AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI
AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA
TELEKONFERENSI
PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah mempengaruhi lahirnya perbuatan hukum baru. (Emma Nurita,
2012:3) Sebagai contoh, dalam kontrak elektronik, dokumen elektronik, bahkan di
dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut UUPT) menampung aspirasi perkembangan teknologi informasi dengan
dibukanya peluang untuk melakukan Rapat Umum Pemegang Saham melalui media telekonferensi
(RUPS Telekonferensi) yang terdapat pada pasal 77 ayat (1) UUPT yang menentukan
bahwa : “Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi,
video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua
peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam
rapat.” Perkembangan teknologi informasi ini telah menggabungkan ketentuan UUPT
yang menimbulkan pemikiran baru untuk menyatukan kemajuan teknologi informasi
dengan proses pembuatan akta otentik (Man Sastrawijaya D. Mantili, 2008, h.4).
Proses pembuatan risalah rapat
menjadi akta notaris tidak memiliki hambatan jika RUPS dilakukan secara
konvensional. Permasalahan akan muncul ketika RUPS dilakukan melalui media
telekonfrensi karena pemegang saham tidak berada dalam satu tempat yang sama
dalam melaksanakan RUPS tetapi berada pada letak geografis yang berbeda-beda
dalam waktu yang sama dalam melaksanakan RUPS (Muntinah, 2017).
Jika dalam pelaksanaannya RUPS
telekonferensi menuangkan dengan akta yang dibuat langsung oleh Notaris yang
hadir dalam RUPS tersebut dalam bentuk Berita Acara Rapat, maka permasalahan
yang muncul adalah tidak semua para pemegang saham yang hadir dalam RUPS berada
di tempat yang sama dimana Notaris tersebut hadir didalam RUPS karena
menggunakan media telekonfrensi. Kondisi ini mengakibatkan para pemegang saham
yang hadir dalam RUPS tidak secara keseluruhan berada dihadapan Notaris.
Sebagaimana yang diatur dalam dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30
tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor
2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) bahwa “akta
notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut
bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Sedangkan
pengertian akta otentik menurut pasal 1868 Burgerlijk
Wetboek (selanjutnya disebut BW) adalah “suatu akta yang ada di dalam
bentuk yang ditentukan dalam Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu tempat dimana akta dibuatnya.”
Ketentuan Pasal 77 UUPT akan
menyebabkan disharmoni dengan ketentuan dalam UUJN apabila akta Risalah RUPS PT
melalui media telekonfrensi harus dituangkan dalam sebuah akta notaris. Hal ini
berbeda dalam proses pembuatan Risalah RUPS PT menjadi akta notaris yang
dilakukan secara konvensional atau langsung dihadiri oleh seluruh peserta
rapat. Hal tersebut akan membawa perubahan terhadap pelaksanaan tugas dan
kewenangan Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik,
bergeser dari sistem konvensional dengan cara berhadap-hadapan atau tatap muka
langsung, menjadi cyber notary dengan
berbasis pada sistem elektronik.
Disharmoni tersebut diatas
dapat dilihat dalam ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m
UUJN bahwa : “Kewajiban Notaris membacakan akta didepan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.” Dengan ketentuan itu, dapat dilihat
bahwa notaris harus mengenal para penghadap dan pengenalan tersebut harus
dinyatakan secara tegas dalam akta, dan saksipun disebutkan sebagaimana
dimaksud Pasal 40 ayat (3) UUJN yang menyatakan bahwa, saksi sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 40 (1) UUJN harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan
kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas kepada notaris oleh penghadap
dan juga pada pasal 40 ayat (4) yang menyatakan ”pengenalan atau pernyataan
tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta”.
Makna yang terkandung dalam
pasal-pasal tersebut bahwa baik para penghadap, saksi maupun Notaris harus
saling mengenal berdasarkan identitas yang diperlihatkan secara langsung kepada
Notaris dan secara bersamaan hadir ditempat yang sama pada saat itu juga, menyatakan haidr secara
fisik, baik para penghadap, saksi, dan juga Notaris (vide Penjelasan Pasal 16
ayat (1) huruf m UUJN). Dengan perbandingan pasal-pasal yang telah disebutkan
diatas, maka dapat dilihat bahwa ketentuan dalam Pasal 77 ayat (1) UUPT yang
mengatur tentang akta Risalah RUPS PT melalui media telekonfrensi
ketidaksingkronan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN dan ketentuan lain yang
diatur dalam UUJN.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
kedudukan akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas melalui media
Telekonferensi yang dibuat oleh Notaris?
2. Apa
langkah perubahan UUJN untuk mengakomodir kemajuan Teknologi Informasi
Khususnya dibidang RUPS PT ?
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan akta Rapat
Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas melalui media Telekonferensi yang dibuat
oleh Notaris dan langkah perubahan UUJN untuk mengakomodir kemajuan Teknologi
Informasi Khususnya dibidang RUPS Perseroan Terbatas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Akta Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas Melalui Media Telekonferensi
Yang Dibuat Oleh Notaris
Saham merupakan salah satu unsur yang tidak dapat
dipisahkan dari sebuah Perseroan Terbatas (PT). Saham merupakan tanda penyertaan
modal dalam suatu PT sebagai tanda bukti kepemilikan modal (Handri Raharjo,
2009, h.86).
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UUPT, saham tersebut
dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan atas
saham suatu PT.
Kepemilikan atas suatu saham,
memberikan hak pada pemilik saham. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 52 ayat
(1) UUPT, yaitu:
1. Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
2. Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan
hasil likuidasi:
3. Menjalankan hak lain berdasarkan UUPT
Hak tersebut di atas baru berlaku setelah dicatat
dalam daftar pemegang saham atas nama pemiliknya. Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang
tidak dapat dibagi. Dalam hal satu saham dimiliki oleh lebih dari satu orang,
hak yang timbul dari saham tersebut dengan cara menunjuk satu orang sebagai
wakil bersama (vide Pasal 52 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UUPT).
RUPS merupakan forum bagi para
pemegang saham sebagai pemilik Perseroan dapat melakukan kontrol terhadap
kepengurusan yang dilakukan Direksi maupun terhadap harta kekayaan serta
kebijakan kepengurusan yang dijalankan oleh manajemen Perseroan. RUPS memiliki
kewenangan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 75 ayat (1)
UUPT yang menyatakan : RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang
yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Selain kewenangan
umum tersebut, UUPT juga mengatur mengenai kewenangan RUPS yang lain secara
khusus dan spesifik.
Adapun kewenangan-kewenangan
RUPS tersebut yang diatur dalam UUPT 2007 antara lain sebagai berikut :
-
Menyatakan
menerima atau mengambilalih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan
hukum yang dilakukan pendiri atau kuasanya (vide Pasal 13 Ayat (1) UUPT).
-
Menyetujui
perbuatan hukum atas nama Perseroan yang dilakukan semua anggota Direksi, semua
anggota Dewan Komisaris bersama-sama pendiri dengan syarat semua pemegang saham
hadir dalam RUPS, dan semua pemegang saham menyetujuinya dalam RUPS tersebut
(vide Pasal 14 Ayat (4) UUPT).
-
Perubahan
anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS (Pasal 19 Ayat (1) UUPT).
-
Memberi
persetujuan atas pembelian kembali atau pengalihan lebih lanjut saham yang
dikeluarkan Perseroan (vide Pasal 38 Ayat (1) UUPT).
-
Menyerahkan
kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS
atau pembelian kembali atau pengalihan lanjut saham yang dikeluarkan Perseroan
(vide Pasal 39 Ayat (1) UUPT).
-
Menyetujui penambahan modal Perseroan (vide Pasal 41
Ayat (1) UUPT).
-
Menyetujui pengurangan modal Perseroan (vide Pasal 44
Ayat (1) UUPT).
-
Menyetujui
rencana kerja tahunan apabila anggaran dasar menentukan demikian (vide Pasal 64
Ayat (1) jo. Ayat (3) UUPT).
-
Memberi
persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan serta laporan tugas
pengawasan Dewan Komisaris (vide Pasal 69 Ayat (1) UUPT).
-
Memutuskan
penggunaan laba bersih, termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan
wajib dan cadangan lain (vide Pasal 71 Ayat (1) UUPT).
-
Menetapkan
pembagian tugas dan pengurusan Perseroan antara anggota Direksi (vide Pasal 92
Ayat (5) UUPT).
-
Mengangkat
anggota Direksi (vide Pasal 94 Ayat (1) UUPT) dan memberhentikannya (vide Pasal
105 ayat (2) UUPT) atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara yang
dilakukan Dewan Komisaris terhadap anggota Direksi (vide Pasal 106 ayat (7)
UUPT).
-
Menetapkan
tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi (vide Pasal 96 Ayat (1)
UUPT).
-
Menunjuk
pihak lain untuk mewakili Perseroan apabila seluruh anggota Direksi atau Dewan
Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan (vide Pasal 99 Ayat
(2) huruf c UUPT).
-
Memberi
persetujuan kepada Direksi untuk : a). mengalihkan kekayaan perseroan, atau b).
menjadikan jaminan utang kekayaan perseoran (vide Pasal 102 Ayat (1) UUPT).
-
Memberikan
persetujuan kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit atas Perseroan
sendiri kepada Pengadilan Niaga (vide Pasal 104 ayat (1) UUPT).
-
Mengangkat
anggota Dewan Komisaris berikut penggantian dan pemberhentiannya (vide Pasal
111 UUPT).
-
Menetapkan
tentang besarnya gaji atau honorarium dan tunjangan anggota Dewan Komisaris
(vide Pasal 113 UUPT).
-
Mengangkat
Komisaris Independen (vide Pasal 120 ayat (2) UUPT).
-
Memberi
persetujuan atas Rancangan Penggabungan (vide Pasal 223 ayat (3) UUPT).
-
Memberi
persetujuan mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan
(vide Pasal 127 ayat (1) UUPT).
-
Memberi
keputusan atas pembubaran Perseroan (vide Pasal 142 ayat (1) huruf a UUPT).
-
Menerima
pertanggungjawaban likuidator atas penyelesaian likuidasi (vide Pasal 143 ayat
(1) UUPT).
Berdasarkan Pasal
76 UUPT, RUPS diadakan di tempat kedudukan PT atau di tempat PT melakukan
kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar [vide
ayat (1)]. Jika merupakan PT terbuka maka RUPS dapat diadakan di tempat
kedudukan bursa dimana saham PT dicatatkan [vide ayat (2)]. Jika dalam RUPS
hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham
menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu. RUPS dapat diadakan di
manapun dengan keputusan suara bulat [vide ayat (4)]. Tempat RUPS yang dimaksud
harus berada di wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini berarti bahwa
meskipun RUPS diselenggarakan berdasarkan kesepakatan dan persetujuan para
pemegang saham, RUPS tidak boleh diselenggarkan di luar wilayah Indonesia.
Disamping tempat
penyelenggaraan RUPS secara konvensional tersebut, UUPT juga mengatur mengenai
penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dan
elektronik seperti media telekonferensi, video konferensi atau sarana media
elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat (vide Pasal 77 ayat
(1) UUPT). Mekanisme penyelenggarakan RUPS melalui telekonferensi baik mengenai
persyaratan kuorum maupun persyaratan pengambilan keputusan dipersamakan dengan
tempat penyelenggaraan RUPS di luar tempat kedudukan PT sepanjang masih di
dalam wilayah Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (3) dan ayat (4)
UUPT. Demikian pula pengaturan dalam Pasal 77 UUPT adalah merupakan penegasan
mengenai persyaratan RUPS yang dilakukan di luar tempat kedudukan PT.
Pada umumnya RUPS
diselenggarakan melalui tatap muka, baik secara langsung maupun melalui media
elektronik. Namun dalam realitanya mengumpulkan para pemegang saham pada suatu
tempat dan waktu yang bersamaan untuk mengadakan RUPS secara konvensional
seringkali mengalami hambatan, juga pertimbangan RUPS melalui media elektronik
dianggap masih mahal serta keterbatasan perangkat/media elektronik yang
dimiliki PT sehingga RUPS melalui media elektronik juga masih susah untuk
dilakukan. Untuk itu pembuat UUPT merasa perlu untuk mengatur pengambilan
keputusan yang mempunyai kekuatan yang dengan RUPS yang dilakukan diluar RUPS
yaitu melalui pengaturan dalam Pasal 91 UUPT yang menyebutkan : "Pemegang
saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat
semua pemegang saham dengan hak suara
menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
Keputusan RUPS
adalah sah jika persyaratan penyelenggaraan telah dipenuhi dan dihadiri oleh
pemegang saham dengan memenuhi ketentuan kuorum serta jumlah pemegang saham
yang telah ditentukan dalam UUPT dan anggaran dasar yang mengatur mengenai
ketentuan kuorum.
Secara umum, RUPS
dianggap telah memenuhi persyaratan mengenai kuorum jika dihadiri oleh lebih
dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah seluruh saham atau diwakili kecuali
undang-undang dan/atau anggaran dasar menentukan lain (vide Pasal 86 ayat (1)
UUPT). Jika ketentuan tersebut tidak dapat dicapai maka dapat diadakan RUPS
yang kedua kalinya. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam
RUPS tersebut paling sedikit 1/3 (sepertiga) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara hadir atau diwakilkan, kecuali anggaran dasar menentukan lain,
Namun, jika didalam RUPS kedua tersebut
juga tidak tercapai maka PT dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan PT atas permohonan PT agar ditetapkan
kuorum untuk RUPS ketiga. RUPS yang ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum
yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Penetapan mengenai kourum
ini bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (artinya bahwa atas
penetapan tersebut tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali).
Setiap akan
diselenggarakannya RUPS, Direksi wajib melakukan pemanggilan terlebih dahulu
kepada para pemegang saham. Dalam hal tertentu pemanggilan RUPS dapat dilakukan
oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham berdasarkan penetapan pengadilan (vide
Pasal 81 ayat (1) UUPT). Selanjutnya Pasal 82 UUPT mengatur mengenai tatacara
pemanggilan. Pemanggilan harus dilakukan dalam waktu 14 (empatbelas) hari
sebelum tanggal RUPS diadakan dengan Surat Tercatat dan/atau dengan iklan dalam Surat Kabar. Dalarn
panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat
disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di
kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan. Dalam hal pemanggilan
RUPS yang kedua atau yang ketiga dapat dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. Pemanggilan RUPS tidak
disyaratkan jika semua pemegang saham hadir dan/atau diwakiliki dalam RUPS.
Keputusan dalam
RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak
tercapai maka dapat ditempuh melalui mekanisme pengambilan suara (voting). Secara umum keputusan
pengambilan suara (voting) adalah sah
jika disetujui lebih dari 1/2 (setengah) bagian dari jumlah suara yang
dikeluarkan (vide Pasal 87 UUPT). Dalam hal-hal tertentu berlaku ketentuan
khusus antara lain dalam :
1. Pasal 88 UUPT, yang menyatakan bahwa RUPS
untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling
sedikit 2/3 (duapertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
hadir atau diwakilkan dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling
sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan
RUPS yang lebih besar.
Dalam hal kehadiran kuorum tidak tercapai, maka
dapat diselenggarakan RUPS kedua. RUPS kedua ini sah dan berhak mengambil
keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali
anggaran dasar menetukan kuorum kehadiran dan/atau ketetuan tentang pegambilan
keputusan RUPS yang lebih besar.
2. Pasal 89 UUPT, yang menyatakan bahwa RUPS
untuk menyetujui penggabungan, pegambilalihan, atau pemisahan, pengajuan
permohonan agar PT dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan
pembubaran PT dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan
keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan lain dan/atau ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS lebih besar.
Setiap keputusan yang diambil dalam RUPS
yang diselenggarakan sesuai ketentuan adalah sah dan mengikat PT. Kekuatan
mengikat itu berlaku dan tidak dapat dikesampingkan oleh dan/atau untuk organ
PT lainnya termasuk organ RUPS itu sendiri.
Setiap penyelenggaraan RUPS
wajib dibuat risalahnya. Penyelenggaraan RUPS yang tidak dibuat risalahnya
dapat dianggap RUPS itu tidak pernah ada yang dapat mengakibatkan hal-hal yang
diputuskan dan ditetapkan dalam RUPS tidak dapat dilaksanakan. Risalah rapat
merupakan catatan mengenai apa yang telah dibicarakan dan diputuskan dalam
suatu rapat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa risalah rapat adalah alat
bukti yang berisi catatan mengenai kejadian dan keputusan dari rapat.
UUPT mengatur pedoman untuk
membuat risalah rapat sehingga risalah rapat tersebut dapat dijadikan alat
bukti bahwa keputusan RUPS mempunyai kekuatan yang mengikat bagi PT. Pedoman
risalah rapat tersebut diatur dalam Pasal 90 UUPT yang menyatakan :
1) Setiap
penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua
rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan
oleh peserta RUPS.
2) Tanda tangan sebagaimana pada ayat (1) tidak
disyaratkan apabila risalah RUPS dibuat dengan akta notaris
Dengan
berpedoman pada Pasal 90 tersebut, maka risalah RUPS dapat dibuat melalui 2
cara, yaitu :
a. Secara di bawah tangan (onderhand) yang
dibuat dan disusun sendiri oleh direksi perseroan.
Dalam prakteknya risalah RUPS yang dibuat
secara di bawah tangan bisa disebut notulen atau risalah. Cara ini dipilih oleh
direksi dan/atau pemegang saham perseroan apabila agenda RUPS hanya membahas
dan memutuskan hal-hal yang dianggap hanya berlaku di dalam lingkungan
perseroan sendiri ataupun karena alasan-alasan lainnya termasuk alasan karena
biaya (cost) yang harus dikeluarkan.
b. Secara akta notaris (akta otentik) yang dibuat
dan disusun oleh notaris.
Notulen/risalah yang dibuat notaris
disebut berita acara. Cara ini dipilih oleh direksi dan/atau pemegang saham
perseroan apabila agenda RUPS tidak hanya membahas dan memutuskan hal-hal yang
hanya berlaku di dalam lingkungan Perseroan sendiri, tetapi juga memutuskan
hal-hal yang harus dimintakan persetujuan dari atau harus dilaporkan dan
diberitahukan kepada Menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPT.
Pengaturan kewajiban dan
tatacara pembuatan risalah rapat yang diatur dalam Pasal 90 tersebut hanya
berlaku untuk penyelenggaraan RUPS secara konvensional. Ketentuan mengenai RUPS
yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan elektronik diatur
dalam Pasal 77 UUPT. Demikian juga mengenai pedoman dan tatacara untuk membuat
risalah rapat hasil dari pelaksanaan RUPS melalui media elektronik telah diatur
pula yaitu di dalam Pasal 77 ayat (4) UUPT yang menyatakan : "Setiap
penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah
rapat yang disetujui dan ditanda-tangani oleh semua peserta RUPS" Selanjutnya
dalam penjelasannya disebutkan : "Yang dimaksud dengan disetujui dan
ditandatangani adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara
elektronik."
Dengan berpedoman pada
ketentuan Pasal 77 ayat (4) UUPT tersebut, pembuatan risalah rapat hanya
dimungkinkan dibuat secara dibawah tangan (onderhand) dan ditandatangani
oleh semua peserta RUPS, baik secara fisik maupun secara elektronik, yang akan
dijadikan sebagai alat bukti telah diselenggarakan dan diambil keputusan RUPS.
Tandatangan elektronik menurut
pasal 1 angka 12 UU ITE adalah tandatangan yang terdiri atas informasi
elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi
elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi atau autentifikasi.
Aturan lebih lanjut mengenai tandatangan elektronik ini ada dalam pasal 11 UU
ITE yang mengatur bahwa :
(1) Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum
dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :
• Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada
penandatangan
• Data pembuatan tandatangan elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan
• Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui
• Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan
tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang tanda tangan
elektronik sebagaimana diatur pada ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah.
Peraturan
Pemerintah (PP) yang dimaksud adalah PP Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (PP No.82 Th.2012) yang dalam
pasal 1 angka 19 ditentukan bahwa: “Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan
yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau
terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat
verifikasi dan autentikasi.”
Pengaturan Pasal 77 ayat (4)
UUPT merupakan aturan khusus yang berlaku untuk RUPS melalui media elektronik.
Pengaturan tersebut berbeda dengan pengaturan Pasal 90 ayat (1) UUPT yang
merupakan pengaturan RUPS konvensional. Jika pada Pasal 90, tanda tangan
risalah rapat boleh dilakukan oleh Ketua Rapat dan salah seorang pemegang saham
saja. Hal tersebut merupakan antisipasi apabila pengambilan keputusan dilakukan
melalui voting yang menimbulkan kemungkinan pemegang saham yang kalah voting
tidak bersedia tandatangan risalah rapat, UUPT telah mengantisipasinya dengan
diperbolehkanya penandatanganan cukup dilakukan oleh Ketua rapat dan salah satu
pemegang saham, sedangkan pengaturan Pasal 77 tidak dimungkinkan pengambilan
keputusan melalui voting, yang berarti harus disetujui oleh semua yang hadir
dan dibuktikan dengan tandatangan oleh semua peserta RUPS.
Terdapat persamaan dan
perbedaan antara RUPS konvesional dengan RUPS melalui media elektronik. Bagan
di bawah ini dapat menggambarkan persamaan dan perbedaannya :
Bentuk Kegiatan
|
Konvensional
|
Elektronik
|
Partisipasi Peserta
|
Langsung
|
Dengan bantuan media
|
Pengambilan Keputusan
|
Bisa voting
|
Harus Aklamasi
|
Risalah Rapat
|
Ketua + 1 pemegang saham
|
Semua Peserta RUPS
|
Dengan demikian pelaksanaan RUPS yang dilakukan
melalui media telekonferensi yang pada akhirnya menghasilkan informasi
elektronik yang dapat berupa gambar, suara dan foto atau sejenisnya serta
dokumen yang berbentuk rekaman dapat dijadikan alat bukti yang sah mengenai
pelaksanaan RUPS.
Tugas dan wewenang Notaris
secara umum terdapat pada Pasal 15 ayat (1) UUJN mendefinisikan tentang
kewenangan Notaris sebagai pejabat umum, yaitu sebagai berikut :
Notaris berwenang membuat akta otentik, mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
Perundang-Undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta autentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) diatas, pada
frasa kata "...yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan..."
jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT. Maka setiap pendirian PT
diwajibkan dibuat dalam bentuk akta notaris. Dengan demikian akta pendirian
yang tidak dibuat dalam bentuk akta notaris secara formal tidak sah dan tidak
bisa dilaksanakan.
Selain tugas dan wewenang
membuat akta pendirian, notaris masih bertugas untuk membuat permohonan kepada
Menkumham perihal pengesahan akta pendirian itu agar PT yang didirikan
memperoleh status badan hukum.
Selain berwenang membuat akta
pendirian PT, Notaris memiliki kewenangan lain di bidang PT yang disyaratkan
oleh UUPT, sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT yang
menyebutkan : "Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dimuat atau
dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia. Jika dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPT yang menyatakan Perubahan anggaran dasar
ditetapkan oleh RUPS." Ketentuan tersebut mengandung pengertian, bahwa
RUPS yang diselenggarakan dengan agenda merubah anggaran dasar harus dibuktikan
dalam bentuk akta notaris.
UUPT mengatur dua cara
pembuatan risalah rapat, yaitu "dimuat" atau "dinyatakan".
Frasa "dimuat" adalah berarti risalah rapat dibuat oleh notaris yang
lazim disebut akta berita acara rapat, sedang "dinyatakan" adalah
berarti risalah rapat dibuat sendiri dan kemudian risalah rapat tersebut
dinyatakan dihadapan notaris yang lazim disebut akta pernyataan keputusan
rapat. Adapun pengertian dan
prosedur pembuatan akta berita acara rapat dan akta pernyataan keputusan rapat
adalah :
a. Akta Berita Acara RUPS
RUPS dapat dilaksanakan dengan mengundang notaris
untuk menyaksikan dan mencatat kejadian dalam rapat. Kehadiran notaris tersebut
dalam rangka menjalankan profesinya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dari kejadian-kejadian yang akan dilakukan dalam rapat.
Tujuan diundangnya notaris untuk menyaksikan RUPS adalah agar notaris membuat
alat bukti mengenai interaksi yang dilakukan antara ketua rapat dengan peserta
rapat. Disamping itu notaris dapat memberikan saran dan masukan kepada ketua
rapat mengenai tatacara dan prosedur rapat yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atau anggaran dasar, agar keputusan rapat yang dihasilkan
dapat mengikat perseroan.
Isi dan bentuk Akta Berita Acara RUPS itu harus
bisa menggambarkan jalannya acara pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. Hal ini
dikarenakan akta tersebut bersifat verbal akta yang merupakan jenis akta yang
dibuat oleh Notaris, yang berisi gambaran mengenai kejadian yang disaksikan
oleh Notaris, maupun hal-hal yang diputuskan oleh RUPS.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian kerangka
konseptual, akta berita acara RUPS merupakan akta relaas, diundang untuk hadir
dan terlibat langsung dalam acara rapat untuk menyaksikan dan menuliskannya
dalam akta mengenai apa yang dilihat dan disaksikannya. Hal-hal yang disaksikan
oleh notaris itu dan kemudian ditulis oleh notaris ke dalam bentuk akta berita
acara rapat yang diadakan pada hari, tanggal dan waktu serta tempat yang
disebut di dalam akta berita acara rapat itu.
Pengaturan Pasal 90 ayat (2) UUPT, menyatakan
bahwa risalah rapat atau akta berita acara rapat yang dibuat oleh notaris,
tidak disyaratkan ditandatangani oleh peserta rapat. Demikian pula pengaturan
dalam UUJN memungkinkan peserta rapat untuk tidak menandatangani akta berita
acara. Notaris hanya perlu menambahkan keterangan mengenai alasan peserta rapat
tidak menandatangani akta yang ditulis oleh notaris itu. Dalam praktek
kenotariatan, fungsi tandatangan merupakan tanda persetujuan mengenai apa yang
tertulis di dalam akta. Kedudukan dari
tandatangan itu dapat digantikan dengan keterangan notaris yang disebutkan pada
bagian akhir akta. Pengingkaran terhadap keterangan notaris dapat dibuktikan
dengan keterangan dari saks-saksi yang juga ikut hadir dan menyaksikan rapat
serta adanya kewajiban bagi saksi-saksi untuk menandatangani akta. Dengan
demikian kebenaran isi akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh
bahwa akta itu adalah palsu.
Kehadiran, kesaksian dan akta berita acara rapat
yang dibuat atas permintaan pihak yang berkepentingan, adalah merupakan
kewenangan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN. Akta berita
acara rapat itu mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, sehingga
tidak perlu diragukan lagi kesempurnaan (keabsahannya), karena Notaris
menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum. Syarat suatu akta otentik yang
diatur pada Pasal 1868 KUH Perdata yang merupakan sumber otentisitas akta
Notaris, dan juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris. UUJN
merupakan pedoman bagi Notaris untuk menjalankan jabatannya. Agar akta Notaris
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, maka tata cara yang
ditetapkan oleh UUJN itu itu harus dipatuhi, ditaati, dan dilaksanakan oleh
Notaris.
Tujuan utama diundangnya notaris untuk hadir dalam
RUPS semata-mata adalah agar alat bukti hasil RUPS dinyatakan sebagai akta
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang disyaratkan oleh
ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT. Alasan diperlukannya akta otentik itu adalah
karena risalah rapat tersebut akan digunakan sebagai dasar "pendaftaran"
pada daftar umum badan hukum yang diselenggarakan pemerintah melalui
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendaftaran tersebut dapat bersifat
untuk mendapat persetujuan dan juga bersifat sebagai pemberitahuan/laporan agar
dicatat dalam daftar umum badan hukum.
b. Akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR)
RUPS juga dapat diselenggarakan tanpa mengundang
kehadiran Notaris. Setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan
ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang
saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS (vide Pasal 90 ayat (1) UUPT).
Penyelenggaraan RUPS yang dilakukan tanpa kehadiran Notaris, yaitu dengan
membuat risalah (notulen rapat) di bawah tangan yang memuat tentang keputusan
rapat yang diputuskan dalam RUPS, dan kemudian dibawa oleh orang yang
dikuasakan dalam risalah/notulen rapat itu kehadapan Notaris, untuk selanjutnya
dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.
Dari cara demikian, maka akta notaris yang
dihasilkan merupakan akta dari golongan partij akta atau akta pihak,
sebab adanya kedatangan kuasa dari RUPS tersebut yang datang dan menghadap
kepada Notaris yang menghendaki dibuatnya risalah rapat dalam akta Notaris. Isi
dari akta PKR, itu pada intinya berisi tentang segala sesuatu yang dibicarakan
dan diputuskan dalam RUPS yang diikuti, disaksikan, dan didengar yang secara
langsung oleh penandatanganan pada Akta PKR, yang dalam hal ini biasanya ketua
atau pimpinan RUPS itu sendiri.
Dalam hal dalam pertanggungjawabannya, Notaris
hanya bertanggung jawab atas isi dari keterangan para penghadap yang hadir
dalam RUPS yang dituangkan dalam akta Notaris tersebut. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan akta PKR adalah : Notaris dapat meminta
dokumen-dokumen penting kepada pihak-pihak yang hadir dalam rapat tersebut,
berupa hari dan tanggal penyelenggaran maupun pelaksanaan rapat, pemberitahuan
kepada seluruh pemegang saham, mengetahui berapa jumlah peserta yang hadir
dalam rapat, isi dari rapat, acara atau rapat, beserta program maupun agenda dalam
RUPS, mengetahui jam berapa rapat atau acara dimulai, dan jam berapa rapat atau
acara ditutup, maupun bagaimana cara penentuan dalam pengambilan keputusan pada
Rapat Umum Pemegang Saham.
Adapun tujuan dinyatakannya risalah RUPS itu ke
dalam bentuk akta notaris jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (4)
adalah risalah rapat itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Pasal 21 ayat (4) UUPT. Alasan
diperlukannya akta otentik itu adalah karena risalah rapat tersebut akan
digunakan sebagai dasar "pendaftaran" pada daftar umum badan hukum
(PT) yang diselenggarakan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Pendaftaran tersebut dapat bersifat untuk disetujui dan bersifat
pemberitahuan.
Substansi pengaturan Pasal 77
ayat (4) UUPT yang menegaskan bahwa RUPS dilakukan melalui media
telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya harus
dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta
rapat, jika dikaitkan dengan substansi pengaturan dengan kewajiban-kewajiban
notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana diatur dalam UUJN, tidak
memungkinkan bagi notaris untuk hadir, menyaksikan dan membuat akta berita
acara rapat dari RUPS yang diselenggarakan melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya. Hal tersebut disebabkan
adanya pengaturan Pasal 1 angka 7 UUJN menyatakan : “akta yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini.” Selanjutnya berdasar pada Pasal 16 ayat (1) Huruf m UUJN,
salah satu kewajiban notaris adalah membacakan akta dihadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. Dan dalam Penjelasannya ditegaskan bahwa Notaris
harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi.
Dari pengaturan-pengaturan
diatas, terutama pengaturan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, penulis berpendapat
bahwa kewajiban notaris untuk hadir secara fisik, membacakan akta dan
menandatangani akta pada saat itu juga (verleijden),
maka tidak mungkin untuk diterapkan pada saat pembuatan akta berita acara RUPS
yang dilakukan secara telekonferensi.
Dalam hal seorang notaris
memenuhi permintaan untuk hadir, menyaksikan dan membuatkan alat bukti berupa
akta berita acara RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, maka
notaris tersebut dapat dianggap telah melalaikan kewajibannya dalam menjalankan
jabatannya dalam hal ini adalah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m
UUJN.
Akibat hukum pembuatan akta
yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, maka berdasarkan Pasal 16
ayat (9) UUJN, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan. Sedangkan untuk pelanggaran terhadap Pasal 16
ayat (1) huruf a sampai dengan k, kepada Notaris yang bersangkutan dikenakan
sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 85 UUJN, dan untuk
Notaris yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 16
ayat (1) huruf i dan k, akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris yang
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
atau akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris yang bersangkutan.
B. Langkah
Pembaruan Hukum Di Biddang Kenotariatan Dalam Mengakomodir Kemajuan Teknologi
Informasi
Pembangunan nasional meliputi juga pembangunan di
bidang hukum karena hukum sebagai alat
pembaharu masyarakat, tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan yang
terjadi. Pembangunan hukum melalui pembentukan berbagai peraturan
perundang-undangan guna mengimbangi kebutuhan masyarakat seiring dengan
perkembangan teknologi informasi. Hukum dalam arti undang-undang, seringkali
tertinggal mengikuti masyarakat seiring dengan pesatnya perkembangan
pengetahuan dan teknologi. Keadaan demikian mengakibatkan kekosongan hukum.
Suatu kenyataan menunjukkan teknologi informasi
berkembang jauh lebih pesat dalam mengubah pola dan perilaku masyarakat
terutama dalam transaksi-transaksi bisnis. Pola konvensional dengan cara tatap
muka bergeser ke era kontrak elektronik. Kehadiran teknologi informasi melalui
internet melahirkan fenomena hukum berupa kontrak elektronik terhadap perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer atau jaringan komputer atau
media elektronik lainnya.
Transaksi bisnis melalui teknologi informasi tidak
lagi dilakukan dengan cara berhadapan langsung atau face to face tetapi dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan
teknologi informasi sehingga pertemuan secara langsung tidak lagi diperlukan.
Manfaat dan keuntungan dari pemanfaatan teknologi informasi dalam traksaksi
bisnis yang dapat diperoleh, yaitu lebih cepat karena dapat menghemat waktu,
dan praktis sebab tidak ada kendala transportasi, biaya dapat diperhitungkan.
Perkembangan tersebut tentunya akan membawa
perubahan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris selaku pejabat umum
yang berwenang membuat akta tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta otentik. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Notaris diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan untuk hadir secara fisik dalam arti bertemu
dan bertatap muka dengan pihak-pihak yang hendak melakukan transaksi atau
perbuatan hukum. Transaksi elektronik yang kemudian menghasilkan alat bukti
elektronik dalam sistem hukum di Indonesia sudah dikenal dan diakui. Ketentuan
Pasal 5 ayat (1) UU ITE, telah menerima dan mengakui Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektonik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti
elektronik yang sah menurut hukum. Demikian juga dalam ketentuan Pasal 77
ayat (1) dan ayat (4) UU PT, telah mengatur penyelenggaraan RUPS
dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Kedua ketentuan tersebut telah mengakomodasi alat
bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Namun demikian baik UU ITE maupun UU PT tidak
secara tegas menyebutkan alat bukti elektronik merupakan alat bukti tertulis
atau bukan. Oleh karena itu Notaris yang diberikan kewenangan untuk
melegitimasi suatu perbuatan hukum ke dalam alat bukti tertulis dapat turut
berperan dalam mengikuti perkembangan transaksi bisnis yang dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi infomasi itu. Dalam mengesahkan dan memberikan
legitimasi traksaksi elektronik itu, Notaris memerlukan payung hukum yang
menempatkan informasi/dokumen elektronik adalah identik dengan alat bukti
tertulis. Selama ini bentuk tertulis adalah identik dengan informasi atau
dokumen yang tertuang diatas kertas saja, padahal pada hakikatnya informasi
atau dokumen dapat dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media
elektronik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada proses
yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat penting,
yaitu proses pengharmonisasian. Dengan demikian, pengharmonisasian merupakan salah satu rangkaian proses
pembentukan peraturan perundang-undangan.
UUJN sebagai salah satu peraturan
perundang-undangan memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid,
legal certainty). Oleh karenanya peraturan perundang-undangan ini harus
memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain :
a) konsisten dalam perumusannya sehingga
terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya;
b) kebakuan susunan dan bahasa, dan
c) adanya hubungan harmonisasi antara berbagai
peraturan perundangundangan.
Hal ini memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah agar tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar
dalam penyusunan rancangan undang-undang adalah kesesuaian dan kesinkronannya
dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-undang sebagai sebuah
produk hukum harus melalui kajian yang mendalam, baik dari aspek teknis
operasional, kemudahan penerapan maupun teori-teori hukum yang mendasari setiap
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Jabatan Notaris tentu sangat terkait dengan budaya
hukum internal karena notaris termasuk pada penegak hukum. Penggunaan konsep
data elektronik dalam UUJN tentunya akan
berpengaruh kepada profesionalitas notaris. Sehingga penggunaan konsep ini
hendaknya dapat disesuaikan dengan kemampuan notaris di Indonesia. Sedangkan
untuk budaya hukum situasi yang sangat bergantung pada sikap dan nilai
masyarakat umum. Supaya suatu perubahan hukum dapat diterima oleh masyarakat
umum maka sejak awal proses pembentukan hukum harus memperhatikan prinsip law
as a tool of social engineering. Prinsip ini penting bagi Indonesia untuk
mencegah masalah sosial yang disebabkan oleh
ketidaksiapan menerima perubahan
teknologi yang begitu besar termasuk penerapan transaksi elektronik.
Peluang
agar transaksi elektronik dapat dibuatkan akta otentik tanpa bertemu secara langsung
antara para pihak dapat dilakukan dengan memperluas penafsiran bertemu secara
fisik menjadi bertemu dengan bantuan media elektronik berupa video konferensi,
atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua para pihak dan
notaris saling melihat dan mendegar serta berinteraksi secara langsung.
Perluasan
penafsiran semacam ini pernah dilakukan terhadap Pasal 1868 BW yang
penafsirannya diperluas melalui ketentuan Pasal 101 huruf a Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : “bahwa akta otentik
adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum, yang
menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum
yang tercantum didalamnya.” Dengan perluasan
penafsiran tersebut, maka unsur-unsur akta otentik menurut UU Peratun, yaitu :
- Surat yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum:
- Surat tersebut dibuat menurut peraturan perundang-undangan;
- Pejabat tersebut berwenang membuat surat
itu;
- Surat tersebut dipergunakan sebagai alat
bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum dalam surat
tersebut.
Dengan
perluasan penafsiran terhadap Pasal 1868 BW itu, maka akta yang dibuat
dihadapan PPAT memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai akta otentik.
Dari
contoh perluasan penafsiran yang penulis sampaikan diatas, dan atas dasar
aspirasi dan kebutuhan masyarakat maka aspirasi dan kebutuhan tersebut harus
diatur oleh hukum sepanjang dapat memberikan kepastian, keadilan dan
kemanfaatan.
Dengan
ditunjang dengan kecanggihan
teknologi seperti sarana telekonferensi yang memungkinkan akta dibacakan oleh notaris
melalui media dan didengar dan disaksikan oleh para pihak secara
online. Adapun mengenai penandatangan secara fisik, dapat diganti dengan
jaminan dari penyelenggara CA sebagai pihak yang ahli dalam bidang telematika
dan yang akan menjamin secara teknis bahwa identitas dari pihak-pihak dalam
akta serta kejadian selama pembuatan akta secara online yang terekam adalah
asli dan autentik serta diproteksi oleh penyelenggara CA.
Penggunaan
pihak ahli semacam itu, UUJN juga mengenal dan mengaturnya, yaitu adanya saksi
penerjemah resmi (profesi) dalam hal pihak-pihak menghendaki akta dibuat dalam
bahasa asing yang notaris sendiri tidak mengerti atau tidak bisa menjelaskan
kepada para pihak (vide Pasal 43 ayat (3) UUJN). Dari ketentuan tersebut
penulis berkesimpulan bahwa saksi ahli (penerjemah resmi) dimungkinkan untuk
dilibatkan dalam pembuatan akta notaris. Dengan demikian seorang ahli dalam
bidang telematika yang telah mempunyai izin untuk mengautentikasi transaksi
elektronik atau penyelenggara CA dapat membantu notaris dalam membuat akta
otentik, atas transaksi elektronik yang menghasilkan datas elektronik.
Kesaksian dari ahli telematika / penyelenggara CA tersebut dapat dianggap
sebagai pengganti tandatangan (surrogate)
pihak-pihak dalam akta. Tandatangan
fisik pada minuta akta dilakukan oleh saksi-saksi dan saksi ahli dan oleh
notaris sendiri. Dengan demikian unsur akta otentik harus ditandatangani telah
terpenuhi dengan ditandatanganinya akta oleh saksi ahli atau penyelenggara CA,
saksi-saksi lain dan notaris sendiri.
Penyelenggara CA yang dimaksud disini adalah pihak
ketiga yang dipercaya untuk memberikan kepastian atau pengesahan terhadap
identitas dari seseorang atau pelanggan (klien CA tersebut) dengan cara
menerbitkan sertifikat elektronik. Selain itu CA juga mengesahkan pasangan
kunci publik dan kunci privat milik orang tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Pengaturan mengenai prosedur
dan tatacara pembuatan akta notaris yang diatur dalam UUJN tidak memungkinkan
bagi notaris, untuk hadir, menyaksikan dan membuatkan akta berita acara RUPS
yang diselenggarakan melalui media telekonferensi. Subtansi dari RUPS yang
diselenggarakan melalui media konferensi itu adalah peserta rapat tidak berada
dalam satu tempat dan hanya terhubung dan berinteraksi melalui bantuan media
eletronik, sehingga pengertian peserta rapat harus hadir secara fisik
sebagaimana disyaratkan UUJN tidak dapat terpenuhi. Dalam hal notaris tetap
hadir dalam rapat dan kemudian membuatkan akta berita acara rapat, maka notaris
dapat dianggap telah melalaikan kewajibannya dalam menjalankan jabatannya yang
dapat berakibat akta yang dibuatnya itu kehilangan keotentikannya.
Perkembangan teknologi
informasi yang pesat telah menuntut dilakukannya pembaruan hukum di bidang
kenotariatan. Beberapa undang-undang telah mengakui data elektronik sebagai
alat bukti hukum yang sah. Pembaruan hukum diperlukan agar dapat menempatkan
data elektronik sejajar dengan alat bukti tertulis dan selanjutnya notaris
dalam berperan dalam membuatkan alat bukti tertulis atas transaksi elektronik
yang telah banyak dilakukan masyarakat.
b. Saran
Pembaruan hukum di bidang
kenotariatan dalam mengakomodir transaksi elektronik yang dilakukan masyarakat
harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi semua pihak, bahwa
Notaris dalam menggunakan/memanfaatkan teknologi informasi berupa
komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya dapat
berkomunikasi, mendengarkan, mengamati dan mencermati, serta memahami seluruh
perbuatan atau kejadian atau keadaan yang berlangsung dalam proses pelaksanakan
tugas dan kewenangan jabatan Notaris dalam memberi legitimasi transaksi
elektronik. Perlu dilakukan perubahan (revisi) terhadap UUJN dan UU
ITE, dan melakukan harmonisasi hukum antara berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait, sehingga terjadi sinkronisasi hukum antara
undang-undang yang ada, yang mengatur tentang otensitas dari akta autentik dan
kekuatan akta elektronik dalam pembuktian yang selama ini menjadi kendala dalam
pembuatan akta secara elektronik oleh notaris.
Teknologi Informasi yang
digunakan harus dapat menjamin bahwa penandatanganan melalui elektronik dapat
mengetahui keinginan masing-masing pihak, identitas penandatangan,
keinginan serta dapat membaca seluruh Dokumen/Informasi Elektronik
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adjie, Habib (2011), Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika
Aditama, Bandung.
Ali, Achmad, (2005) Keterpurukan
Hukum di Indonesia (Penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, Bogor.
Budiono, Herlien, (2007) Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fuady, Munir, (2003) Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Halim,
Hamzah, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, (2009) Cara Praktis
Menyusun & Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoretis & Praktis
Disertai Manual),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mantili, D. Man
Sastrawijaya, (2008) Perseroan Terbatas
menurut Tiga Undang-Undang, Alumni, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno,
(2002) Hukum Acara Perdata Indonesia,
Edisi Keenam, Liberty, Yogyakarta.
Nico, (2003) Tanggung Jawab
Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law, Yogyakarta,
2003.
Nurita, Emma, (2012) Cyber Notary Pemahaman Awal dari Konsep
Pemikiran, Refika Aditama, Bandung.
Prajitno, Andi, (2015) Apa dan
siapa Notaris di Indonesia?sesuai UUJN Nomor 2 Tahun 2014, PMN, Surabaya.
Prasetya, Rudhi, (2001) Kedudukan
Mandiri Perseroan Terbatas, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Raharjo, Handri, (2009) Hukum Perusahaan, Pustaka Yusticia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, (2012) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, (1980) Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarta.
Subekti, Raden dan Raden
Tjitrosudibio, (2009), Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Supramono, Gatot, (1996) Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan,
Jakarta.
Syahrani, Riduan, (1999) Rangkuman
Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Tan Thong Kie (2007), Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Tirtaamidjaja, (2000) Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Cetakan IV,
Djambatan, Jakarta.
Tobing, G.H.S. Lumban, (1982) Peraturan
Jabatan Notaris, Erlangga. Jakarta.
Vlies, I.C. Van Der, (2005) Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-Undangan (Handboek Wetgeving), diterjemahkan oleh Linus
Doludjawa, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen
Hukum dan HAM RI.
Yani, Ahmad dan Gunawan
Widjaya, (2006) Perseroan Terbatas,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jurnal
Hamzah, (1989) Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul
Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13
Tahun IV, Oktober.
Internet
Eprints.undip.ac.id
MUNTINAH, di akses pada Tanggal 14 oktober 2017.
Eprints.undip.ac.id ROITA_ASMA, di akses pada Tanggal 15 Oktober 2017.
Kongkow, Mengenal Jenis-Jenis
Telekonferensi, di akses pada Tanggal 17 Oktober 2017, Pukul 09.25.
http://tetrag.blogspot.com/2010/01/perkembangan-hukum-di-negara-berkembang.
html, Perkembangan Hukum
di Negara Berkembang Peran Budaya Hukum, diakses tanggal 4 April 2018.
Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman, http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/perkembangan-reformasi-kekuasaan.html,
diakses tanggal 4 April 2018.
Peraturan
Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie) Stbl.1847 No. 23.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4432 juncto Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5491.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroang Terbatas, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4843 juncto Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5952.
Komentar
Posting Komentar