AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI


AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI



PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya perbuatan hukum baru. (Emma Nurita, 2012:3) Sebagai contoh, dalam kontrak elektronik, dokumen elektronik, bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT) menampung aspirasi perkembangan teknologi informasi dengan dibukanya peluang untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham melalui media telekonferensi (RUPS Telekonferensi) yang terdapat pada pasal 77 ayat (1) UUPT yang menentukan bahwa : “Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat.” Perkembangan teknologi informasi ini telah menggabungkan ketentuan UUPT yang menimbulkan pemikiran baru untuk menyatukan kemajuan teknologi informasi dengan proses pembuatan akta otentik (Man Sastrawijaya D. Mantili, 2008, h.4).
Proses pembuatan risalah rapat menjadi akta notaris tidak memiliki hambatan jika RUPS dilakukan secara konvensional. Permasalahan akan muncul ketika RUPS dilakukan melalui media telekonfrensi karena pemegang saham tidak berada dalam satu tempat yang sama dalam melaksanakan RUPS tetapi berada pada letak geografis yang berbeda-beda dalam waktu yang sama dalam melaksanakan RUPS (Muntinah, 2017).
Jika dalam pelaksanaannya RUPS telekonferensi menuangkan dengan akta yang dibuat langsung oleh Notaris yang hadir dalam RUPS tersebut dalam bentuk Berita Acara Rapat, maka permasalahan yang muncul adalah tidak semua para pemegang saham yang hadir dalam RUPS berada di tempat yang sama dimana Notaris tersebut hadir didalam RUPS karena menggunakan media telekonfrensi. Kondisi ini mengakibatkan para pemegang saham yang hadir dalam RUPS tidak secara keseluruhan berada dihadapan Notaris. Sebagaimana yang diatur dalam dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) bahwa “akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Sedangkan pengertian akta otentik menurut pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) adalah “suatu akta yang ada di dalam bentuk yang ditentukan dalam Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu tempat dimana  akta dibuatnya.”
Ketentuan Pasal 77 UUPT akan menyebabkan disharmoni dengan ketentuan dalam UUJN apabila akta Risalah RUPS PT melalui media telekonfrensi harus dituangkan dalam sebuah akta notaris. Hal ini berbeda dalam proses pembuatan Risalah RUPS PT menjadi akta notaris yang dilakukan secara konvensional atau langsung dihadiri oleh seluruh peserta rapat. Hal tersebut akan membawa perubahan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, bergeser dari sistem konvensional dengan cara berhadap-hadapan atau tatap muka langsung, menjadi cyber notary dengan berbasis pada sistem elektronik.
Disharmoni tersebut diatas dapat dilihat dalam ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN bahwa : “Kewajiban Notaris membacakan akta didepan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.” Dengan ketentuan itu, dapat dilihat bahwa notaris harus mengenal para penghadap dan pengenalan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta, dan saksipun disebutkan sebagaimana dimaksud Pasal 40 ayat (3) UUJN yang menyatakan bahwa, saksi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 40 (1) UUJN harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas kepada notaris oleh penghadap dan juga pada pasal 40 ayat (4) yang menyatakan ”pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta”.
Makna yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut bahwa baik para penghadap, saksi maupun Notaris harus saling mengenal berdasarkan identitas yang diperlihatkan secara langsung kepada Notaris dan secara bersamaan hadir ditempat yang sama  pada saat itu juga, menyatakan haidr secara fisik, baik para penghadap, saksi, dan juga Notaris (vide Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN). Dengan perbandingan pasal-pasal yang telah disebutkan diatas, maka dapat dilihat bahwa ketentuan dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT yang mengatur tentang akta Risalah RUPS PT melalui media telekonfrensi ketidaksingkronan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN dan ketentuan lain yang diatur dalam UUJN.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana kedudukan akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas melalui media Telekonferensi yang dibuat oleh Notaris?
2.      Apa langkah perubahan UUJN untuk mengakomodir kemajuan Teknologi Informasi Khususnya dibidang RUPS PT ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas melalui media Telekonferensi yang dibuat oleh Notaris dan langkah perubahan UUJN untuk mengakomodir kemajuan Teknologi Informasi Khususnya dibidang RUPS Perseroan Terbatas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Kedudukan Akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas Melalui Media Telekonferensi Yang Dibuat Oleh Notaris
Saham merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah Perseroan Terbatas (PT). Saham merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu PT sebagai tanda bukti kepemilikan modal (Handri Raharjo, 2009, h.86).
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UUPT, saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan atas saham suatu PT.
Kepemilikan atas suatu saham, memberikan hak pada pemilik saham. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUPT, yaitu:
1.   Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
2.   Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi:
3.   Menjalankan hak lain berdasarkan UUPT
Hak tersebut di atas baru berlaku setelah dicatat dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya. Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi. Dalam hal satu saham dimiliki oleh lebih dari satu orang, hak yang timbul dari saham tersebut dengan cara menunjuk satu orang sebagai wakil bersama (vide Pasal 52 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UUPT).
RUPS merupakan forum bagi para pemegang saham sebagai pemilik Perseroan dapat melakukan kontrol terhadap kepengurusan yang dilakukan Direksi maupun terhadap harta kekayaan serta kebijakan kepengurusan yang dijalankan oleh manajemen Perseroan. RUPS memiliki kewenangan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 75 ayat (1) UUPT yang menyatakan : RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Selain kewenangan umum tersebut, UUPT juga mengatur mengenai kewenangan RUPS yang lain secara khusus dan spesifik.
Adapun kewenangan-kewenangan RUPS tersebut yang diatur dalam UUPT 2007 antara lain sebagai berikut :
-          Menyatakan menerima atau mengambilalih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan pendiri atau kuasanya (vide Pasal 13 Ayat (1) UUPT).
-          Menyetujui perbuatan hukum atas nama Perseroan yang dilakukan semua anggota Direksi, semua anggota Dewan Komisaris bersama-sama pendiri dengan syarat semua pemegang saham hadir dalam RUPS, dan semua pemegang saham menyetujuinya dalam RUPS tersebut (vide Pasal 14 Ayat (4) UUPT).
-          Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS (Pasal 19 Ayat (1) UUPT).
-          Memberi persetujuan atas pembelian kembali atau pengalihan lebih lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan (vide Pasal 38 Ayat (1) UUPT).
-          Menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS atau pembelian kembali atau pengalihan lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan (vide Pasal 39 Ayat (1) UUPT).
-          Menyetujui penambahan modal Perseroan (vide Pasal 41 Ayat (1) UUPT).
-          Menyetujui pengurangan modal Perseroan (vide Pasal 44 Ayat (1) UUPT).
-          Menyetujui rencana kerja tahunan apabila anggaran dasar menentukan demikian (vide Pasal 64 Ayat (1) jo. Ayat (3) UUPT).
-          Memberi persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris (vide Pasal 69 Ayat (1) UUPT).
-          Memutuskan penggunaan laba bersih, termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan wajib dan cadangan lain (vide Pasal 71 Ayat (1) UUPT).
-          Menetapkan pembagian tugas dan pengurusan Perseroan antara anggota Direksi (vide Pasal 92 Ayat (5) UUPT).
-          Mengangkat anggota Direksi (vide Pasal 94 Ayat (1) UUPT) dan memberhentikannya (vide Pasal 105 ayat (2) UUPT) atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara yang dilakukan Dewan Komisaris terhadap anggota Direksi (vide Pasal 106 ayat (7) UUPT).
-          Menetapkan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi (vide Pasal 96 Ayat (1) UUPT).
-          Menunjuk pihak lain untuk mewakili Perseroan apabila seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan (vide Pasal 99 Ayat (2) huruf c UUPT).
-          Memberi persetujuan kepada Direksi untuk : a). mengalihkan kekayaan perseroan, atau b). menjadikan jaminan utang kekayaan perseoran (vide Pasal 102 Ayat (1) UUPT).
-          Memberikan persetujuan kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga (vide Pasal 104 ayat (1) UUPT).
-          Mengangkat anggota Dewan Komisaris berikut penggantian dan pemberhentiannya (vide Pasal 111 UUPT).
-          Menetapkan tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan anggota Dewan Komisaris (vide Pasal 113 UUPT).
-          Mengangkat Komisaris Independen (vide Pasal 120 ayat (2) UUPT).
-          Memberi persetujuan atas Rancangan Penggabungan (vide Pasal 223 ayat (3) UUPT).
-          Memberi persetujuan mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan (vide Pasal 127 ayat (1) UUPT).
-          Memberi keputusan atas pembubaran Perseroan (vide Pasal 142 ayat (1) huruf a UUPT).
-          Menerima pertanggungjawaban likuidator atas penyelesaian likuidasi (vide Pasal 143 ayat (1) UUPT).
Berdasarkan Pasal 76 UUPT, RUPS diadakan di tempat kedudukan PT atau di tempat PT melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar [vide ayat (1)]. Jika merupakan PT terbuka maka RUPS dapat diadakan di tempat kedudukan bursa dimana saham PT dicatatkan [vide ayat (2)]. Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu. RUPS dapat diadakan di manapun dengan keputusan suara bulat [vide ayat (4)]. Tempat RUPS yang dimaksud harus berada di wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun RUPS diselenggarakan berdasarkan kesepakatan dan persetujuan para pemegang saham, RUPS tidak boleh diselenggarkan di luar wilayah Indonesia.
Disamping tempat penyelenggaraan RUPS secara konvensional tersebut, UUPT juga mengatur mengenai penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dan elektronik seperti media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat (vide Pasal 77 ayat (1) UUPT). Mekanisme penyelenggarakan RUPS melalui telekonferensi baik mengenai persyaratan kuorum maupun persyaratan pengambilan keputusan dipersamakan dengan tempat penyelenggaraan RUPS di luar tempat kedudukan PT sepanjang masih di dalam wilayah Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) dan ayat (4) UUPT. Demikian pula pengaturan dalam Pasal 77 UUPT adalah merupakan penegasan mengenai persyaratan RUPS yang dilakukan di luar tempat kedudukan PT.
Pada umumnya RUPS diselenggarakan melalui tatap muka, baik secara langsung maupun melalui media elektronik. Namun dalam realitanya mengumpulkan para pemegang saham pada suatu tempat dan waktu yang bersamaan untuk mengadakan RUPS secara konvensional seringkali mengalami hambatan, juga pertimbangan RUPS melalui media elektronik dianggap masih mahal serta keterbatasan perangkat/media elektronik yang dimiliki PT sehingga RUPS melalui media elektronik juga masih susah untuk dilakukan. Untuk itu pembuat UUPT merasa perlu untuk mengatur pengambilan keputusan yang mempunyai kekuatan yang dengan RUPS yang dilakukan diluar RUPS yaitu melalui pengaturan dalam Pasal 91 UUPT yang menyebutkan : "Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
Keputusan RUPS adalah sah jika persyaratan penyelenggaraan telah dipenuhi dan dihadiri oleh pemegang saham dengan memenuhi ketentuan kuorum serta jumlah pemegang saham yang telah ditentukan dalam UUPT dan anggaran dasar yang mengatur mengenai ketentuan kuorum.
Secara umum, RUPS dianggap telah memenuhi persyaratan mengenai kuorum jika dihadiri oleh lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah seluruh saham atau diwakili kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan lain (vide Pasal 86 ayat (1) UUPT). Jika ketentuan tersebut tidak dapat dicapai maka dapat diadakan RUPS yang kedua kalinya. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS tersebut paling sedikit 1/3 (sepertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakilkan, kecuali anggaran dasar menentukan lain, Namun, jika  didalam RUPS kedua tersebut juga tidak tercapai maka PT dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan PT atas permohonan PT agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. RUPS yang ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Penetapan mengenai kourum ini bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (artinya bahwa atas penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali).
Setiap akan diselenggarakannya RUPS, Direksi wajib melakukan pemanggilan terlebih dahulu kepada para pemegang saham. Dalam hal tertentu pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan pengadilan (vide Pasal 81 ayat (1) UUPT). Selanjutnya Pasal 82 UUPT mengatur mengenai tatacara pemanggilan. Pemanggilan harus dilakukan dalam waktu 14 (empatbelas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar. Dalarn panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan. Dalam hal pemanggilan RUPS yang kedua atau yang ketiga dapat dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. Pemanggilan RUPS tidak disyaratkan jika semua pemegang saham hadir dan/atau diwakiliki dalam RUPS.
Keputusan dalam RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak tercapai maka dapat ditempuh melalui mekanisme pengambilan suara (voting). Secara umum keputusan pengambilan suara (voting) adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan (vide Pasal 87 UUPT). Dalam hal-hal tertentu berlaku ketentuan khusus antara lain dalam :
1.   Pasal 88 UUPT, yang menyatakan bahwa RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (duapertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakilkan dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
Dalam hal kehadiran kuorum tidak tercapai, maka dapat diselenggarakan RUPS kedua. RUPS kedua ini sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menetukan kuorum kehadiran dan/atau ketetuan tentang pegambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
2.   Pasal 89 UUPT, yang menyatakan bahwa RUPS untuk menyetujui penggabungan, pegambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan agar PT dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran PT dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan lain dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS lebih besar.
      Setiap keputusan yang diambil dalam RUPS yang diselenggarakan sesuai ketentuan adalah sah dan mengikat PT. Kekuatan mengikat itu berlaku dan tidak dapat dikesampingkan oleh dan/atau untuk organ PT lainnya termasuk organ RUPS itu sendiri.
Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalahnya. Penyelenggaraan RUPS yang tidak dibuat risalahnya dapat dianggap RUPS itu tidak pernah ada yang dapat mengakibatkan hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam RUPS tidak dapat dilaksanakan. Risalah rapat merupakan catatan mengenai apa yang telah dibicarakan dan diputuskan dalam suatu rapat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa risalah rapat adalah alat bukti yang berisi catatan mengenai kejadian dan keputusan dari rapat.
UUPT mengatur pedoman untuk membuat risalah rapat sehingga risalah rapat tersebut dapat dijadikan alat bukti bahwa keputusan RUPS mempunyai kekuatan yang mengikat bagi PT. Pedoman risalah rapat tersebut diatur dalam Pasal 90 UUPT yang menyatakan :
1)   Setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS.
2)   Tanda tangan sebagaimana pada ayat (1) tidak disyaratkan apabila risalah RUPS dibuat dengan akta notaris
Dengan berpedoman pada Pasal 90 tersebut, maka risalah RUPS dapat dibuat melalui 2 cara, yaitu :
a.   Secara di bawah tangan (onderhand) yang dibuat dan disusun sendiri oleh direksi perseroan.
Dalam prakteknya risalah RUPS yang dibuat secara di bawah tangan bisa disebut notulen atau risalah. Cara ini dipilih oleh direksi dan/atau pemegang saham perseroan apabila agenda RUPS hanya membahas dan memutuskan hal-hal yang dianggap hanya berlaku di dalam lingkungan perseroan sendiri ataupun karena alasan-alasan lainnya termasuk alasan karena biaya (cost) yang harus dikeluarkan.
b.   Secara akta notaris (akta otentik) yang dibuat dan disusun oleh notaris.
Notulen/risalah yang dibuat notaris disebut berita acara. Cara ini dipilih oleh direksi dan/atau pemegang saham perseroan apabila agenda RUPS tidak hanya membahas dan memutuskan hal-hal yang hanya berlaku di dalam lingkungan Perseroan sendiri, tetapi juga memutuskan hal-hal yang harus dimintakan persetujuan dari atau harus dilaporkan dan diberitahukan kepada Menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPT.
Pengaturan kewajiban dan tatacara pembuatan risalah rapat yang diatur dalam Pasal 90 tersebut hanya berlaku untuk penyelenggaraan RUPS secara konvensional. Ketentuan mengenai RUPS yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan elektronik diatur dalam Pasal 77 UUPT. Demikian juga mengenai pedoman dan tatacara untuk membuat risalah rapat hasil dari pelaksanaan RUPS melalui media elektronik telah diatur pula yaitu di dalam Pasal 77 ayat (4) UUPT yang menyatakan : "Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditanda-tangani oleh semua peserta RUPS" Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan : "Yang dimaksud dengan disetujui dan ditandatangani adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik."
Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 77 ayat (4) UUPT tersebut, pembuatan risalah rapat hanya dimungkinkan dibuat secara dibawah tangan (onderhand) dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS, baik secara fisik maupun secara elektronik, yang akan dijadikan sebagai alat bukti telah diselenggarakan dan diambil keputusan RUPS.
Tandatangan elektronik menurut pasal 1 angka 12 UU ITE adalah tandatangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi atau autentifikasi. Aturan lebih lanjut mengenai tandatangan elektronik ini ada dalam pasal 11 UU ITE yang mengatur bahwa :
(1) Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan
  Data pembuatan tandatangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan
Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui
  Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang tanda tangan elektronik sebagaimana diatur pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah.
Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud adalah PP Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (PP No.82 Th.2012) yang dalam pasal 1 angka 19 ditentukan bahwa: “Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Pengaturan Pasal 77 ayat (4) UUPT merupakan aturan khusus yang berlaku untuk RUPS melalui media elektronik. Pengaturan tersebut berbeda dengan pengaturan Pasal 90 ayat (1) UUPT yang merupakan pengaturan RUPS konvensional. Jika pada Pasal 90, tanda tangan risalah rapat boleh dilakukan oleh Ketua Rapat dan salah seorang pemegang saham saja. Hal tersebut merupakan antisipasi apabila pengambilan keputusan dilakukan melalui voting yang menimbulkan kemungkinan pemegang saham yang kalah voting tidak bersedia tandatangan risalah rapat, UUPT telah mengantisipasinya dengan diperbolehkanya penandatanganan cukup dilakukan oleh Ketua rapat dan salah satu pemegang saham, sedangkan pengaturan Pasal 77 tidak dimungkinkan pengambilan keputusan melalui voting, yang berarti harus disetujui oleh semua yang hadir dan dibuktikan dengan tandatangan oleh semua peserta RUPS.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara RUPS konvesional dengan RUPS melalui media elektronik. Bagan di bawah ini dapat menggambarkan persamaan dan perbedaannya :
Bentuk Kegiatan
Konvensional
Elektronik

Partisipasi Peserta
Langsung
Dengan bantuan media
Pengambilan Keputusan
Bisa voting
Harus Aklamasi
Risalah Rapat
Ketua + 1 pemegang saham
Semua Peserta RUPS

Dengan demikian pelaksanaan RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi yang pada akhirnya menghasilkan informasi elektronik yang dapat berupa gambar, suara dan foto atau sejenisnya serta dokumen yang berbentuk rekaman dapat dijadikan alat bukti yang sah mengenai pelaksanaan RUPS.
Tugas dan wewenang Notaris secara umum terdapat pada Pasal 15 ayat (1) UUJN mendefinisikan tentang kewenangan Notaris sebagai pejabat umum, yaitu sebagai berikut :
Notaris berwenang membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh Perundang-Undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk  dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu  sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) diatas, pada frasa kata "...yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan..." jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT. Maka setiap pendirian PT diwajibkan dibuat dalam bentuk akta notaris. Dengan demikian akta pendirian yang tidak dibuat dalam bentuk akta notaris secara formal tidak sah dan tidak bisa dilaksanakan.
Selain tugas dan wewenang membuat akta pendirian, notaris masih bertugas untuk membuat permohonan kepada Menkumham perihal pengesahan akta pendirian itu agar PT yang didirikan memperoleh status badan hukum.
Selain berwenang membuat akta pendirian PT, Notaris memiliki kewenangan lain di bidang PT yang disyaratkan oleh UUPT, sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT yang menyebutkan : "Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPT yang menyatakan Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS." Ketentuan tersebut mengandung pengertian, bahwa RUPS yang diselenggarakan dengan agenda merubah anggaran dasar harus dibuktikan dalam bentuk akta notaris.
UUPT mengatur dua cara pembuatan risalah rapat, yaitu "dimuat" atau "dinyatakan". Frasa "dimuat" adalah berarti risalah rapat dibuat oleh notaris yang lazim disebut akta berita acara rapat, sedang "dinyatakan" adalah berarti risalah rapat dibuat sendiri dan kemudian risalah rapat tersebut dinyatakan dihadapan notaris yang lazim disebut akta pernyataan keputusan rapat. Adapun pengertian dan prosedur pembuatan akta berita acara rapat dan akta pernyataan keputusan rapat adalah :
a.   Akta Berita Acara RUPS
RUPS dapat dilaksanakan dengan mengundang notaris untuk menyaksikan dan mencatat kejadian dalam rapat. Kehadiran notaris tersebut dalam rangka menjalankan profesinya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dari kejadian-kejadian yang akan dilakukan dalam rapat. Tujuan diundangnya notaris untuk menyaksikan RUPS adalah agar notaris membuat alat bukti mengenai interaksi yang dilakukan antara ketua rapat dengan peserta rapat. Disamping itu notaris dapat memberikan saran dan masukan kepada ketua rapat mengenai tatacara dan prosedur rapat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau anggaran dasar, agar keputusan rapat yang dihasilkan dapat mengikat perseroan.
Isi dan bentuk Akta Berita Acara RUPS itu harus bisa menggambarkan jalannya acara pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. Hal ini dikarenakan akta tersebut bersifat verbal akta yang merupakan jenis akta yang dibuat oleh Notaris, yang berisi gambaran mengenai kejadian yang disaksikan oleh Notaris, maupun hal-hal yang diputuskan oleh RUPS.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian kerangka konseptual, akta berita acara RUPS merupakan akta relaas, diundang untuk hadir dan terlibat langsung dalam acara rapat untuk menyaksikan dan menuliskannya dalam akta mengenai apa yang dilihat dan disaksikannya. Hal-hal yang disaksikan oleh notaris itu dan kemudian ditulis oleh notaris ke dalam bentuk akta berita acara rapat yang diadakan pada hari, tanggal dan waktu serta tempat yang disebut di dalam akta berita acara rapat itu.
Pengaturan Pasal 90 ayat (2) UUPT, menyatakan bahwa risalah rapat atau akta berita acara rapat yang dibuat oleh notaris, tidak disyaratkan ditandatangani oleh peserta rapat. Demikian pula pengaturan dalam UUJN memungkinkan peserta rapat untuk tidak menandatangani akta berita acara. Notaris hanya perlu menambahkan keterangan mengenai alasan peserta rapat tidak menandatangani akta yang ditulis oleh notaris itu. Dalam praktek kenotariatan, fungsi tandatangan merupakan tanda persetujuan mengenai apa yang tertulis di dalam akta.  Kedudukan dari tandatangan itu dapat digantikan dengan keterangan notaris yang disebutkan pada bagian akhir akta. Pengingkaran terhadap keterangan notaris dapat dibuktikan dengan keterangan dari saks-saksi yang juga ikut hadir dan menyaksikan rapat serta adanya kewajiban bagi saksi-saksi untuk menandatangani akta. Dengan demikian kebenaran isi akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu.
Kehadiran, kesaksian dan akta berita acara rapat yang dibuat atas permintaan pihak yang berkepentingan, adalah merupakan kewenangan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN. Akta berita acara rapat itu mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, sehingga tidak perlu diragukan lagi kesempurnaan (keabsahannya), karena Notaris menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum. Syarat suatu akta otentik yang diatur pada Pasal 1868 KUH Perdata yang merupakan sumber otentisitas akta Notaris, dan juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris. UUJN merupakan pedoman bagi Notaris untuk menjalankan jabatannya. Agar akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, maka tata cara yang ditetapkan oleh UUJN itu itu harus dipatuhi, ditaati, dan dilaksanakan oleh Notaris.
Tujuan utama diundangnya notaris untuk hadir dalam RUPS semata-mata adalah agar alat bukti hasil RUPS dinyatakan sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT. Alasan diperlukannya akta otentik itu adalah karena risalah rapat tersebut akan digunakan sebagai dasar "pendaftaran" pada daftar umum badan hukum yang diselenggarakan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendaftaran tersebut dapat bersifat untuk mendapat persetujuan dan juga bersifat sebagai pemberitahuan/laporan agar dicatat dalam daftar umum badan hukum.
b.   Akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR)
RUPS juga dapat diselenggarakan tanpa mengundang kehadiran Notaris. Setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS (vide Pasal 90 ayat (1) UUPT). Penyelenggaraan RUPS yang dilakukan tanpa kehadiran Notaris, yaitu dengan membuat risalah (notulen rapat) di bawah tangan yang memuat tentang keputusan rapat yang diputuskan dalam RUPS, dan kemudian dibawa oleh orang yang dikuasakan dalam risalah/notulen rapat itu kehadapan Notaris, untuk selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.
Dari cara demikian, maka akta notaris yang dihasilkan merupakan akta dari golongan partij akta atau akta pihak, sebab adanya kedatangan kuasa dari RUPS tersebut yang datang dan menghadap kepada Notaris yang menghendaki dibuatnya risalah rapat dalam akta Notaris. Isi dari akta PKR, itu pada intinya berisi tentang segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam RUPS yang diikuti, disaksikan, dan didengar yang secara langsung oleh penandatanganan pada Akta PKR, yang dalam hal ini biasanya ketua atau pimpinan RUPS itu sendiri.
Dalam hal dalam pertanggungjawabannya, Notaris hanya bertanggung jawab atas isi dari keterangan para penghadap yang hadir dalam RUPS yang dituangkan dalam akta Notaris tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan akta PKR adalah : Notaris dapat meminta dokumen-dokumen penting kepada pihak-pihak yang hadir dalam rapat tersebut, berupa hari dan tanggal penyelenggaran maupun pelaksanaan rapat, pemberitahuan kepada seluruh pemegang saham, mengetahui berapa jumlah peserta yang hadir dalam rapat, isi dari rapat, acara atau rapat, beserta program maupun agenda dalam RUPS, mengetahui jam berapa rapat atau acara dimulai, dan jam berapa rapat atau acara ditutup, maupun bagaimana cara penentuan dalam pengambilan keputusan pada Rapat Umum Pemegang Saham.
Adapun tujuan dinyatakannya risalah RUPS itu ke dalam bentuk akta notaris jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (4) adalah risalah rapat itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT. Alasan diperlukannya akta otentik itu adalah karena risalah rapat tersebut akan digunakan sebagai dasar "pendaftaran" pada daftar umum badan hukum (PT) yang diselenggarakan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendaftaran tersebut dapat bersifat untuk disetujui dan bersifat pemberitahuan.
Substansi pengaturan Pasal 77 ayat (4) UUPT yang menegaskan bahwa RUPS dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta rapat, jika dikaitkan dengan substansi pengaturan dengan kewajiban-kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana diatur dalam UUJN, tidak memungkinkan bagi notaris untuk hadir, menyaksikan dan membuat akta berita acara rapat dari RUPS yang diselenggarakan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya. Hal tersebut disebabkan adanya pengaturan Pasal 1 angka 7 UUJN menyatakan : “akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Selanjutnya berdasar pada Pasal 16 ayat (1) Huruf m UUJN, salah satu kewajiban notaris adalah membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. Dan dalam Penjelasannya ditegaskan bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi.
Dari pengaturan-pengaturan diatas, terutama pengaturan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, penulis berpendapat bahwa kewajiban notaris untuk hadir secara fisik, membacakan akta dan menandatangani akta pada saat itu juga (verleijden), maka tidak mungkin untuk diterapkan pada saat pembuatan akta berita acara RUPS yang dilakukan secara telekonferensi.
Dalam hal seorang notaris memenuhi permintaan untuk hadir, menyaksikan dan membuatkan alat bukti berupa akta berita acara RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, maka notaris tersebut dapat dianggap telah melalaikan kewajibannya dalam menjalankan jabatannya dalam hal ini adalah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN.
Akibat hukum pembuatan akta yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, maka berdasarkan Pasal 16 ayat (9) UUJN, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Sedangkan untuk pelanggaran terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, kepada Notaris yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 85 UUJN, dan untuk Notaris yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k, akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris yang bersangkutan.

 B. Langkah Pembaruan Hukum Di Biddang Kenotariatan Dalam Mengakomodir Kemajuan Teknologi Informasi
Pembangunan nasional meliputi juga pembangunan di bidang hukum karena hukum sebagai alat pembaharu masyarakat, tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan yang terjadi. Pembangunan hukum melalui pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan guna mengimbangi kebutuhan masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Hukum dalam arti undang-undang, seringkali tertinggal mengikuti masyarakat seiring dengan pesatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi. Keadaan demikian mengakibatkan kekosongan hukum.
Suatu kenyataan menunjukkan teknologi informasi berkembang jauh lebih pesat dalam mengubah pola dan perilaku masyarakat terutama dalam transaksi-transaksi bisnis. Pola konvensional dengan cara tatap muka bergeser ke era kontrak elektronik. Kehadiran teknologi informasi melalui internet melahirkan fenomena hukum berupa kontrak elektronik terhadap perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer atau jaringan komputer atau media elektronik lainnya.
Transaksi bisnis melalui teknologi informasi tidak lagi dilakukan dengan cara berhadapan langsung atau face to face tetapi dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi sehingga pertemuan secara langsung tidak lagi diperlukan. Manfaat dan keuntungan dari pemanfaatan teknologi informasi dalam traksaksi bisnis yang dapat diperoleh, yaitu lebih cepat karena dapat menghemat waktu, dan praktis sebab tidak ada kendala transportasi, biaya dapat diperhitungkan.
Perkembangan tersebut tentunya akan membawa perubahan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Notaris diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk hadir secara fisik dalam arti bertemu dan bertatap muka dengan pihak-pihak yang hendak melakukan transaksi atau perbuatan hukum. Transaksi elektronik yang kemudian menghasilkan alat bukti elektronik dalam sistem hukum di Indonesia sudah dikenal dan diakui. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE, telah menerima dan mengakui  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektonik  dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti elektronik  yang sah menurut hukum. Demikian juga dalam ketentuan Pasal 77 ayat (1) dan ayat (4)  UU PT, telah mengatur  penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Kedua ketentuan tersebut telah mengakomodasi alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Namun demikian baik UU ITE maupun UU PT tidak secara tegas menyebutkan alat bukti elektronik merupakan alat bukti tertulis atau bukan. Oleh karena itu Notaris yang diberikan kewenangan untuk melegitimasi suatu perbuatan hukum ke dalam alat bukti tertulis dapat turut berperan dalam mengikuti perkembangan transaksi bisnis yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi infomasi itu. Dalam mengesahkan dan memberikan legitimasi traksaksi elektronik itu, Notaris memerlukan payung hukum yang menempatkan informasi/dokumen elektronik adalah identik dengan alat bukti tertulis. Selama ini bentuk tertulis adalah identik dengan informasi atau dokumen yang tertuang diatas kertas saja, padahal pada hakikatnya informasi atau dokumen dapat dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting, yaitu proses pengharmonisasian. Dengan demikian, pengharmonisasian merupakan salah satu rangkaian proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
UUJN sebagai salah satu peraturan perundang-undangan memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Oleh karenanya peraturan perundang-undangan ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain :
a)   konsisten dalam perumusannya sehingga terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya;
b)   kebakuan susunan dan bahasa, dan
c)   adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundangundangan.
Hal ini memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan undang-undang adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-undang sebagai sebuah produk hukum harus melalui kajian yang mendalam, baik dari aspek teknis operasional, kemudahan penerapan maupun teori-teori hukum yang mendasari setiap pembuatan peraturan perundang-undangan.
Jabatan Notaris tentu sangat terkait dengan budaya hukum internal karena notaris termasuk pada penegak hukum. Penggunaan konsep data elektronik dalam  UUJN tentunya akan berpengaruh kepada profesionalitas notaris. Sehingga penggunaan konsep ini hendaknya dapat disesuaikan dengan kemampuan notaris di Indonesia. Sedangkan untuk budaya hukum situasi yang sangat bergantung pada sikap dan nilai masyarakat umum. Supaya suatu perubahan hukum dapat diterima oleh masyarakat umum maka sejak awal proses pembentukan hukum harus memperhatikan prinsip law as a tool of social engineering. Prinsip ini penting bagi Indonesia untuk mencegah masalah sosial yang disebabkan oleh ketidaksiapan menerima perubahan teknologi yang begitu besar termasuk penerapan transaksi elektronik.
Peluang agar transaksi elektronik dapat dibuatkan akta otentik tanpa bertemu secara langsung antara para pihak dapat dilakukan dengan memperluas penafsiran bertemu secara fisik menjadi bertemu dengan bantuan media elektronik berupa video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua para pihak dan notaris saling melihat dan mendegar serta berinteraksi secara langsung.
Perluasan penafsiran semacam ini pernah dilakukan terhadap Pasal 1868 BW yang penafsirannya diperluas melalui ketentuan Pasal 101 huruf a Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : “bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.” Dengan perluasan penafsiran tersebut, maka unsur-unsur akta otentik menurut UU Peratun, yaitu :
-     Surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum:
-     Surat tersebut dibuat menurut peraturan perundang-undangan;
-     Pejabat tersebut berwenang membuat surat itu;
-     Surat tersebut dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum dalam surat tersebut.  
Dengan perluasan penafsiran terhadap Pasal 1868 BW itu, maka akta yang dibuat dihadapan PPAT memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai akta otentik.
Dari contoh perluasan penafsiran yang penulis sampaikan diatas, dan atas dasar aspirasi dan kebutuhan masyarakat maka aspirasi dan kebutuhan tersebut harus diatur oleh hukum sepanjang dapat memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Dengan ditunjang dengan kecanggihan teknologi seperti sarana telekonferensi yang memungkinkan akta dibacakan oleh notaris melalui media dan didengar dan disaksikan oleh para pihak secara online. Adapun mengenai penandatangan secara fisik, dapat diganti dengan jaminan dari penyelenggara CA sebagai pihak yang ahli dalam bidang telematika dan yang akan menjamin secara teknis bahwa identitas dari pihak-pihak dalam akta serta kejadian selama pembuatan akta secara online yang terekam adalah asli dan autentik serta diproteksi oleh penyelenggara CA.
Penggunaan pihak ahli semacam itu, UUJN juga mengenal dan mengaturnya, yaitu adanya saksi penerjemah resmi (profesi) dalam hal pihak-pihak menghendaki akta dibuat dalam bahasa asing yang notaris sendiri tidak mengerti atau tidak bisa menjelaskan kepada para pihak (vide Pasal 43 ayat (3) UUJN). Dari ketentuan tersebut penulis berkesimpulan bahwa saksi ahli (penerjemah resmi) dimungkinkan untuk dilibatkan dalam pembuatan akta notaris. Dengan demikian seorang ahli dalam bidang telematika yang telah mempunyai izin untuk mengautentikasi transaksi elektronik atau penyelenggara CA dapat membantu notaris dalam membuat akta otentik, atas transaksi elektronik yang menghasilkan datas elektronik. Kesaksian dari ahli telematika / penyelenggara CA tersebut dapat dianggap sebagai pengganti tandatangan (surrogate) pihak-pihak dalam akta. Tandatangan fisik pada minuta akta dilakukan oleh saksi-saksi dan saksi ahli dan oleh notaris sendiri. Dengan demikian unsur akta otentik harus ditandatangani telah terpenuhi dengan ditandatanganinya akta oleh saksi ahli atau penyelenggara CA, saksi-saksi lain dan notaris sendiri.
Penyelenggara CA yang dimaksud disini adalah pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorang atau pelanggan (klien CA tersebut) dengan cara menerbitkan sertifikat elektronik. Selain itu CA juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci privat milik orang tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Pengaturan mengenai prosedur dan tatacara pembuatan akta notaris yang diatur dalam UUJN tidak memungkinkan bagi notaris, untuk hadir, menyaksikan dan membuatkan akta berita acara RUPS yang diselenggarakan melalui media telekonferensi. Subtansi dari RUPS yang diselenggarakan melalui media konferensi itu adalah peserta rapat tidak berada dalam satu tempat dan hanya terhubung dan berinteraksi melalui bantuan media eletronik, sehingga pengertian peserta rapat harus hadir secara fisik sebagaimana disyaratkan UUJN tidak dapat terpenuhi. Dalam hal notaris tetap hadir dalam rapat dan kemudian membuatkan akta berita acara rapat, maka notaris dapat dianggap telah melalaikan kewajibannya dalam menjalankan jabatannya yang dapat berakibat akta yang dibuatnya itu kehilangan keotentikannya.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah menuntut dilakukannya pembaruan hukum di bidang kenotariatan. Beberapa undang-undang telah mengakui data elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah. Pembaruan hukum diperlukan agar dapat menempatkan data elektronik sejajar dengan alat bukti tertulis dan selanjutnya notaris dalam berperan dalam membuatkan alat bukti tertulis atas transaksi elektronik yang telah banyak dilakukan masyarakat.
b. Saran
Pembaruan hukum di bidang kenotariatan dalam mengakomodir transaksi elektronik yang dilakukan masyarakat harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi semua pihak, bahwa Notaris  dalam menggunakan/memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya dapat berkomunikasi, mendengarkan, mengamati dan mencermati, serta memahami seluruh perbuatan atau kejadian atau keadaan yang berlangsung dalam proses pelaksanakan tugas dan kewenangan jabatan Notaris dalam memberi legitimasi transaksi elektronik. Perlu dilakukan perubahan (revisi) terhadap UUJN dan UU ITE, dan melakukan harmonisasi hukum antara berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait, sehingga terjadi sinkronisasi hukum antara undang-undang yang ada, yang mengatur tentang otensitas dari akta autentik dan kekuatan akta elektronik dalam pembuktian yang selama ini menjadi kendala dalam pembuatan akta secara elektronik oleh notaris.
Teknologi Informasi yang digunakan harus dapat menjamin bahwa penandatanganan melalui elektronik dapat mengetahui keinginan masing-masing pihak,  identitas penandatangan, keinginan serta dapat membaca seluruh Dokumen/Informasi  Elektronik

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adjie, Habib (2011), Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.
Ali, Achmad, (2005)  Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, Bogor.
Budiono, Herlien, (2007) Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fuady, Munir, (2003) Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Halim, Hamzah, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, (2009) Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai Manual), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mantili, D. Man Sastrawijaya, (2008) Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-Undang, Alumni, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, (2002) Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam, Liberty, Yogyakarta.
Nico, (2003) Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law, Yogyakarta, 2003.
Nurita, Emma, (2012) Cyber Notary Pemahaman Awal dari Konsep Pemikiran, Refika Aditama, Bandung.
Prajitno, Andi, (2015) Apa dan siapa Notaris di Indonesia?sesuai UUJN Nomor 2 Tahun 2014, PMN, Surabaya.
Prasetya, Rudhi, (2001) Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Raharjo, Handri, (2009) Hukum Perusahaan, Pustaka Yusticia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, (2012) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, (1980) Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Subekti, Raden dan Raden Tjitrosudibio, (2009), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Supramono, Gatot, (1996) Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta.
Syahrani, Riduan, (1999) Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Tan Thong Kie (2007), Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Tirtaamidjaja, (2000) Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Cetakan IV, Djambatan, Jakarta.
Tobing, G.H.S. Lumban, (1982) Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga. Jakarta.
Vlies, I.C. Van Der, (2005) Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-Undangan (Handboek Wetgeving), diterjemahkan oleh Linus Doludjawa, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaya, (2006) Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Jurnal
Hamzah, (1989) Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober.

Internet
Eprints.undip.ac.id MUNTINAH, di akses pada Tanggal 14 oktober 2017.
Eprints.undip.ac.id ROITA_ASMA, di akses pada Tanggal 15 Oktober 2017.
Kongkow, Mengenal Jenis-Jenis Telekonferensi, di akses pada Tanggal 17 Oktober 2017, Pukul 09.25.
http://tetrag.blogspot.com/2010/01/perkembangan-hukum-di-negara-berkembang. html, Perkembangan Hukum di Negara Berkembang Peran Budaya  Hukum,  diakses tanggal 4 April 2018.
Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman, http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/perkembangan-reformasi-kekuasaan.html, diakses tanggal 4 April 2018.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) Stbl.1847 No. 23.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432 juncto Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroang Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 juncto Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA