MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA

Oleh: Agus Suhariono

Sekarang ini kepengurusan Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) terjadi dualisme, yaitu antara Pengurus Pusat (PP) yang dihasilkan melalui :

1. Kongres XXIV bulan Agustus 2023 di Hotel Novotel Tangerang (Banten), menghasilkan Ketua Umum : Tri Firdaus Akbarsyah, SH., MH.

2. Kongres Luar Biasa (KLB) yang diadakan bulan Oktober 2023 di Bandung (Jabar), menghasilkan Ketua Umum : Dr. Irfan Ardiansyah, SH., LL.M, Sp.N.

KLB di Bandung diusulkan oleh sebagian besar Pengurus Wilayah (Pengwil) I.N.I, dengan alasan pada Kongres di Tangerang tidak mematuhi mekanisme AD ART INI. Jika demikian alasannya, seharusnya bukan menggelar KLB namun mengajukan gugatan kepada Pengadilan, agar kepengurusan hasil Kongres di Tangerang dibatalkan dan meminta pengadilan membentuk kepanitiaan kongres baru.

Terjadinya dualisme kepengurusan I.N.I itu menjadikan Kemenkumham tidak mengakui keduanya, dengan alasan menurut Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014 (UUJN) menyatakan bahwa organisasi profesi notaris hanya ada 1 (satu). 

Selain itu menurut UUJN, organisasi profesi notaris (I.N.I) diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi :

1. terhadap calon notaris yang telah menjadi Anggota Luar Biasa (ALB) I.N.I untuk menjalani magang (Pasal 3 huruf f UUJN)

2. terhadap Notaris yang hendak mengajukan permohonan pindah daerah kerja (Pasal 23 UUJN) 

UUJN tidak secara tegas mengatur bahwa Ujian Kode Etik Notaris (UKEN) yang diselenggarakan I.N.I merupakan persyaratan pengangkatan Notaris, namun menurut Pasal 1 ayat (4) Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 23/PERKUM/INI/2021 tentang Penyelenggaraan Ujian Kode Etik Notaris disebutkan bahwa Ujian Kode Etik (UKEN) adalah ujian yang wajib diikuti oleh setiap calon notaris yang telah selesai melaksanakan program magang yang dibuktikan dengan sertifikat magang yang dikeluarkan oleh Ikatan Notaris Indonesia sebelum calon Notaris yang bersangkutan diangkat sebagai notaris.

Dengan adanya dualisme kepengurusan I.N.I tentunya membingungkan bagi Kemenkumham, untuk menerima dan mengakui sertifikat UKEN yang mana yang sah, sedangkan menurut UUJN, hanya ada 1 (satu) wadah organisasi notaris yang sah. Artinya dualisme ini menjadikan para ALB menjadi kesulitan untuk mengajukan permohonan pengangkatan notaris. Dengan perkataan lain dualisme kepengurusan INI menjadi penghambat bagi calon Notaris untuk dapat diangkat sebagai notaris baru.

Hal itu merupakan puncak dari gunung es carut marut pengaturan pendidikan notaris di Indonesia. Sebelum tahun 2000, pendidikan profesi notaris memiliki jenjang Spesialis Notariat (Sp.N) yang merupakan pendidikan non gelar yang hanya diselenggarakan oleh 6 (enam) perguruan tinggi negeri, meliputi Universitas Sumatera  Utara (USU) di Medan, Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung, Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta dan Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya.

Sejak tahun 2000, Mendiknas mengubah jenjangnya menjadi program studi Magister Kenotariatan, bukan lagi program pendidikan Spesialis Notariat (Sp.N). Oleh karena jenjangnya adalah Magister (keilmuan) bukan pendidikan khusus profesi, tentunya setiap perguruan tinggi (selain 6 PTN) juga memiliki kesempatan untuk membuka program studi Magister Kenotariatan tersebut, diawali dengan pembukaan program studi Magister Kenotariatan oleh universitas swasta ternama di Surabaya. Selanjutnya disusul oleh universitas-universitas lain di seluruh Indonesia.

Pembukaan prodi Magister Kenotariatan oleh berbagai universitas negeri dan swasta tersebut, tentunya menjadikan oversupplay lulusan M.Kn yang hampir dipastikan kesemuanya bertujuan menjadi seorang Notaris. Selain itu juga terjadi perbedaan kurikulum dan kualitas lulusannya. 

Pada tahun 2018 Menkumham bermaksud moratorium prodi M.Kn,, namun ditentang oleh universitas yang menjadi penyelenggara prodi M.Kn. Oleh karena itu Kemenkumham merasa perlu untuk mengatur keseragaman kualitas lulusan prodi MKn melalui Permenkumham 19 Tahun 2019, dengan mengatur adanya persyaratan berupa sertifikat peningkatan kualitas notaris.

Oleh karena dasar hukum persyaratan itu tidak diatur dalam UUJN, sehingga diajukan uji materi di MA dan diputuskan bahwa persyaratan dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan Pasal 3 UUJN. Dengan demikian Kemenkumham selaku stakeholder di bidang kenotariatan, tidak dapat menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pengangkatan notaris.

Tidak adanya fungsi kontrol oleh Kemenkumham selaku stakeholder di bidang kenotariatan, serta terjadinya dualisme kepengurusan INI sekarang ini, tentunya dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UUJN. Antara lain dapat saja menghilangkan fungsi dan wewenang organisasi profesi dalam memberikan rekomendasi baik untuk pengangkatan notaris baru maupun untuk perpindahan dan perpanjangan jabatan notaris. Selanjutnya wewenang itu dapat saja dialihkan kepada Majelis Pengawas Notaris (MPN) yang secara struktural berada di bawah Menkumham. Setelah wewenang itu tidak lagi berada di INI, tentunya dalam revisi UUJN nantinya dapat saja diatur bahwa organisasi profesi notaris bukan satu-satunya. 

Ada baiknya, sebelum revisi UUJN dilakukan, kepada kedua PP INI yang ada sekarang ini untuk melakukan rekonsiliasi menyatukan kepengurusan PP INI sebagai wadah tunggal dan kepengurusan tunggal.

Wallahualam Bishawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK