URGENSI SINKRONISASI AKAD PERBANKAN SYARIAH DENGAN AKAD JAMINAN HARTA BENDA MENURUT PRINSIP SYARIAH
URGENSI SINKRONISASI AKAD PERBANKAN SYARIAH DENGAN
AKAD JAMINAN HARTA BENDA MENURUT PRINSIP SYARIAH
Oleh Agus Suhariono
Email : agus.suhariono@gmail.com
Abstrak
Sesuai kebutuhan dan asas kemanfaatan serta kemaslahatan, perikatan (akad) muamalah berdasarkan prinsip-prinsip
syariah telah dipositifisasi ke dalam hukum nasional dengan diundangkannya UU
tentang Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut telah cukup jelas mengatur
mengenai kegiatan perbankan syariah dan tatacara penyelesaian sengketanya.
Namun tidak mengatur mengenai hukum jaminan menurut prinsip-prinsip syariah. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan kedudukan agunan dalam akad muamalah
haruslah amanah sehingga tidak diperlukan jaminan harta benda. Namun di dalam
prakteknya bank syariah sering mensyaratkan adanya agunan harta benda sebagai
syarat untuk mendapat pembiayaan. Hal tersebut ditegaskan pula oleh Dewan
Syariah Nasional yang memperbolehkan pembiayaan disertai aguna harta benda (rahn). Oleh karena tidak ada pengaturan
akad jaminan berdasar prinsip syariah, maka pengikatan jaminan tersebut
dilakukan dengan menggunakan hukum jaminan nasional, yang bukan merupakan akad
jaminan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Sehingga diperlukan
sinkronisasi antara akad muamalah dengan akad jaminan rahn
Kata Kunci : bank syariah, agunan harta
1.
PENDAHULUAN
Dewasa ini perkembangan
perekonomian berbasis syariah semakin mengalami peningkatan seiring dengan
makin majunya pengetahuan muslimin dan muslimat di Indonesia. Selama ini
kegiatan sehari-hari maupun dalam berbisnis diantara manusia tidak sedikit yang
mengandung unsur riba’ yang menurut ajaran Islam adalah merupakan hal yang
dilarang (haram), sehingga kemudian dicari cara terbaik dalam menjalankan
aktifitas sehari-hari maupun dalam berbisnis. Menyikapi fenomena diatas,
kemudian pemerintah dari sebuah negara yaitu Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam menampung aspirasi masyarakatnya dengan membuat
peraturan / hukum nasional yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Sebelumnya ajaran agama Islam
yang telah diadopsi dalam hukum nasional masih berkisar tentang masalah
perkawinan, perceraian dan warisan serta wakaf saja, namun karena kebutuhan
masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat, maka
sekarang ini urusan mengenai perbankan dengan prinsip-prinsip syariah Islam
juga telah diatur oleh hukum nasional, yaitu dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya
disingkat UU Perbankan Syariah).
Kegiatan perbankan dengan
prinsip syariah sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Namun dalam UU Perbankan (konvensional) tersebut prinsip-prinsip syariah masih
belum diatur secara spesifik. Demikian juga dengan definisi dalam UU Perbankan
Syariah berbeda dengan definisi dalam UU Perbankan (konvensional). UU Perbankan
Syariah memberikan definisi bahwa prinsip syariah adalah hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Diundangkannya UU Perbankan
Syariah ini menarik untuk dikaji karena merupakan bentuk pengakuan negara atas
sumber hukum yang bermuara dari ajaran agama Islam. Berdasarkan sejumlah
undang-undang yang mengatur perbankan syariah sebelumnya, nampak bahwa
pengaturan perbankan syariah masih merupakan bagian dari perbankan umum. Namun
sekarang ini perbankan syariah tidak dapat sama dengan perbankan konvensional.
Pengaturan UU Perbankan
Syariah yang bersumber dari hukum Islam adalah untuk menciptakan ketertiban dan
kedamaian masyarakat Indonesia dalam menjalan kehidupan / kegiatannya. Hukum
yang diberlakukan harus memiliki nilai-nilai kehidupan masyarakatnya. UU
Perbankan Syariah telah cukup jelas mengatur mengenai kegiatan perbankan
syariah dan tatacara penyelesaiannya jika terjadi sengketa, namun UU Perbankan
Syariah tidak mengatur mengenai jaminan khusus berdasarkan prinsip syariah.
Selama ini apabila perbankan syariah menjalankan kegiatan usahanya yang
memerlukan jaminan, maka pemberian jaminan tersebut masih memakai hukum jaminan
nasional yang tentu saja menimbulkan desinkornisasi
antara akad-akad perbankan syariah dengan jaminan yang diberikan yang masih
diikat dengan hukum jaminan sebagaimana diberlakukan terhadap perbankan
konvensional, misalnya mengenai hak tanggungan, fidusia dan gadai.
Di dalam bagian konsideran
huruf c UU Perbankan Syariah disebutkan bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan
dibandingkan dengan perbankan konvensional. Untuk pengaturan mengenai jenis kegiatan
usaha perbankan syariah dan forum penyelesaian sengketanya telah cukup jelas
diatur dan memiliki sifat kekhususan. Akan tetapi untuk jaminan yang diperlukan
yamg berkaitan dengan kegiatan usaha perbankan syariah tersebut masih belum
menunjukan sifat kekhususannya, karena yang berlaku dalam praktenya adalah
hukum umum mengenai jaminan sebagaimana yang diterapkan oleh perbankan
konvensional, padahal dalam hukum Islam juga terdapat konsep hukum jaminan
syariah yang terdiri berbagai macam jenis jaminan yang sesuai dengan prinsip
syariah.
2.
PEMBAHASAN
a. Positifisasi
Hukum Islam Dalam UU Perbankan Syariah
Hukum nasional yang bersumber
dari hukum Islam bersandar pada dasar negara Pancasila, yaitu sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) yang
berbunyi : ”Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Masuknya hukum
perbankan syariah ke dalam hukum nasional menjadi bukti bahwa hukum Islam
adalah hukum yang diakui sebagai salah satu sumber hukum nasional selain hukum
kebiasaan (adat) dan hukum barat serta memiliki kedudukan yang sama dan
seimbang. Selain itu tuntutan perkembangan perbankan syariah secara
internasional dan nasional tentu saja memerlukan pengaturan yang jelas dan
tegas untuk menciptakan kepastian hukum.
Proses pengundangan UU Perbankan
Syariah mulai dari penyusunan hingga penerapannya telah melewati proses
demokrasi sebagaimana sumber hukum lainnya, karena memiliki arti penting yang
bermakna akan bermanfaat (utility)
dan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat serta memiliki tujuan nasional di
bidang ekonomi.
Teori utility merupakan teori yang menghubungkan hubungan antara hukum
dan ekonomi. Teori ini memandang bahwa hukum dibangun atas dasar kemanfaatan.
J.S. Mill dan Jeremy Bentham, menempatkan 3 (tiga) kerangka manfaat. Pertama, manfaat merupakan kebijaksanaan yang mendatangkan
manfaat atau kegunaan tertentu. Kedua, manfaat merupakan kebijakan yang
mendatangkan manfaat besar dibanding dengan kebijaksanaan alternatif. Ketiga,
manfaat merupakan sebuah tujuan yang bertujuan untuk masyarakat.[1]
Regulasi perbankan syariah dalam pandangan teori utility sebagai sesuatu yang baik dan memberi manfaat kepada
sebagian besar masyarakat Indonesia,
karena sebagian besar penduduk di Indonesia beragama Islam. Kemudian teori utility ini disempurnakan oleh teori maslahat di dunia hukum Islam. Al-Mashlahat merupakan sebuah
upaya mewujudkan kemanfaatan dan menghindari kemudaratan (jalbu al-mashâlih
wa dar‘u al-mafâsid).[2]
Tujuan syariat menurut al-Syatîbî diturunkan adalah untuk menciptakan
kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat secara
bersama-sama.[3]
Urgensi diundangkannya UU
Perbankan Syariah dapat dilihat dari konsiderannya yang menyatakan bahwa :
a. Sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang
berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang
sesuai dengan prinsip syariah;
b. Kebutuhan
masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
c. Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan
dengan perbankan konvensional;
d. Pengaturan
mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;
dan (e) berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah.
Selanjutnya dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum
UU Perbankan Syariah yaitu:
1. Agar
tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan
global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen
masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna
mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan tujuan
pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi
masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem
ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya
ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai
keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil
‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang
didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah;
2. Prinsip
Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan
ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam
berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil.
Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang
sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun
potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang
antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong
pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh
pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal;
3. Perbankan
Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana
pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan
ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan
yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di
antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan
Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi
berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang
mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain
pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.
Dari uraian diatas, pada hakekatnya
kemauan politik (political will)
pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan yang
secara kelembagaan dilaksanakan oleh Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS)
b. Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
Menurut UU Perbankan Syariah
yang diperboleh untuk melakukan kegiatan perbankan syariah adalah Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah (UUS) (vide Pasal 1 angka 1). Perbankan Syariah terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (vide Pasal 18).
Perbedaan antara Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Umum Syariah dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran (vide Pasal 1 angka (8) dan (9)). Unit Usaha Syariah (UUS)
adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah, demikian ketentuan Pasal 1 angka (10) Undang-Undang
Perbankan Syariah.
Kegiatan utama perbankan
syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan biaya
(pembiayaan) serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jaminan syariah.
Dalam Pasal 1 angka (25), ”Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa :
1. transaksi
bagi hasil dalam bentuk mudharabah
dan musyarakah;
2. transaksi
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik;
3. transaksi
jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna;
4. transaksi
pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
5. transaksi
sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil”
Kegiatan usaha Bank Umum
Syariah atau/atau Unit Usaha Syariah (UUS) diatur dalam Pasal 19 UU Perbankan
Syariah, yang menyebutkan :
“(1)Kegiatan usaha Bank Umum Syariah
meliputi :
a. menghimpun
dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah,
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’,
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan
pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan
usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli,
menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain,
seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah,
atau hawalah;
j. membeli
surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. melakukan
Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan
Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang
dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan
uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah
berdasarkan Prinsip Syariah;
o. melakukan
fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p. memberikan
fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
q. melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial
sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan
usaha UUS meliputi :
a. menghimpun
dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah,
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’,
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan
pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan
atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti
Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah,
atau hawalah;
j. membeli
surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. menyediakan
tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan
uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah
berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan
fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
o. melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial
sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari uraian kegiatan usaha perbankan syariah
tersebut dapat disimpulkan bahwa UU Perbankan Syariah telah sesuai dengan
kaidah Fiqih yaitu : ”pada dasarnya
segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
c. Kedudukan
Jaminan Dalam Akad Syariah
Pada prinsipnya dalam akad
syariah harus amanah sehingga tidak
diperlukan jaminan berupa harga benda (rahn).
Berdasarkan prinsip tersebut UU Perbankan Syariah tidak menempatkan
agunan sebagai jaminan utama, yang berarti agunan tidak mutlak harus ada pada
saat dibuatnya akad syariah yang berbentuk pembiayaan. Pasal 1 angka (26) UU
Perbankan Syariah menyebutkan : ”Agunan adalah jaminan tambahan, baik
berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik
Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban
Nasabah Penerima Fasilitas”. Dari prinsip dan ketentuan diatas, dapat
disimpulkan bahwa kelayakan dan kesanggupan nasabah yang menjadi jaminan utama
untuk memperoleh fasilitas pembiayaan dari Bank Syariah.
Dalam menyalurkan dana melalui
pembiayaan Bank Syariah dan UUS harus didasarkan pada prinsip kelayakan
penyaluran dana yang diatur dalam Pasal 23 UU Perbankan Syariah, yang
menyatakan :
(1) Bank
Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon
Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum
Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
(2) Untuk
memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau
UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal,
Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas.
Prinsip kelayakan penyaluran dana sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 tersebut merupakan salah satu perwujudan asas kehati-hatian yang
lazim dilakukan dalam dunia perbankan, dan menjadi keharusan Perbankan Syariah
untuk melakukan analisis kelayakan penyaluran dana sebagai upaya untuk menjamin
bahwa dana yang akan disalurkan dapat dibayar kembali oleh calon nasabah
penerima fasilitas tanpa suatu masalah apapun.
Oleh karena UU Perbankan
Syariah tidak memposisikan agunan sebagai jaminan utama dalam melakukan
analisis kelayakan penyaluran dana, maka pembuat/perumus UU Perbankan Syariah
merasa tidak perlu mengatur lebih lanjut mengenai agunan berdasar prinsip
syariah ke dalam UU Perbankan Syariah. Namun ternyata di dalam prakteknya baik Bank
Syariah maupun UUS hampir selalu mensyaratkan adanya jaminan berupa harga benda
milik Nasabah untuk menjamin pembayaran kembali pembiayaan yang diterima
nasabah. Pengikatan jaminan ini dilakukan sesuai hukum nasional. Hal ini disebabkan
tidak adanya pengaturan pengikatan (akad) jaminan dalam UU Perbankan Syariah.
Selanjutnya berdasarkan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan Yang
Disertai Rahn, yang memperbolehkan pembiayaan syariah disertai dengan jaminan
berupa harga benda (rahn). Namun
demikian pengertian rahn ini belum
diadopsi oleh hukum nasional sehingga Lembaga Jaminan harta benda berdasarkan
prinsip syariah (rahn) ini belum
mendapat pengaturan dalam UU Perbankan Syariah. Untuk mengisi kekosongan hukum,
maka lembaga jaminan harta yang diatur dalam hukum nasional yang dipergunakan,
walaupun pada prinsipnya hukum jaminan nasional (HT, Fidusia dan Gadai)
tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
3.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa diundangkannya UU Perbankan Syariah merupakan
positifasi hukum Islam ke dalam hukum nasional yang mendudukan hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum disamping hukum kebiasaan (adat) dan hukum
barat.
UU Perbankan Syariah merupakan
undang-undang yang kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah
serta memiliki kekhususan yang membuatnya berbeda dengan praktek perbankan
konvensional. Kekhususan tersebut meliputi kegiatan usaha dan tatacara
penyelesaian sengketa yang hanya ditangani oleh Pengadilan Agama.
Akad-akad muamalah harus
dijalankan secara amanah sehingga
faktor keyakinan, kelayakan dan kesanggupan nasabah untuk meyelesaikan
pembiayaan yang diterimanya menjadi jaminan utama, sedang agunan berupa harga
benda (rahn) ditempatkan sebagai
jaminan tambahan, sehingga perumus UU Perbankan Syariah tidak merasa perlu
mengatur lebih lanjut mengenai agunan harga benda (rahn) ke dalam UU Perbankan Syariah.
Didalam prakteknya serta
penerapan asas kehati-hatian bank, bank-bank syariah dan UUS hampir selalu
mensyaratkan adanya agunan berupa harta benda (rahn) dalam setiap penyaluran dana (pembiayaan) kepada nasabahnya.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya Fatwa Dewan Syariah Nasional yang
memperbolehkan pembiayaan syariah disertai dengan rahn.
Oleh karena belum ada
pengaturan khusus mengenai akad jaminan (rahn)
dalam hukum nasional, maka pengikatan jaminan tersebut dilakukan melalui
lembaga jaminan dalam hukum nasional, yang tentunya lembaga jaminan tersebut
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hal tersebut menyebabkan sifat
kekhususan UU Perbankan Syaraiah menjadi hilang. Disamping itu menyebabkan
desinkronisasi antara akad pembiayaan yang telah dilakukan berdasarkan prinsip
syariah dengan akad jamina harta (rahn)
yang masih belum berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Sehingga pengaturan hukum
akad jaminan harta benda (rahn) berdasarkan prinsip-prinsip syariah menjadi
sangat urgent agar tercapai sinkronisasi berlakunya prinsip syariah.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] J.S.
Mill dan Jeremy Bentham, Utilitarism and Other Essays (London: Penguin Book Ltd, 2004), h. 5
[2] Imran
Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: the Methodology of Ijtihad (Kuala Lumpur: The Other
Press, 2002), h. 212
[3] Abî
Ishâq Ibrâhîm al-Syâthîbî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Juz II (Beirut: Dâr Kutub
al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 5-8
Komentar
Posting Komentar