PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OBYEK JAMINAN FIDUSIA 


1. PENDAHULUAN 

Salah satu lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem hukum jaminan di Indonesia adalah lembaga jaminan fidusia. Fidusia sendiri mempunyai pengertian penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan yang memberikan kedudukan kepada debitur untuk tetap menguasai barang jaminan. Lembaga Jaminan Fidusia telah diakui eksistensinva dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pada tanggal 30 September 1999 dan diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia). 
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. 
Sebagaimana lembaga jaminan kebendaan lainnya, seperti hak tanggungan dan gadai, fidusia adalah perjanjian tambahan (assesoir) yang merupakan bagian dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang. Sehingga dapat diartikan bahwa jaminan fidusia harus diawali dengan adanya perjanjian utang-piutang antara kreditor dengan debitor. Fidusia merupakan jaminan agar kewajiban debitor kepada kreditor dapat diselesaikan/dibayar dengan semestinya sesuai yang diperjanjikan dalam perjanjian utang-piutang. 
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia, mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. 
Kreditor yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan. 
Pendaftaran jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia, akan menghasilkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada penerima fidusia (droit de preferent) daripada kreditor lainnya (vide Pasal 27).
Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (vide Pasal 15 ayat (1) dan (2). 
Apabila debitor melalaikan kewajibannya (wanprestasi) maka kreditor dapat melakukan eksekusi pada obyek jaminan fidusia yang diberikan. 
Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan 3 (tiga) alternatif cara eksekusi jaminan fidusia, yaitu :
  1. Dilakukan penjualan melalui pelelangan umum atas kekuatan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), untuk ini diperlukan fiat pengadilan. 
  2. Dilakukan penjualan melalui pelelangan umum atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). 
  3. Dilakukan penjualan dibawah tangan atas dasar kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia, jika dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (vide Pasal 29 ayat (1) huruf b). 
Dalam rangka pelaksanaan eksekusi, Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda obyek jaminan fidusia (vide Pasal 30). Namun di dalam prakteknya di masyarakat, kewajiban penyerahan obyek fidusia apabila debitor wanprestasi ini banyak menimbulkan permasalahan dan banyak terjadi Penerima fidusia dengan memakai jasa pihak ketiga melakukan penarikan paksa obyek jaminan fidusia yang terkadang dilakukan secara melawan hukum. 
Adapun permasalahan yang hendak dikaji adalah apakah penarikan paksa obyek jaminan fidusia melalui jasa pihak ketiga telah sesuai dengan hukum ? 

2. PEMBAHASAN

Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian
Sebagaimana telah disinggung diawal, Jaminan Fidusia merupakan perjanjian tambahan (assesoir) dari perjanjian utang-piutang. Keabsahan suatu perjanjian itu harus berpedeoman kepada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yang mengandung prinsip-prinsip : sepakat; cakap; suatu hal/sebab tertentu; dan sebab/causa yang diperbolehkan. 
Prinsip pertama dari ketentuan tersebut adalah sepakat, yang berarti perjanjian lahir karena adanya kesepakatan/konsensus dari para pihak. Dalam perikatan timbal balik, prinsip ini seringkali disertai posisi tawar (bargaining position) para pihak yang sering menimbulkan posisi tidak seimbang antara kreditor dan debitor. Adanya asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) membuat posisi kreditor cenderung lebih kuat dalam mengatur isi/materi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban, sedangkan posisi debitor biasanya hanya bisa menerima atau menolak (take it or leave it) saja.
Tolok ukur tercapainya asas keseimbangan adalah terjadinya proses pra sepakat atau tahap negosiasi yang fair dan terjaminnya pelaksanaan hak serta kewajiban para pihak secara proposional. 

Asas Utang Harus Dibayar 
Perjanjian utang-piutang yang dijamin dengan jaminan fidusia yang telah dibuat diantara para pihak, merupakan perikatan timbal balik yang menimbulkan hak dan kewajiban. Hak debitor merupakan kewajiban bagi kreditor dan sebaliknya, hak kreditor merupakan kewajiban bagi debitor. Hak debitor adalah menerima sejumlah pinjaman yang telah diperjanjikan dan merupakan kewajiban kreditor untuk menyediakan pinjaman itu untuk debitor. Atas prestasi kreditor menyediakan dan menyerahkan pinjaman bagi debitor, menimbulkan kontraprestasi bagi debitor yang berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana mestinya. Undang-undang telah menyediakan jaminan umum (vide Pasal 1131 KUH Perdata) bagi terjaminnya kembali piutang kreditor dari debitor. Namun jaminan umum ini dirasa kurang sehingga masih diperlukan jaminan khusus berupa jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan ini pengaturannya memiliki karakteristik yang berbeda-beda, semata-mata demi memberikan kepastian pelunasan utang debitor kepada kreditor. 

Asas Itikad Baik 
Dalam membuat perjanjian, termasuk perjanjian utang piutang harus dilandasi asas itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas ini mengatur bahwa para pihak baik kreditor maupun debitor harus melaksanakan isi/meteri perjanjian berdasarkan kepercayaan dan kemauan yang baik. Ketika seseorang terbukti ketika membuat perjanjian dilandasi atas itikad buruk maka dapat berakibat batalnya perjanjian tersebut. Misal seseorang membuat perjanjan utang piutang dengan tujuan menggelapkan dana pinjamannya maka jelas bahwa hal tersebut tidak didasari oleh itikad baik. 

Kepastian Pelunasan Utang 
Agar kreditor mendapatkan kepastian pelunasan piutangnya dari debitor, maka diperlukan jaminan kebendaan milik debitor/penjamin. Jaminan ini akan dipergunakan manakala debitor melalaikan kewajibannya/wanprestasi. Apabila debitor wanprestasi maka barang jaminan tersebut akan disita dan dilakukan penjualan dimuka umum (pelelangan). Sebagaimana telah disinggung diatas, UU Jaminan Fidusia memberikan 3 (tiga) alternatif cara, namun penulis hanya akan mengkaji alternatif pertama dan kedua saja, yaitu eksekusi berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dan parate eksekusi. 
1) Berdasarkan titel eksekutorial 
Sertifikat Jaminan Fidusia Dalam terminologi, pengertian eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. UU Jaminan Fidusia telah mengatur bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (vide Pasal 15 ayat (2)). Walaupun Sertifikat Jaminan Fidusia telah dianggap sebagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun dalam pelaksanaan eksekusi harus tetap mengikuti prosedur pelaksanaan suatu keputusan pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 196 ayat (3) HIR (Herzien Indonesia Reglemen), yaitu kreditur harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi atas benda jaminan berdasarkan titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut, lazimnya proses untuk ini disebut fiat pengadilan. Kemudian Pengadilan akan memberitahukan kepada Debitor/Pemberi Fidusia yang bersangkutan agar menyerahkan jaminan fiduasia yang dijadikan jaminan untuk dieksekusi secara sukarela, jika nasabah tidak mau, maka pengadilan akan memerintahkan juru sita untuk menyita jaminan fidusia yang merupakan objek jaminan fidusia tersebut. 
2) Berdasar kekuasaan sendiri (Parate Eksekusi) 
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur : ”Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Ketentuan ini memberikan pengertian bahwa kreditor diberikan kekuasaan untuk menjual sendiri obyek jaminan fidusia layaknya menjual barang miliknya sendiri yang berarti tidak diperlukan fiat pengadilan untuk melakukan penjualan tersebut. Penjualan dimaksud adalah penjualan yang dilakukan dimuka umum melalui pelelangan. 

Penarikan Paksa Obyek Jaminan Fidusia Oleh Penerima Fidusia atau Kuasanya 
Berdasarkan uraian-uraian diatas, permasalahan penarikan paksa kendaraan bermotor yang menjadi obyek jaminan fidusia yang dilakukan oleh oleh penerima fidusia atau pihak ketiga yang diberi kuasa, merupakan hal yang dilakukan diluar ketentuan hukum yang diuraikan diatas. Titel eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia maupun ketentuan parate eksekusi tidak memberikan wewenang kepada Penerima Fidusia atau kuasanya untuk melakukan penyitaan terhadap obyek jaminan fidusia. Dari ketentuan peraturan perundanga-undangan Penerima Fidusia hanya diberi wewenang untuk melakukan penjualan obyek jaminan fidusia yang hasilnya dipergunakan sebagai pelunasan utang debitor kepada kreditor. Kewenangan penyitaan menurut ketentuaan Pasal 196 HIR tetap berada pada juru sita pengadilan. 
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut PerKapolri), Kepolisian sebagai institusi negara yang bertugas dan berfungsi untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; atas permohonan bersedia memberikan pengamanan kepada Penerima Fidusia untuk melakukan pengamanan. 
Menurut Pasal 6 PerKapolri tersebut disebutkan bahwa : Pengamanan terhadap objek jaminan fidusia dapat dilaksanakan dengan persyaratan: 
a. ada permintaan dari pemohon; 
b. memiliki akta jaminan fidusia; 
c. jaminan fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia; 
d. memiliki sertifikat jaminan fidusia; dan 
e. jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia. 
Selanjutnya di dalam Pasal 8 dan 9 ayat (1) Perkapolri disebutkan : 
Pasal 8 
(1) Permohonan pengamanan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan dengan melampirkan : 
a. salinan akta jaminan fidusia; 
b. salinan sertifikat jaminan fidusia; 
c. surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya; 
d. identitas pelaksana eksekusi; dan 
e. surat tugas pelaksanaan eksekusi. 
(2) Surat peringatan kepada Debitor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah diberikan sebanyak 2 (dua) kali, yang dibuktikan dengan tanda terima. 
Pasal 9 (1) 
Dalam hal penerima jaminan menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan eksekusi, permohonan pengamanan eksekusi diajukan dengan melampirkan perjanjian kerja sama eksekusi jaminan fidusia antara penerima jaminan dengan pihak ketiga yang ditunjuk. Kemudian di bagian menimbang huruf c dari PerKapolri disebutkan : ”bahwa eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum mengikat yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga memerlukan pengamanan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;” 
Dari ketentuan-ketentuan yang disebut dalam Perkapolri tersebut, menurut analisis penulis adalah sebagai berikut : 
  1. Sudah menjadi tugas dan dan fungsi Kepolisian untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. 
  2. Perkapolri tersebut didasari maraknya penarikan paksa obyek jaminan yang disertai kekerasan oleh pihak ketiga yang ditunjuk Penerima Fidusia, sehingga Kepolisian merasa perlu untuk melakukan pengamanan agar penarikan paksa tersebut tidak terjadi keributan dan kekerasan. 
  3.  Akan tetapi Perkapolri tersebut terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu ” 1) Bagian menimbang huruf c, yang menyebutkan : bahwa eksekusi Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum mengikat yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga memerlukan pengamanan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kemudian pengaturan pada Pasal 6 dan Pasal 8, yang pada intinya demi keamanan Kepolisian menerima permohonan Penerima Fidusia untuk mendapat pengamanan dalam melakukan penyitaan/penarikan paksa obyek Jaminan.
Menurut penulis Perkapolri tersebut seolah-olah secara hukum Sertifikat Jaminan Fidusia telah memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk melakukan untuk melakukan penarikan paksa/penyitaan atas obyek jaminan fidusia. Menurut ketentuan hukum dalam hal eksekusi dilakukan berdasarkan kekuatan titel eksekutorial, maka masih dibutuhkan fiat pengadilan untuk melakukan eksekusi/penjualan melalui pelelangan. Dalam hal penjualan dilakukan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) maka fiat pengadilan tidak syaratkan 
Pasal 9 ayat (1) yang menyebutkan : ”Dalam hal penerima jaminan menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan eksekusi, permohonan pengamanan eksekusi diajukan dengan melampirkan perjanjian kerja sama eksekusi jaminan fidusia antara penerima jaminan dengan pihak ketiga yang ditunjuk.” Menurut penulis ketentuan ini tidak dapat dilaksanakan bilamana eksekusi dilakukan berdasarkan kekuasaan sendiri (parate eksekusi). Karena ketentuan parate eksekusi telah tegas menyatakan dilakukan atas kekuasasan sendiri dan bukan dikuasakan kepada pihak lain. 
Oleh karena menurut ketentuan hukum Penerima Fidusia atau pihak ketiga yang ditunjuk tidak diberikan wewenang oleh hukum untuk melakukan penyitaan/penarikan paksa, menurut penulis penyitaan/penarikan paksa tersebut perlu mendapat pengamanan dari Kepolisian. Penyitaan/penarikan paksa tersebut merupakan upaya main hakim sendiri dan dilarang oleh hukum. 
 
3. PENUTUP 
a. Kesimpulan 
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Lembaga Jaminanan Fidusia merupakan jaminan terhadap benda bergerak, untuk menjamin pelunasan utang debitor kepada kreditor, yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Perjanjian utang-piutang antara debitor dengan kreditor yang dijamin dengan lembaga jaminan fidusia, harus dibuat dengan memperhatikan asas keseimbangan. Kewajiban utang debitor harus dibayar dengan semestinya sehingga debitor dirasa perlu untuk memberikan jaminan kebendaan (fidusia), agar apabila debitor wanprestasi, kreditor dapat melakukan eksekusi atas jaminan yang diberikan. Eksekusi jaminan fidusia dalam dilakukan melalui 3 alternatif, yaitu berdasarkan kekuatan eksekutorial, parate eksekusi dan kesepakatan untuk menjual secara dibawah tangan. Dalam hal jaminan akan dieksekusi pemberi fidusia wajib untuk menyerahkan obyek jaminan fidusia, namun apabila pemberi fidusia tidak bersedia melakukan penyerahan secara sukarela, menurut hukum penerima tidak diperbolehkan melakukan penyitaan/penarikan paksa sendiri. 
Kewenangan untuk melakukan penyitaan dalam perkara perdata menurut hukum diberikan kepada juru sita pengadilan. UU Jaminan Fidusia hanya mengatur mengenai tatacara eksekusi dan penjualan obyek jaminan fidusia, dan tidak mengatur mengenai penarikan paksa/penyitaan obyek jaminan fidusia. 
Oleh karena Penerima Fidusia atau pihak yang ditunjuk tidak diberikan kewenangan secara hukum untuk melakukan penyitaan, maka upaya penarikan paksa obyek jaminan merupakan upaya main hakim sendiri dan tidak semestinya mendapat pengamanan Kepolisian malah seharusnya dicegah dan ditindak bila masih melanggar. 
b. Saran 
Oleh karena Penerima Fidusia tidak beri wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyitaan dan penarikan paksa kendaraan bermotor obyek jaminan fidusia, sehingga tidak selayaknya mendapatkan pengamanan Kepolisian, maka sebaiknya PerKapolri Nomor 8 Tahun 2011 tersebut dicabut saja. 
 
DAFTAR PUSTAKA 
J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. 
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, cet ke-5 Intermasa, Jakarta, 1986. 
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda cet ke-4, Liberty, Yogyakarta, 1981. 
Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akte Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Media Notariat no: 8-9 tahun III Oktober 1988. Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2007. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA