dan penandatangan akta (verleiden) merupakan pelanggaran terhadap bentuk akta, sehingga dapat berakibat hukum, akta notaris itu tidak mempunyai kekuatan sebagai akta otentik atau terdegradasi menjadi menjadi akta dibawah tangan.

2.   Prosedur pembacaan dan penanda tanganan akta (verleiden)

Terkait mengenai prosedur pembacaan dan penandatangan akta, menurut Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN disebutkan:

“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.”

Berdasarkan ketentuan di atas, memberikan kewajiban kepada Notaris dalam prosedur verleiden, yaitu Notaris wajib:

a.       Membacakan akta

b.      Di hadapan penghadap dan saksi-saksi

c.       Menandatangani akta saat itu juga

Selanjutnya kewajiban untuk melaksanakan prosedur pembacaan dan penandatangan akta (verleiden) dapat dikelompokkan menjadi beberapa unsur, yaitu:

a)      unsur pembacaan

b)      unsur penghadap

c)      unsur saksi

d)     unsur tanda tangan

Adapun fokus penulisan ini adalah mengenai unsur pembacaan akta, maka pembahasannya berfokus pada unsur pembacaan akta.

Menurut Pasal 16 ayat (1) huruf m, disebutkan: “Notaris wajib membacakan akta…”  Adapun prosedur pembacaan akta menurut Pasal 16 ayat (1) huruf m adalah:

1)     pembacaan dilakukan dihadapan penghadap dan saksi-saksi.

2)  setelah akta dibacakan oleh Notaris, minuta akta ditandatangani saat itu juga oleh setiap penghadap, saksi-saksi dan Notaris.

Selanjutnya menurut Pasal 16 ayat (7), disebutkan: “Pembacaan… tidak wajib dilakukan jika penghadap menghendaki…”

Ketentuan Pasal 16 ayat (7) merupakan prosedur sebaliknya (a contrario) dari Pasal 16 ayat (1) huruf m. Adapun prosedur sebaliknya untuk tidak membacakan akta menurut Pasal 16 ayat (7) adalah:

1)      dikehendaki para penghadap

2)      dinyatakan dalam penutup akta

3)      setiap halaman minuta di paraf oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris

4)      pada bagian setelah akhir akta ditanda tangani saat itu juga oleh setiap penghadap, saksi-saksi dan Notaris

Antara ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m dengan Pasal 16 ayat (7) merupakan alternatif atau pilihan. Dengan kata lain, apabila kewajiban notaris sebagaimana ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, berikut prosedur penandatangannya telah dipenuhi oleh Notaris, maka ketentuan Pasal 16 ayat (7) menjadi tidak berlaku.

Demikian pula sebaliknya (a contrario), apabila karena suatu keadaan, yaitu adanya permintaan dari penghadap, agar akta tidak perlu dibacakan, maka prosedur penandatangannya mengikuti ketentuan Pasal 16 ayat (7).

Berkaitan dengan kasus konkrit yang menjadi isu hukum dari penulisan ini, yaitu gugatan PMH kepada notaris terkait setiap halaman minuta tidak diparaf, maka penyelesaian dari kasus tersebut dapat dilihat pada bagian penutup akta yang merupakan keterangan dari notaris sebagai bagian kewenangan notaris sebagai pejabat umum.

3.   Pembacaan Akta Sebagai Sarana Melakukan Renvoi Terhadap Perubahan dan/atau Koreksi Penulisan

Kewajiban membacakan akta sebagaimana ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, dapat merupakan sarana untuk melakukan renvoi terhadap perubahan kata atau kalimat, baik karena permintaan penghadap ataupun koreksi apabila terjadi kesalahan penulisan.

Setiap renvoi dapat berupa penambahan, pencoretan maupun penggantian, dan hanya dianggap sah apabila perubahan tersebut diakui dan disahkan oleh setiap penghadap, saksi-saksi dan Notaris dengan membubuhkan paraf pada bagian kiri halaman dari minuta akta. Renvoi tersebut dilakukan karena memang isi akta tidak boleh diubah / ditambah sebagaimana ditegaskan dalam pasal 48 ayat 1 UUJN.

Pengaturan lebih lanjut mengenai renvoi, diatur dalam Pasal 49 UUJN, yang mengatur:

1)   Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta.

2)   Apabila suatu perubahan tidak dapat dibuat di sisi kiri akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

3)   Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.

Dalam hal atas permintaan penghadap, Notaris tidak wajib membacakan akta, maka sebagai tanda pengakuan dan pengesahan, pada setiap akhir halaman dari minuta akta dibubuhi paraf dari setiap penghadap, saksi-saksi dan Notaris.

 

4.   Kekuatan Pembuktian Keterangan Notaris Pada Penutup/Akhir Akta

Menurut Pasal 38 ayat (4) huruf a UUJN disebutkan: Akhir atau penutup Akta memuat uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7).

Frasa kata atau dari ketentuan di atas, mempertegas bahwa antara ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN mengenai Notaris wajib membacakan akta dengan ketentuan Pasal 16 ayat (7) mengenai Notaris tidak wajib membacakan akta adalah sebuah alternatif atau pilihan.

Pilihan terhadap hal tersebut, dinyatakan/diterangkan oleh Notaris pada bagian penutup/akhir akta. Uraian tentang pembacaan sebagaimana ketentuan di atas, merupakan keterangan Notaris sebagai Pejabat Umum. Oleh karenanya keterangan tersebut harus dianggap benar. Apabila keterangan tersebut disangkal, maka harus dilakukan pembuktian terbalik, artinya pihak yang menyangkal harus membuktikan bahwa keterangan tersebut tidak benar.

 

Kesimpulan

UUJN merupakan pedoman bagi Notaris dalam menjalankan jabatan dan kewenangannya, yaitu membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan sebagai akta otentik. Di dalam UUJN telah cukup jelas diatur mengenai bentuk akta, tatacara penulisan dan tatacara pembuatan akta.

Terkait tatacara pembacaan dan penanda tanganan akta, diatur 2 (dua) cara atau syarat sebagai alternatif yang bersifat sebaliknya (a contrario), yaitu ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m dengan ketentuan Pasal 16 ayat (7), yang berarti apabila salah satu syarat telah dilakukan, maka syarat/prosedur sebaliknya menjadi tidak berlaku.

Alternatif membacakan atau tidak membacakan akta, diyatakan/diterangkan oleh Notaris pada bagian penutup/akhir akta, yang berlaku sebagai keterangan pejabat dan harus dianggap benar.

Apabila keterangan tersebut disangkal, maka diperlukan pembuktian terbalik, artinya pihak yang menyangkal harus membuktikannnya.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA