URGENSI SINKRONISASI AKAD PERBANKAN SYARIAH DENGAN AKAD JAMINAN HARTA BENDA MENURUT PRINSIP SYARIAH


URGENSI SINKRONISASI AKAD PERBANKAN SYARIAH DENGAN
AKAD JAMINAN HARTA BENDA MENURUT PRINSIP SYARIAH
Oleh Agus Suhariono
Email : agus.suhariono@gmail.com

Abstrak
Sesuai kebutuhan dan asas kemanfaatan serta kemaslahatan, perikatan (akad) muamalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah telah dipositifisasi ke dalam hukum nasional dengan diundangkannya UU tentang Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut telah cukup jelas mengatur mengenai kegiatan perbankan syariah dan tatacara penyelesaian sengketanya. Namun tidak mengatur mengenai hukum jaminan menurut prinsip-prinsip syariah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan kedudukan agunan dalam akad muamalah haruslah amanah sehingga tidak diperlukan jaminan harta benda. Namun di dalam prakteknya bank syariah sering mensyaratkan adanya agunan harta benda sebagai syarat untuk mendapat pembiayaan. Hal tersebut ditegaskan pula oleh Dewan Syariah Nasional yang memperbolehkan pembiayaan disertai aguna harta benda (rahn). Oleh karena tidak ada pengaturan akad jaminan berdasar prinsip syariah, maka pengikatan jaminan tersebut dilakukan dengan menggunakan hukum jaminan nasional, yang bukan merupakan akad jaminan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Sehingga diperlukan sinkronisasi antara akad muamalah dengan akad jaminan rahn
Kata Kunci : bank syariah, agunan harta


1.      PENDAHULUAN
Dewasa ini perkembangan perekonomian berbasis syariah semakin mengalami peningkatan seiring dengan makin majunya pengetahuan muslimin dan muslimat di Indonesia. Selama ini kegiatan sehari-hari maupun dalam berbisnis diantara manusia tidak sedikit yang mengandung unsur riba’ yang menurut ajaran Islam adalah merupakan hal yang dilarang (haram), sehingga kemudian dicari cara terbaik dalam menjalankan aktifitas sehari-hari maupun dalam berbisnis. Menyikapi fenomena diatas, kemudian pemerintah dari sebuah negara yaitu Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menampung aspirasi masyarakatnya dengan membuat peraturan / hukum nasional yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Sebelumnya ajaran agama Islam yang telah diadopsi dalam hukum nasional masih berkisar tentang masalah perkawinan, perceraian dan warisan serta wakaf saja, namun karena kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat, maka sekarang ini urusan mengenai perbankan dengan prinsip-prinsip syariah Islam juga telah diatur oleh hukum nasional, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disingkat UU Perbankan Syariah).
Kegiatan perbankan dengan prinsip syariah sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Namun dalam UU Perbankan (konvensional) tersebut prinsip-prinsip syariah masih belum diatur secara spesifik. Demikian juga dengan definisi dalam UU Perbankan Syariah berbeda dengan definisi dalam UU Perbankan (konvensional). UU Perbankan Syariah memberikan definisi bahwa prinsip syariah adalah hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Diundangkannya UU Perbankan Syariah ini menarik untuk dikaji karena merupakan bentuk pengakuan negara atas sumber hukum yang bermuara dari ajaran agama Islam. Berdasarkan sejumlah undang-undang yang mengatur perbankan syariah sebelumnya, nampak bahwa pengaturan perbankan syariah masih merupakan bagian dari perbankan umum. Namun sekarang ini perbankan syariah tidak dapat sama dengan perbankan konvensional.
Pengaturan UU Perbankan Syariah yang bersumber dari hukum Islam adalah untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian masyarakat Indonesia dalam menjalan kehidupan / kegiatannya. Hukum yang diberlakukan harus memiliki nilai-nilai kehidupan masyarakatnya. UU Perbankan Syariah telah cukup jelas mengatur mengenai kegiatan perbankan syariah dan tatacara penyelesaiannya jika terjadi sengketa, namun UU Perbankan Syariah tidak mengatur mengenai jaminan khusus berdasarkan prinsip syariah. Selama ini apabila perbankan syariah menjalankan kegiatan usahanya yang memerlukan jaminan, maka pemberian jaminan tersebut masih memakai hukum jaminan nasional yang tentu saja menimbulkan desinkornisasi antara akad-akad perbankan syariah dengan jaminan yang diberikan yang masih diikat dengan hukum jaminan sebagaimana diberlakukan terhadap perbankan konvensional, misalnya mengenai hak tanggungan, fidusia dan gadai.
Di dalam bagian konsideran huruf c UU Perbankan Syariah disebutkan bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Untuk pengaturan mengenai jenis kegiatan usaha perbankan syariah dan forum penyelesaian sengketanya telah cukup jelas diatur dan memiliki sifat kekhususan. Akan tetapi untuk jaminan yang diperlukan yamg berkaitan dengan kegiatan usaha perbankan syariah tersebut masih belum menunjukan sifat kekhususannya, karena yang berlaku dalam praktenya adalah hukum umum mengenai jaminan sebagaimana yang diterapkan oleh perbankan konvensional, padahal dalam hukum Islam juga terdapat konsep hukum jaminan syariah yang terdiri berbagai macam jenis jaminan yang sesuai dengan prinsip syariah.

2.      PEMBAHASAN
a.   Positifisasi Hukum Islam Dalam UU Perbankan Syariah
Hukum nasional yang bersumber dari hukum Islam bersandar pada dasar negara Pancasila, yaitu sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi : ”Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Masuknya hukum perbankan syariah ke dalam hukum nasional menjadi bukti bahwa hukum Islam adalah hukum yang diakui sebagai salah satu sumber hukum nasional selain hukum kebiasaan (adat) dan hukum barat serta memiliki kedudukan yang sama dan seimbang. Selain itu tuntutan perkembangan perbankan syariah secara internasional dan nasional tentu saja memerlukan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menciptakan kepastian hukum.
Proses pengundangan UU Perbankan Syariah mulai dari penyusunan hingga penerapannya telah melewati proses demokrasi sebagaimana sumber hukum lainnya, karena memiliki arti penting yang bermakna akan bermanfaat (utility) dan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat serta memiliki tujuan nasional di bidang ekonomi.
Teori utility merupakan teori yang menghubungkan hubungan antara hukum dan ekonomi. Teori ini memandang bahwa hukum dibangun atas dasar kemanfaatan. J.S. Mill dan Jeremy Bentham, menempatkan 3 (tiga) kerangka manfaat. Pertama, manfaat merupakan kebijaksanaan yang mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Kedua, manfaat merupakan kebijakan yang mendatangkan manfaat besar dibanding dengan kebijaksanaan alternatif. Ketiga, manfaat merupakan sebuah tujuan yang bertujuan untuk masyarakat.[1]
Regulasi perbankan syariah dalam pandangan teori utility sebagai sesuatu yang baik dan memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat Indonesia, karena sebagian besar penduduk di Indonesia beragama Islam. Kemudian teori utility ini disempurnakan oleh teori maslahat di dunia hukum Islam. Al-Mashlahat merupakan sebuah upaya mewujudkan kemanfaatan dan menghindari kemudaratan (jalbu al-mashâlih wa dar‘u al-mafâsid).[2] Tujuan syariat menurut al-Syatîbî diturunkan adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat secara bersama-sama.[3]
Urgensi diundangkannya UU Perbankan Syariah dapat dilihat dari konsiderannya yang menyatakan bahwa :
a.   Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
b.   Kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
c.   Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
d.   Pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri; dan (e) berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah.
Selanjutnya dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum UU Perbankan Syariah yaitu:
1.   Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah;
2.   Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal;
3.   Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.
Dari uraian diatas, pada hakekatnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan yang secara kelembagaan dilaksanakan oleh Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS)
b. Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
Menurut UU Perbankan Syariah yang diperboleh untuk melakukan kegiatan perbankan syariah adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) (vide Pasal 1 angka 1). Perbankan Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (vide Pasal 18).
Perbedaan antara Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Umum Syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (vide Pasal 1 angka (8) dan (9)). Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah, demikian ketentuan Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Perbankan Syariah.
Kegiatan utama perbankan syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan biaya (pembiayaan) serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jaminan syariah. Dalam Pasal 1 angka (25), ”Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa :
1.   transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2.   transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
3.   transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna;
4.   transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
5.   transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil”
Kegiatan usaha Bank Umum Syariah atau/atau Unit Usaha Syariah (UUS) diatur dalam Pasal 19 UU Perbankan Syariah, yang menyebutkan :
“(1)Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi :
a.   menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b.   menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.   menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d.   menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e.   menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f.    menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g.   melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h.   melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i.    membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j.    membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k.   menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l.    melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n.   memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o.   melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p.   memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q.   melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi :
a.   menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b.   menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c.   menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d.   menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e.   menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f.    menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g.   melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h.   melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i.    membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j.    membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k.   menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l.    menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n.   memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
o.   melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari uraian kegiatan usaha perbankan syariah tersebut dapat disimpulkan bahwa UU Perbankan Syariah telah sesuai dengan kaidah Fiqih yaitu : ”pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

c.   Kedudukan Jaminan Dalam Akad Syariah
Pada prinsipnya dalam akad syariah harus amanah sehingga tidak diperlukan jaminan berupa harga benda (rahn). Berdasarkan prinsip tersebut UU Perbankan Syariah tidak menempatkan agunan sebagai jaminan utama, yang berarti agunan tidak mutlak harus ada pada saat dibuatnya akad syariah yang berbentuk pembiayaan. Pasal 1 angka (26) UU Perbankan Syariah menyebutkan :  Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas”. Dari prinsip dan ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa kelayakan dan kesanggupan nasabah yang menjadi jaminan utama untuk memperoleh fasilitas pembiayaan dari Bank Syariah.
Dalam menyalurkan dana melalui pembiayaan Bank Syariah dan UUS harus didasarkan pada prinsip kelayakan penyaluran dana yang diatur dalam Pasal 23 UU Perbankan Syariah, yang menyatakan :
(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas.
Prinsip kelayakan penyaluran dana sebagaimana diatur dalam Pasal 23 tersebut merupakan salah satu perwujudan asas kehati-hatian yang lazim dilakukan dalam dunia perbankan, dan menjadi keharusan Perbankan Syariah untuk melakukan analisis kelayakan penyaluran dana sebagai upaya untuk menjamin bahwa dana yang akan disalurkan dapat dibayar kembali oleh calon nasabah penerima fasilitas tanpa suatu masalah apapun.
Oleh karena UU Perbankan Syariah tidak memposisikan agunan sebagai jaminan utama dalam melakukan analisis kelayakan penyaluran dana, maka pembuat/perumus UU Perbankan Syariah merasa tidak perlu mengatur lebih lanjut mengenai agunan berdasar prinsip syariah ke dalam UU Perbankan Syariah. Namun ternyata di dalam prakteknya baik Bank Syariah maupun UUS hampir selalu mensyaratkan adanya jaminan berupa harga benda milik Nasabah untuk menjamin pembayaran kembali pembiayaan yang diterima nasabah. Pengikatan jaminan ini dilakukan sesuai hukum nasional. Hal ini disebabkan tidak adanya pengaturan pengikatan (akad) jaminan dalam UU Perbankan Syariah.
Selanjutnya berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn, yang memperbolehkan pembiayaan syariah disertai dengan jaminan berupa harga benda (rahn). Namun demikian pengertian rahn ini belum diadopsi oleh hukum nasional sehingga Lembaga Jaminan harta benda berdasarkan prinsip syariah (rahn) ini belum mendapat pengaturan dalam UU Perbankan Syariah. Untuk mengisi kekosongan hukum, maka lembaga jaminan harta yang diatur dalam hukum nasional yang dipergunakan, walaupun pada prinsipnya hukum jaminan nasional (HT, Fidusia dan Gadai) tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

3.      PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diundangkannya UU Perbankan Syariah merupakan positifasi hukum Islam ke dalam hukum nasional yang mendudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum disamping hukum kebiasaan (adat) dan hukum barat.
UU Perbankan Syariah merupakan undang-undang yang kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah serta memiliki kekhususan yang membuatnya berbeda dengan praktek perbankan konvensional. Kekhususan tersebut meliputi kegiatan usaha dan tatacara penyelesaian sengketa yang hanya ditangani oleh Pengadilan Agama.
Akad-akad muamalah harus dijalankan secara amanah sehingga faktor keyakinan, kelayakan dan kesanggupan nasabah untuk meyelesaikan pembiayaan yang diterimanya menjadi jaminan utama, sedang agunan berupa harga benda (rahn) ditempatkan sebagai jaminan tambahan, sehingga perumus UU Perbankan Syariah tidak merasa perlu mengatur lebih lanjut mengenai agunan harga benda (rahn) ke dalam UU Perbankan Syariah.
Didalam prakteknya serta penerapan asas kehati-hatian bank, bank-bank syariah dan UUS hampir selalu mensyaratkan adanya agunan berupa harta benda (rahn) dalam setiap penyaluran dana (pembiayaan) kepada nasabahnya. Hal tersebut diperkuat dengan adanya Fatwa Dewan Syariah Nasional yang memperbolehkan pembiayaan syariah disertai dengan rahn.
Oleh karena belum ada pengaturan khusus mengenai akad jaminan (rahn) dalam hukum nasional, maka pengikatan jaminan tersebut dilakukan melalui lembaga jaminan dalam hukum nasional, yang tentunya lembaga jaminan tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hal tersebut menyebabkan sifat kekhususan UU Perbankan Syaraiah menjadi hilang. Disamping itu menyebabkan desinkronisasi antara akad pembiayaan yang telah dilakukan berdasarkan prinsip syariah dengan akad jamina harta (rahn) yang masih belum berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Sehingga pengaturan hukum akad jaminan harta benda (rahn) berdasarkan prinsip-prinsip syariah menjadi sangat urgent agar tercapai sinkronisasi berlakunya prinsip syariah.


DAFTAR PUSTAKA





[1] J.S. Mill dan Jeremy Bentham, Utilitarism and Other Essays (London: Penguin Book Ltd, 2004), h. 5
[2] Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: the Methodology of Ijtihad (Kuala Lumpur: The Other Press, 2002), h. 212
[3] Abî Ishâq Ibrâhîm al-Syâthîbî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Juz II (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 5-8

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA