KEDUDUKAN OBYEK HAK TANGGUNGAN MILIK PIHAK KETIGA DALAM SENGKETA KEPAILITAN DEBITUR


KEDUDUKAN OBYEK HAK TANGGUNGAN MILIK PIHAK KETIGA DALAM SENGKETA KEPAILITAN DEBITUR


PENDAHULUAN
Penyelesaian sengketa utang piutang berdasarkan UU Kepailitan ditempuh melalui Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga berwenang mengadili perkara permohonan pailit dan PKPU. Dalam hal permohonan pailit diterima dan dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diputuskan. Debitur pailit demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan menggurus harta kekayaannya. Selanjutnya mengenai harta pailit dijelaskan pada Pasal 21 UU Kepailitan Nomor 37 yang menyebutkan : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”.
Akibat hukum terhadap kepailitan debitur tersebut, maka pihak-pihak yang memegang hak atas jaminan kebendaan gadai, hipotek, hak tanggungan, atau fidusia berkedudukan sebagai kreditur separatis. Selain kreditur separatis, dalam KUH Perdata juga dikenal dengan nama kreditor konkuren dan kreditor preferen. Kreditor preferen adalah kreditor yang mendapatkan pelunasan terlebih dahulu semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Untuk mengetahui siapa saja yang berkedudukan sebagai kreditor preferen dapat dilihat dalam Pasal 1132, 1133, 1134, 1139 dan 1149 KUH Perdata. Dalam ketentuan Pasal 1133 disebutkan : "Hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan 21 buku ini."
Adapun kreditor konkuren adalah kreditor yang mempunyai kedudukan yang sama dan tidak mempunyai hak untuk didahulukan dari pada kreditor lain. Selanjutnya dalam Pasal 55 UU Kepailitan ditentukan bahwa setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, kecuali dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan 137, kreditor separatis tesebut hanya dapat mengeksekusi setelah dicocokan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.
Dalam kasus yang dianalisa dalam penelitian ini, yaitu putusan Mahkamah Agung RI. No. 157 K/Pdt.Sus-Pailit/2014, Penggugat Albert Riyadi Suwono, SH., M.Kn., sebagai Kurator dari UD. Bina Maju/Bagus Suparto Koesjadhi (Dalam Pailit) menggugat Bank Amin pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan mendalilkan bahwa debitor pailit UD. Bina Maju/Bagus Suparto Koesjadhi (Dalam Pailit) telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya sebagaimana Putusannya Nomor 06/PKPU/2011/PN-Niaga.Sby. tanggal 20 Oktober 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap dan dalam putusan tersebut telah ditunjuk dan ditetapkan Bambang Kustopo, SH., MH., sebagai Hakim Pengawas dan Albert Riyadi Suwono, SH., M.Kn., sebagai kurator yang berwenang membereskan dan mengurus harta pailit.
Pada saat rapat pencocokan jumlah utang dalam rangka proses pemberesan harta pailit oleh kurator terdapat fakta bahwa Bank Amin mengajukan tagihan sebesar Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dari jumlah utang keseluruhan sebesar Rp. 6.400.000.000,00 (enam miliar empat ratus juta rupiah) dengan alasan utang sebesar Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) telah dilakukan AYDA (Angunan Yang Diambil Alih) berdasarkan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat secara notariil. Setelah Penggugat selaku kurator mempelajari tagihan tersebut ternyata Bank Amin dianggap telah bersekongkol dengan beritikad buruk dan melawan hukum membuat penyelundupan hukum (ius contra legem) guna melaksanakan pengikatan jual beli dengan penjamin yang didasarkan atas perjanjian pokok utang-piutang antara Bank  Amin dengan debitor pailit.
Obyek jaminan milik pihak ketiga tersebut telah dialihkan kepada Bank Amin melalui akta PPJB sebelumnya merupakan jaminan kebendaan yang telah dibebani hak tanggungan yang diberikan oleh pihak ketiga (pemberi jaminan) untuk menjamin utang debiur pailit. Atas pengalihan obyek jaminan milik pihak ketiga tersebut, Kurator mendalilkan bahwa pengalihan tersebut tidak sah dan mengandung cacat hukum karena pengalihan tersebut merupakan penyalahguna keadaan (misbruik van omstandigheden) dan merupakan perjanjian semu yang menggantikan perjanjian asli yang merupakan perjanjian kredit (perjanjian utang-piutang). Serta tidak ada dasar yang wajar dan patut tentang pedoman harga jual dari objek jaminan juga melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT dimana tidak terpenuhinya maksud dari ketentuan tentang harga tertinggi dimana apabila memperhatikan nilai Hak Tanggungan yang dibebankan terhadap Objek Jaminan adalah sebesar Rp. 4.990.500.000,00 (empat miliar sembilan ratus sembilan puluh juta lima ratus ribu rupiah) sedangkan nilai transaksi pengalihan obyek jaminan milik pihak ketiga tersebut hanya sebesar Rp. 3.750.000.000,00 (tiga miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) sehingga akan menyisakan utang/ kewajiban atas debitor pailit yang mana merugikan kreditur lainnya. Disamping itu masih menurut dalil penggugat selaku Kurator bahwa proses pengalihan obyek jaminan milik pihak ketiga itu telah menghilangkan kesempatan pelunasan utang debitor yang seharusnya lebih efektif, adil, dan transparan kalau pernah dilakukan lelang eksekusi hak tanggungan dengan harga limit minimum setara dengan nilai hak tanggungan yaitu sebesar Rp. 4.990.500.000,00 (empat miliar sembilan ratus sembilan puluh juta lima ratus ribu rupiah), karena nilai Hak Tanggungan yang dipasang atas Hak Milik Nomor 2404/Tanjungsari sebenarnya merupakan nilai yang ditetapkan dan telah disetujui oleh pihak Amin Bank sendiri, namun ternyata penyelesaian dengan pengalihan obyek jaminan milik pihak ketiga itu tidak menggunakan nilai tersebut tetapi menggunakan nilai di bawah nilai hak tanggungan sehingga masih menyisakan utang sebesar Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam gugatannya, Penggugat selaku Kurator pada pokoknya menuntut agar tanah dan bangunan yang telah dibebani hak tanggungan milik pihak ketiga (penjamin) tersebut merupakan bagian harta pailit dari debitur pailit yang pemberesan dan pengurusannya menjadi kewenangan penggugat selaku Kurator serta membatalkan proses pengalihan obyek jaminan milik pihak ketiga itu karena melanggar hukum, dengan mendasarkan pada yurisprudensi mengenai hal itu, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 472K/Pdt.Sus/2010 dan nomor 689 /Pdt.Sus/2012, yang pada intinya menyatakan bahwa dalam hal terjadi kepailitan debitor, maka jaminan milik pihak ketiga yang diberikan untuk menjamin utang debitor pailit termasuk sebagai boedel pailit debitor.
Adapun permasalahan yang dikaji dirumuskan sebagai berikut :
  1. Apakah jaminan milik pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan dalam hal debitur pailit termasuk sebagai boedel pailit ?
  2. Dalam hal jaminan milik pihak ketiga tersebut masuk sebagai boedel pailit bagaimana dengan kedudukan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis jaminan milik pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan dalam kepailitan debitur dan kedudukan Bank selaku pemegang hak tanggungan terhadap jaminan milik pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan dalam kepailitan debitur.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertipe normatif yang bertujuan untuk mendapatkan data sekunder melalui bahan pustaka berupa studi dokumen. Ada tiga pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan studi kasus (case study). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan, bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berupa buku-buku literatur, catatan ilmiah dan karya ilmiah yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang dibahas.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Putusan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitor berubah statusnya menjadi harta pailit. Terhadap harta pailit itu berlaku sita umum dan debitor tidak berwenang untuk mengurus dan melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut hartanya itu. Debitor telah dinyatakan berada dalam pengampuan sepanjang yang menyangkut harta kekayaannya (Sutan Remy S., 2002, h.164).
Dalam Pasal 21 UU Kepailitan mengungkapkan, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan Pasal 21 UU Kepailitan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu seluruh harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, di kemudian hari menjadi tanggungan bagi seluruh utang debitor.
Sedasar dengan hal itu, harta kekayaan debitor bukan saja terbatas kepada harta kekayaan berupa barang-barang tidak bergerak, seperti tanah, tetapi juga barang-barang bergerak, seperti perhiasan, mobil, dan mesin-mesin. Termasuk bila di dalamnya barang-barang yang berada di dalam penguasaan orang lain, yang terhadap barang-barang itu debitor memiliki hak, seperti barang-barang debitor yang disewa oleh pihak lain atau yang dikuasai oleh orang lain secara melawan hukum atau tanpa hak (Adrian Sutedi, 2009, h. 51).
Penyitaan umum (sita umum) maksudnya penyitaan tersebut berlaku untuk siapapun, bukan hanya berlaku bagi pihak tertentu seperti halnya sita jaminan yang diputuskan oleh hakim perdata berkenaan dengan permohonan penggugat dalam sengketa perdata. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit tersebut diucapkan, debitor pailit demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan.
Kepailitan juga berakibat pada barang jaminan yang telah diberikan oleh Debitor pailit kepada para kreditornya, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan bahwa: “dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.
Namun demikian, dengan telah diputusnya penyataan pailit maka hak dan kewenangan kreditor pemegang hak jaminan menjadi terbatas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan disebutkan bahwa : “Kreditur pemegang hak tanggungan harus melaksanakan haknya (mengeksekusi hak tanggungan) dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi...”. Dilanjutkan dengan ketentuan pasal ayat (2) nya yang menyatakan : "Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkan benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut."
Dari ketentuan di atas, terlihat setelah debitur dinyatakan insolvensi kedudukan obyek hak tanggungan adalah bukan harta (boedel) pailit selama 2 bulan sehingga kreditor dapat mengeksekusi obyek hak tanggungan itu. Bilamana dalam waktu 2 bulan kreditor pemegang belum berhasil untuk mengesekusi maka obyek hak tanggungan tersebut wajib diserahkan kepada Kurator untuk dimasukkan sebagai harta (boedel) pailit. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kedudukan obyek hak tanggungan yang telah melewati masa 2 bulan sejak insolvensi menjadi kewenangan Kurator untuk melaksanakan eksekusinya.
UU Kepailitan telah secara jelas dan tegas mengatur mengenai kedudukan harta (boedel) pailit milik debitor termasuk membatasi dan mengambil alih wewenang kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi obyek hak tanggungan yang telah diatur dalam UUHT. Di dalam UU Kepailitan ternyata tidak mengatur mengenai pembatasan dan pengambilalihan wewenang hak jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga untuk menjamin utang debitor. Dengan tidak adanya pengaturan dalam UU Kepailitan yang mengatur mengenai kedudukan hak tanggungan milik pihak ketiga yang diberikan untuk menjamin utang debitor maka pengaturan mengenai eksekusi hak tanggungan milik pihak ketiga tersebut seharusnya tetap tunduk dan mengacu kepada pengaturan UUHT.
Namun demikian pada beberapa kasus yang terjadi, antara lain dalam putusan yaitu Putusan Mahkamah Agung RI. No. 157 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 juncto Putusan Peninjauan Kembali No. 16 PK/Pdt.Sus-Pailit/2015, Putusan Mahkamah Agung Nomor 472 K/Pdt.Sus/2010 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 689 K/Pdt.Sus/2012, yang telah menyatakan yang pada intinya bahwa dalam hal terjadi kepailitan debitor, maka jaminan milik pihak ketiga yang diberikan untuk menjamin utang debitor pailit termasuk sebagai boedel pailit debitor, sehingga kewenangan untuk melakukan eksekusi obyek jaminan tersebut beralih yang semula adalah kewenangan kreditor menjadi kewenangan kurator.
UU Kepailitan merupakan peraturan khusus dalam menyelesaikan masalah utang piutang. Sebagai peraturan yang khusus maka UU Kepailitan dapat mengesampingkan hak jaminan baik hak tanggungan, fidusia maupun gadai. Pengaturan mengenai kepailitan salah satunya adalah untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan menjual barang milik jaminan tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.
Demi memberikan asas keadilan bagi kepentingan debitor dalam pailit dan kreditor lainnya, maka pemegang hak jaminan diberikan waktu 2 (dua) bulan untuk menjual/mengeksekusi barang jaminan, setelah lewat waktu maka kewenangan untuk menjual itu beralih kepada kurator, dengan tidak mengurangi hak kreditor pemegang hak jaminan untuk mendapat pelunasanya piutangnya dari penjualan itu walaupun dilakukan oleh kurator. Apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, kreditur pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang. Disamping itu kepailitan merupakan sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Berdasarkan putusan MA tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal debitor dinyatakan pailit maka barang jaminan milik pihak ketiga yang dijaminkan kepada kreditor masuk sebagai boedel pailit.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT) bahwa kreditur pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dari hasil pelelangan tersebut kreditur mengambil untuk pelunasan piutangnya, atau yang biasa disebut dengan parate eksekusi. Penjelasan Pasal 6 UUHT memberikan ketentuan, bahwa parate eksekusi tersebut didasarkan pada yang diperjanjikan dalam suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Adanya perbedaan yang demikian, menurut Sutan Remy Sjahdeini (2002, h.88-89), Pasal 6 UUHT menentukan bahwa untuk melakukan parate eksekusi tidak harus diperjanjikan terlebih dahulu, namun Sjahdeini tetap mengakui bahwa terdapat ketidak-serasian antara Pasal 6 UUHT dengan Penjelasan Pasal 6 UUHT. Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri dinyatakan sebagai janji, namun UUHT juga menentukan sebagai hak yang diberikan Undang-undang, yaitu jika debitur cidera janji, maka pemegang hak tanggungan pertama diberi hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (pasal 6 UUHT).
Ketentuan ini bersifat overlapping dan berlebihan (overboding), yakni disatu sisi diatur sebagai janji yang dibuat oleh para pihak, namun di sisi lain ditentukan sebagai hak yang diberikan oleh undang-undang. Pembentuk UUHT mencampuradukan kekuasaan untuk menjual sendiri obyek hak tanggungan, yakni sebagai norma dan juga sekaligus sebagai janji (Koidin, 2005). Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 6 UUHT yang menyatakan : "Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa jika debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum.“ Kemudian penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT menyatakan : "Untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud pasal 6 maka dalam APHT dicantumkan janji ini".
Kedua pengaturan tersebut, yakni sebagai norma yang berlaku mengikat dan sebagai janji yang masih harus disepakati bersama, menandakan terjadinya inkonsistensi diantara pasal-pasal dalam UUHT (Koidin, 2005). Menurut Herowati Poesoko (2007), prosedur pelaksanaan parate executie menurut pasal 6 UUHT menegaskan pelaksanaan parate eksekusi melalui pelelangan umum, maka rasio hukumnya pejabat tersebut adalah Pejabat Kantor Lelang Negara. Oleh karenanya prosedur pelaksanaan parate executie tanpa memerlukan fiat Ketua Pengadilan Negeri.
Pada kenyataannya Kantor Lelang Negara tidak bersedia melaksanakan penjualan lelang obyek hak tanggungan berdasarkan pasal 6 UUHT dengan alasan harus ada fiat Ketua Pengadilan Negeri. Alasan tersebut dapat dipahami karena Kantor Lelang Negara dalam melaksanakan pasal 6 UUHT harus mendasarkan pada Penjelasan Umum angka 9 jo Penjelasan pasal 14 ayat 2 dan 3 UUHT, yang pada intinya prosedur parate eksekusi harus mendasarkan pasal 224 HIR / pasal 258 RBg dan karena pelaksanaannya harus terlebih dahulu mendapatkan fiat Ketua Pengadilan Negeri dimana obyek hak tangungan berada.
Pengaturan ini menjadi berlebihan dan akan menimbulkan silang pendapat yang tiada henti-hentinya bahkan menimbulkan konflik norma. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pembentuk UUHT dalam rnemberikan kewenangan (hak) pada kreditur pemegang hak tanggungan pertama tidak konsisten (inkonsistensi). Adanya ketidak konsistensi tersebut harus segera diatasi agar mencerminkan kepastian bagi para pihak.
Lembaga parate eksekusi, dalam praktek sering mengalami hambatan karena dimandulkan oleh Lembaga Peradilan. Mahkamah Agung Dalam putusan No., 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 menyatakan bahwa parate eksekusi yang dilakukan tanpa meminta persetujuan pengadilan negeri adalah perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan adalah batal.
Putusan MA tersebut melemahkan Lembaga parate eksekusi yang sejak semula dimaksudkan untuk memudahkan kreditur dalam menagih piutangnya agar terjadi percepatan pengembalian piutang kreditur pemegang hak tanggungan (Koidin, 2007). Lembaga parate eksekusi akan bermanfaat selain demi kepentingan kreditur preferen sebagai sarana untuk percepatan pengembalian piutang dari debitur yang wanprestasi, juga bermanfaat bagi debitur itu sendiri, yaitu agar jumlah hutang tidak bertambah besar apabila eksekusi yang dilakukan menjadi lama atau berlarut-larut.
Pemenuhan piutang kreditur dengan mendasarkan kekuatan eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan timbul sebagai akibat hukum adanya irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial seperti layaknya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).
Eksekusi obyek hak tanggungan melalui pengadilan negeri dalam praktek dijadikan upaya utama oleh pihak kreditur. Kreditur jarang menempuh langkah penjualan dibawah tangan atau penjualan lelang atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) jika debitur wanprestasi, kreditur langsung meminta kepada pengadilan negeri agar dilaksanakan eksekusi berdasarkan sertifikat hak tanggungan yang mempunyni tilel eksekutorial. Eksekusi ini didasarkan pada pasal 224 HIR (pasal 258 RBg).
Eksekusi berdasarkan pasal 224 HIR dilakukan oleh kreditur dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat hak tanggungan dieksekusi. Proses demikian tidak memerlukan ligitimasi yang panjang dalam arti kreditur tidak perlu mengajukan gugatan perdata yang memakan waktu lama dan biaya besar. Permohonan eksekusi diajukan oleh kreditur dengan menyerahkan sertifikat hak tanggungan kepada ketua pengadilan negeri agar diterbitkan fiat eksekusi sehingga eksekusi dapat dijalankan secara paksa, bahkan dengan bantuan aparat keamanan.
Fiat eksekusi merupakan eksekusi yang dilaksanakan oleh kantor lelang negara setelah rnendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Fiat eksekusi adalah eksekusi yang dilaksanakan dengan ijin khusus dari pengadilan negeri meski pengadilan tidak melakukan pemeriksaan seperti dalam perkara perdata biasa. Terhadap permohonan fiat eksekusi ini pihak Pengadilan Negeri cukup melakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat formal yang telah ditentukan (Munir Fuady, 1994, h.64).
Berdasarkan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, maka terbit surat perintah penjualan lelang. Kantor lelang melakukan penjualan atas obyek hak tanggungan dimuka umum, namun sebelumnya Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat peringatan (aanmaning) kepada debitur agar dalam jangka waktu 8 hari memenuhi kewajibannya.
Apabila aanmaning tidak ditanggapi, Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah eksekusi yang diikuti perintah penyitaan dan perintah penjualan lelang kepada Kantor Lelang Negara. Sebelum pelelangan dilaksanakan harus diumumkan sebanyak dua kali berturut-turut melalui surat kabar dalam tenggang waktu 15 hari (pasal 200 (7) HIR). Sebelum saat pengumuman lelang dikeluarkan debitur masih diberi kesempatan untuk melunasi utang, biaya dan bunga (pasal 20 ayat 5 UUHT dan Penjelasannya). Dalam praktek meski pelelangan sudah diumumkan namun jika debitur membayar hutang beserta bunga, maka pelelangan akan dihentikan (Retno Wulan dkk., 1997, h. 28-29).
Eksekusi obyek hak tanggungan secara paksa melalui pengadilan negeri tidak selalu berjalan dengan baik. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi kreditur, yaitu:
1.   Perlawanan pihak ketiga (Derden verzet) dan perlawanan oleh debitur sendiri (Partij Verzet)
Dalam HIR hanya diatur perlawanan yang diajukan terhadap sita yang teiah dilakukan oleh Pengadilan Negeri (berupa : conservatoire beslag, revindicatoire beslag, maritaal beslag, executie beslag). Pelaksanaan pelunasan piutang kreditur yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan Pasal 224 HIR, dan dalam pelaksanaannya tentunya pengadilan melakukan tindakan hukum yang berbentuk conservatoire beslag dan executorial beslag. Dengan dcmikian perlawanan terhadap eksekusi obyek hak tanggungan hanya mungkin dilakukan terhadap eksekusi yang dilakukan berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertipikat Hak Tanggungan (vide Pasal 20 ayat 1 huruf b UUHT) dan tidak dapat dilakukan terhadap eksekusi hak tanggungan berdasarkan parate eksekusi. Hal ini disebabkan parate eksekusi dalam pelaksanaannya tidak melibatkan Pengadilan Negeri, maka eksekusi obyek hak tanggungan berdasarkan parate eksekusi (vide Pasal 20 ayat I huruf a UUHT) tidak dimungkinkan diajukan perlawanan, namun diajukan melalui gugatan biasa. Perlawanan terhadap eksekusi obyek hak tanggungan berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan dapat dilakukan oleh pihak ketiga (derden verzet) maupun oleh debitur itu sendiri (partij verzet). Kedua perlawanan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yaitu Pengadilan Negeri yang melakukan sita eksekusi (Pasal 195 ayat 6 HIR / Pasal 206 ayat (6) RBg). Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga (derden verzet) harus atas dasar hak milik.
Dengan demikian perlawanan (terhadap eksekusi berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan), dalam persidangan pelawan harus dapat membuktikan dengan dasar hak milik, karena hanya pemegang hak milik yang dapat rnengajukan perlawanan terhadap eksekusi obyek hak tanggungan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Dalam praktek dapat juga terjadi perlawanan yang disebabkan oleh putusan atau penetapan Pengadilan yang menimbulkan kerugian yang tidak berdasarkan hak milik, tetapi dengan mendasarkan Pasal 378 Rv, Ini dapat terjadi misalnya perlawanan bahwa eksekusi obyek hak tanggungan tidak sah karena jumlah hutang yang diminta untuk eksekusi melebihi pokok hutang yang disebutkan dalam akta karena di dalamnya diperhitungkan denda (M. Yahya Harahap, 2007, h.134).
Perlawanan yang diajukan oleh debitur sendiri (piartij verzet) dilakukan berdasarkan alasan adanya cacat formal atau material yang melekat pada Sertifikat Hak Tanggungan, dan tidak menyangkut pokok materi hubungan hukum antara debitur dengan kreditur. Apabila dalam perlawanan yang telah diajukan dikabulkan dan eksekusi ditolak, dan penyelesaian hutang-piutang dilakukan dengan cara melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri, narnun apabila cacat formal maupun material tidak ditemukan, maka perlawanan ditolak dan eksekusi diteruskan sarnpai pelelangan dilakukan untuk pelunasan utang-piutang (M. Yahya Harahap, 2007).
Dalam pasal 380 Rv ditentukan bahwa Ketua Pengadilan Negeri dapat menunda eksekusi apabila ada perlawanan terhadap sita eksekusi. Penundaan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan tidak boleh bersifat generalisasi apabila ada perlawanan (derden verzet maupun partij verzet). Daya tunda eksekusi hanya bersifat eksepsional (M. Yahya Harahap). Secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa pada dasarnya perlawanan tidaklah menunda eksekusi obyek hak tanggungan yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri demi kepastian hukum. Dalam hal ini selanjutnya M. Yahya Harahap (2007) mengemukakan bahwa prinsip yang dernikian perlu ditegakkan sebagai patokan yang kokoh agar berdampak edukasi, Koreksi dan Preferensi terhadap masyarakat untuk tidak sembarangan mempergunakan upaya derden verzet dan partij verzet dalam menunda dan mengulur pelaksanaan eksekusi.
  1. Debitur Tidak Mengosongkan Obyek Hak Tanggungan
Setelah dijual melalui lelang oleh Kantor Lelang Negara akan terkendala pada ketidak berwenangan mengosongkan obyek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan, kecuali dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan telah diperjanjikan bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan obyek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan (Rahmadi Usman, 1999, h.131).
Apabila eksekusi obyek hak tanggungan berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan, yaitu eksekusi yang dilakukan melalui Pengadilan Negeri (vide Pasal 14 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT jo. Pasal 224 HIR), dan obyek hak tanggungan telah dibeli oleh pihak ketiga, tetapi ternyata debitur tidak bersedia mengosongkan obyek hak tanggungan. Dalam hal ini pihak ketiga sebagai pemenang lelang dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat 11 HIR.
Berdasarkan permohonan eksekusi pengosongan yang telah diajukan Ketua Pengadilan Negeri akan rnenerbitkan penetapan eksekusi peneguran, yaitu pihak debitur akan dipanggil untuk menghadap ke Pengadilan Negeri yang berwenang, untuk diberi peringatan agar dalam waktu delapan hari mengosongkan sendiri obyek hak tanggungan yang telah dilelang (Pasal 196 HIR).
Apabila dalam waktu delapan hari tersebut debitur belum juga mengosongkan obyek hak tanggungan sendiri, selanjutnya atas permohonan pemenang lelang, Ketua Pengadilan Negeri rnenerbitkan penetapan eksekusi pengosongan. Pada hari yang telah ditetapkan, Pengadilan Negeri akan melakukan pengosongan obyek hak tanggungan yang telah dibeli oleh pemenang lelang secara paksa, bila perlu dengan bantuan polisi (Pasal 200 ayat 11 HIR).
Berbeda dengan pembeli lelang yang dilakukan berdasarkan parate eksekusi (Pasal 6 jo Pasal 20 ayat 1 huruf a UUHT), apabila ternyata debitur tidak bersedia mengosongkan obyek hak tanggungan setelah dibeli melalui pelelangan oleh pihak ketiga, pihak ketiga tidak dapat melakukan upaya linkum sebagaimana diatur daiam Pasal 200 ayat 1 HIR, tetapi pihak ketiga dapat melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Gugatan ini diajukan dengan permohonan agar Pengadilan Negeri memutus dengan putusan serta merta (Elijana, 1998, h.207).
Berdasarkan Pasal 180 HIR, upaya hukum ini sangat beralasan sebagaimana dijelaskan di atas bahwa HIR tidak merigenal parate eksekusi tetapi eksekusi obyek hak tanggungan berdasarkan Pasal 224 HIR. Parate eksekusi hanya diatur daiam Pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata sekarang Pasal 20 ayat 1 huruf a UUHT, yang perlu diingat bahwa upaya hukum yang berkaitan dengan eksekusi obyek hak tanggungan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri hanya berdasarkan Pasal 14 UUHT dan Pasal 20 ayat 1 huruf b UUHT serta berdasarkan Pasal 224 HIR, dan tidak ada kaitan dengan parate eksekusi (Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata sekarang Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT).
Jadi eksekusi obyek hak tangungan berdasarkan parate eksekusi dan eksekusi berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kelebihan dari parate eksekusi bahwa ia tidak memerlukan keterlibatan Pengadilan Negeri sehingga merupakan jalan yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan piutang kreditur. Kelemahannya, apabila debitur atau pihak ketiga yang tidak berkenan atas eksekusi yang dilakukan oleh kreditur, maka pihak ketiga harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Oleh karena cara yang digunakan harus dengan gugatan, maka gugatan yang diajukan tersebut akan "dapat" menunda eksekusi apabila belum dilakukan pelelangan, sehingga eksekusi dapat menjadi berlarut-larut. Demikian pula bagi pemenang lelang, apabila debitur tidak bersedia mengosongkan obyek hak tanggungan cara penyelesaiannya juga dengan mengajukan gugatan, sehingga akan tetap membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Eksekusi berdasarkan kekutan eksekutorial ada sisi lebih dan kekurangannya. Kelebihan eksekusi berdasarkan kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan yang melibatkan Pengadilan Negeri, yaitu meskipun ada perlawanan, Pengadilan dapat melaksanakan eksekusi. Bagi pemenang lelang, pengosongan obyek hak tanggungan berdasarkan pasal 224 HIR akan lebih mudah dan pasti dibandingkan dengan parate eksekusi yang terlebih dahulu harus mengajukan gugatan. Sedangkan kelemahannya adalah, apabila memang tidak ada masalah dalam Sertifikat Hak Tanggungan yang menyangkut syarat formil atau nyata materiil, akan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, dibandmg parate eksekusi. Walaupun masing-masing eksekusi tersebut terdapat kelemahan dan kelebihan, akan tetapi preferensi kreditur pemegang hak tanggungan tetap dijamin untuk kepastian hukumnya.
Sedasar dengan ketentuan Pasal 21 UUHT menentukan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut undang-undang ini, artinya kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat melaksanakan hak-haknya berdasarkan UUHT seakan-akan tidak ada kepailitan atau tagihan kreditur pemegang Hak Tanggungan ada di luar kepailitan, yaitu di luar sitaan umum, dengan kata lain obyek Hak Tanggungan tidak termasuk harta pailit. Maksud dari dapat melaksanakan hak-haknya dalam pasal 21 UUHT, tidak lain adalah melakukan eksekusi untuk menjual obyek Hak Tanggungan dan mengambil hasil penjualan untuk melunasi piutangnya terhadap debitur. Namun bila kita melihat ketentuan dalam UU Kepailitan, tepatnya dalam Pasal 56 A ayat (1), hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi obyek Hak Tanggungan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit ditetapkan, artinya pasal tersebut justru tidak mengakui keberadaan hak separatis dari kreditur pemegang Hak Tanggungan yang telah diakui dalam UUHT. Pasal 56 A ayat (1) UU Kepailitan tersebut mengaburkan konsep dan tujuan UUHT, yang telah memberikan kedudukan yang kuat kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan bila debitur dinyatakan pailit, oleh karena obyek Hak Tanggungan tidak termasuk harta pailit atau boedel pailit. Adapun konflik norma yang terjadi antara pasal 56 A ayat (1) UU Kepailitan dengan pasal 21 UUHT, bila mendasarkan pada asas lex priori derogat legi posteriori, maka seharusnya yang diberlakukan adalah ketentuan dalam UU Kepailitan tersebut.
Dengan demikian kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan dalam kepailitan debitor adalah tunduk pada pengaturan yang diatur dalam undang-undang yang khusus mengatur mengenai kepailitan yaitu UU Kepailitan.  Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dapat melakukan eksekusi sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun demikian ternyata hak untuk melakukan eksekusi sendiri itu kemudian dibatasi oleh ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan bahwa hak untuk melakukan eksekusi sendiri itu harus dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah masa penangguhan. Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tersebut ternyata kreditor pemegang hak tanggungan tidak berhasil melakukan penjualan maka kewenangan untuk mengurus dan membereskan obyek hak tanggungan beralih kepada kurator. Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk di urus dan dibereskan.

KESIMPULAN DAN SARAN
UU Kepailitan telah secara jelas dan tegas mengatur mengenai kedudukan harta (boedel) pailit milik debitor, temasuk membatasi dan mengambil alih wewenang kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi obyek Hak Tanggungan yang telah diatur dalam UUHT. Namun UU Kepailitan tidak tidak memberikan pengaturan yang tegas mengenai kedudukan benda jaminan milik pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan dalam hal debitur dinyatakan pailit. Dengan tidak adanya pengaturan dalam UU Kepailitan yang mengatur mengenai kedudukan hak tanggungan milik pihak ketiga yang diberikan untuk menjamin utang debitor, maka seharusnya pengaturan mengenai eksekusi hak tanggungan milik pihak ketiga tersebut tetap tunduk dan mengacu pada pengaturan UUHT. Namun demikian dari beberapa putusan Mahkamah Agung yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa dalam hal debitor dinyatakan pailit maka barang jaminan milik pihak ketiga yang dijaminkan kepada kreditor masuk sebagai boedel pailit.
UU Kepailitan merupakan peraturan khusus dalam menyelesaikan masalah utang piutang. Sebagai peraturan yang khusus maka UU Kepailitan dapat mengesampingkan hak jaminan termasuk hak tanggungan. Pengaturan mengenai kepailitan salah satunya adalah untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan menjual barang milik jaminan tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. Demi memberikan asas keadilan bagi kepentingan debitor dalam pailit dan kreditor lainnya, maka pemegang HT diberikan waktu 2 (dua) bulan untuk menjual/mengeksekusi barang jaminan. Setelah lewat waktu maka kewenangan untuk menjual itu beralih kepada kurator, dengan tidak mengurangi hak kreditor pemegang hak jaminan untuk mendapat pelunasanya piutangnya dari penjualan itu walaupun dilakukan oleh kurator. Dengan demikian dalam hal terjadi kepailitan debitor maka kedudukan pemegang HT adalah sebagai kreditor separatis yang wajib mencocokan piutangnya terlebih dahulu.
UU Kepailitan hanya mengatur mengenai harta kekayaan milik debitor merupakan boedel pailit, namun tidak memberikan pengaturan mengenai kedudukan jaminan milik pihak ketiga yang diberikan untuk menjamin utang kreditor yang bukan harta kekayaan debitor. Oleh karena itu diperlukan pengaturan yang tegas mengenai hal itu dalam pembaruan hukum kepailitan. Disamping itu rasio jangka waktu yang diberikan oleh UU Kepailitan kepada kreditor pemegang hak tanggungan hendaknya dapat diperpanjang, mengingat jangka waktu 2 (dua) bulan dirasa tidak cukup bagi kreditor untuk melaksanakan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial sertipikat hak tanggungan yang masih harus memperlukan fiat pengadilan yang memerlukan waktu lebih dari 2 (dua) bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Abidin, Andi Zainal, 1984, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung.

Apeldoorn,Van, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan xxiv, Pradnya Paramita, Jakarta.

Asikin, Zainal, 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

B.M., Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung.

Djumhana Muhamad, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady, Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung.

_______, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek Edisi Revisi (disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004), Cet. 3, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hadjon Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmini, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Hamidi, Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum (Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks), UII Press, Yogyakarta.

Harahap, Krisna, 2007, Hukum Acara Perdata (Class Action, Arbitrase & Alternatif serta Mediasi), Grafitri Budi Utami, Bandung.

Harahap M. Yahya, 1992, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung.

_______, 2006, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Hasibuan Malayu, 2007, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta.

Ibrahim, Johnny, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Jakarta.

Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.

Kansil, C.S.T. dan Cristine S.T. Kansil, 2006, Pokok-Pokok Penghetahuan hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kelsen, Hans, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung.

Koidin, 2005, Problematika Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, LaksBang Pressindo, Yogyakarta.

Lubis, M. Solly, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Orenada Media Group, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,.

Mertokusumo, Sudikno, dan A. Pitlo, 2013, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Jakarta.

Muljono, Teguh Pudjo, 1990, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. Edisi Kedua. BPFE, Yogyakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1999, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung.

Poesoko, Herowati, 2007, Parate executie obyek Hak Tanggungan (inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT) LaksBang PRESSindo, Yogyakarta.

Retnowulan, dkk, 1997, Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, BHPN Departement Kehakiman RI, Jakarta.

Sjahdeni, Sutan Remy, 2002, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Sinaga, Syamsudin M., 2012, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta.
Sinungan Muchdarsyah, 1984, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, Cet. II, Bina Aksara, Jakarta.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2014, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Subhan, Hadi, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Normaf & Praktek di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sunggono Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Sutantio Retno Wulan & Iskandar Oeripkartawinata, 1979, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Alumni, Bandung.

Sutedi, Adrian, 2009, Hukum Kepailtan Cet.1., Ghalia Indonesia, Bogor.

Sutiyoso, Bambang, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta.

Suyuthi, Wildan, 2004, Sita dan Eksekusi Praktek Kepustakaan Pengadilan, Tatanusa, Jakarta.

Usman, Rahmadi, 1999, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta.

Utrecht, E., 1986, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1986

Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002



Jurnal / Makalah

Elijana, Permasalahan-Permasalahan Jaminan Kredit dengan Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, dalam Makalah Para Pakar yang Berkaitan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jo. Perpu No. 1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Mahkamah Agung RI, Jakrta, 27 November 1998

Syamsudin, Amir, Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos, Harian Kompas, 4 Januari 2008.


Internet

Sidharta, Ahmad, Kewenangan Pengadilan Niaga Mengadili Perkara Kepailitan dan Kaitannya Dengan Keberadaan Perjanjian Arbitrase, Internet,  http://one.indoskripsi.com/node/4905, diunduh 11 Maret 2018


Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Stbl.1847 No. 23.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun  1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42,  Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632

 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA