MENAKAR RASIO PEMBATASAN SUBYEK PEMBERI HT DALAM LAYANAN HAK TANGGUNGAN ELEKTRONIK
PENDAHULUAN
Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat
UUHT) adalah hak jaminan kebendaan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah (HAT)
atau hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHT, yang dimaksud dengan
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap
Kreditur-Kreditur lainnya. Pasal 1 angka
1 ini merupakan definisi yang diberikan UUHT untuk Hak Tanggungan itu sendiri.
Dari pengertian yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1
tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur pokok Hak Tanggungan:
- hak jaminan untuk pelunasan hutang;
- utang yang dijamin jumlahnya tertentu;
- obyek Hak
Tanggungan adalah hak-hak atas tanah sesuai UUPA yaitu Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai;
- Hak Tanggungan
dapat dibebankan terhadap tanah berikut benda yang berkaitan dengan tanah atau
hanya tanahnya saja;
- Hak Tanggungan, memberikan
hak preferen atau hak diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur
lain.
Selanjutnya dalam Pasal 8 UUHT mengatur tentang subyek
Pemberi HT, tidak memberikan batasan mengenai siapa
yang dapat menjadi subyek Pemberi HT yang akan dijadikan jaminan, penekanannya pada
Pemberi HT adalah yang berhak atas HAT atau HMSRS yang akan dijadikan obyek HT.
Demikian pula pengaturan Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) juga menunjukkan bahwa HAT
yang akan dijaminkan dengan HT termasuk pula dapat berupa benda bukan tanah
yang melekat pada HAT yang bukan milik pemegang HAT.
Menurut UUHT yang berwenang
memberikan Hak Tanggungan adalah pemilik/pemegang HAT atau HMSRS dan/atau
pemilik benda bukan tanah yang melekat pada HAT yang secara sukarela bersedia memberikan
HT sebagai jaminan utang. UUHT tidak membatasi bahwa subyek Pemberi HT harus
merupakan debitor pada perjanjian pokok, tapi bisa juga Pemberi HT adalah pihak
ketiga yang terafiliasi dengan debitor.
Dalam prakteknya, tidak adanya pembatasan subyek
yang dapat menjadi Pemberi HT tersebut menimbulkan permasalahan. Jika Pemberi
HT adalah debitor atas tanah miliknya
sendiri tidak menimbulkan masalah, karena debitor sudah mengerti risikonya jika
ia wanprestasi, tanah yang dijaminkan akan dilelang untuk pelunasan utangnya.
Permasalahan akan muncul jika tanah yang dijaminkan debitor adalah tanah milik
pihak ketiga, karena bisa saja terjadi kesepakatan antara pihak ketiga sebagai
pemilik tanah dengan debitor dalam meminjamkan tanahnya karena Dwang, Dwaling, Bedrog dan Misbruik van omstandigheden yang
merupakan bentuk cacat kehendak.
Disamping itu tanah yang menjadi obyek HT milik
pihak ketiga juga menimbulkan permasalahan jika debitor dinyatakan pailit.
Kedudukan obyek HT milik pihak ketiga dalam kepailitan belum mendapat
pengaturan yang jelas, apakah masuk sebagai boedel pailit debitor atau bukan.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut,
pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan
Nasional menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 9 Tahun 2019 tentang
Layanan Hak Tanggungan Elektronik, yang membatasi Hak Tanggungan yang dapat
didaftarkan jika Pemberi HT adalah debitor sendiri.
Dari uraian diatas, permasalahan yang menarik
untuk dikaji adalah 1) apa rasio pembatasan subyek pemberi HT dalam layanan
HT-el; 2) tepatkah pembatasan tersebut diatur melalui peraturan menteri.
PEMBAHASAN
1. Obyek Dan Subyek Hak Tanggungan
Secara umum obyek pembebanan hak tanggungan adalah
hak atas tanah, namun tidak semua hak atas tanah dapat dibebani hak atas tanah.
Dalam Pasal 4 UUHT disebutkan bahwa yang dibebani dengan hak tanggungan adalah
Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Selain ketiga hak atas tanah
sebagaimana dimaksud, hak tanggungan dapat juga dibebankan pada Hak Pakai atas
tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan.
Maksud dari Hak Pakai yang diberikan oleh negara
kepada orang perorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu
terbatas. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara
Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai
yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat
dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga
bukan merupakan obyek hak tanggungan.
Adapun pemberi hak tanggungan menurut ketentuan
Pasal 8 UUHT disebutkan bahwa Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
hak tanggungan yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi
Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitur. Namun, subyek
hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitur
dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 9 UUHT
disebutkan bahwa pemegang Hak tanggungan
adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang. Sebagai pihak yang berpiutang disini dapat
berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum
lainnya atau perseorangan.
Hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas
tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan
tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi
hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf c UUHT.
Dengan demikian pemberi HT tidak
harus orang yang berutang atau debitur, akan tetapi bisa subjek hukum lain yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak
tanggungannya.
2. Pembatasan Subyek Pemberi HT
Sebagaimana uraian angka 1 diatas, telah jelas
bahwa UUHT tidak memberikan batasan mengenai subyek Pemberi HT. Namun demikian
di dalam prakteknya ditemui kendala mengenai pelaksanaan eksekusi pada obyek HT
yang bukan milik debitor sendiri. Kendala tersebut membuat pemerintah merasa
perlu untuk membatasi subyek pemberi HT, dengan mengutamakan Pemberi HT
sekaligus sebagai debitor.
Penulis berusaha menakar rasio pembatasan subyek
pemberi HT tersebut sebagai berikut :
a. Adanya unsur cacat kehendak
Apabila Pemberi HT adalah
debitor atas tanah miliknya sendiri tidak menimbulkan masalah, karena debitor
sudah mengerti resikonya jika ia wanprestasi, tanah yang dijaminkan akan
dilelang untuk pelunasan utangnya. Namun apabila pihak ketiga sebagai pemberi
HT terdapat kemungkinan pihak ketiga tersebut tidak menyadari resikonya
bilamana debitor wanprestasi, ditambah lagi apabila kesepakatan antara pihak
ketiga sebagai pemilik tanah dengan debitor dalam meminjamkan tanahnya karena
adanya ancaman/paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog) dan
penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) yang merupakan bentuk cacat kehendak.
b. Kedudukan Obyek HT Milik Pihak
Ketiga Dalam Kepailitan Debitor
Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya disebut UU Kepailitan) dalam Pasal 1 angka (1) menyatakan
bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur di dalam undang-undang ini.
Syarat agar seorang debitur dapat dinyatakan
pailit diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan bahwa seorang debitur
dapat dipailitkan apabila :
1.
Mempunyai
2 (dua) atau lebih kreditur.
2.
Tidak
membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan
debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam
sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diputuskan. Debitur pailit
demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta
kekayaannya dan dimasukkan ke dalam harta (boedel)
pailit.
Selanjutnya mengenai harta pailit dijelaskan
pada Pasal 21 UU Kepailitan menyebutkan : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan
Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan”.
Dengan demikian telah jelas apabila debitor
dinyatakan pailit maka seluruh harta debitor berada dalam sitaan umum (boedel
pailit). Bagaimana dengan kedudukan jaminan milik pihak ketiga yang diberikan
untuk menjamin pelunasan utang debitor, apakah termasuk sebagai harta pailit
debitor ?
Jika ditinjau dari UUHT, tujuan pihak ketiga
menjaminkan hak kepemilikan atas tanahnya adalah kepada kreditor tertentu;
untuk hutang tertentu, serta jumlah tertentu pula. Dan jika ditinjau dari UU
Kepailitan, harta (boedel) pailit adalah harta kekayaan milik debitor sendiri.
Yang berarti bahwa jaminan (HT) milik pihak ketiga secara teori tidak dapat
dimasukkan sebagai boedel pailit debitor. Namun demikian dalam beberapa putusan
pengadilan telah menempatkan jaminan milik pihak ketiga termasuk sebagai boedel
pailit debitor.
Dari 2 (dua) rasio pembatasan subyek Pemberi HT
tersebut, besar kemungkinan pemerintah (dalam hal ini menteri ATR/BPN) merasa
perlu untuk mengaturnya agar mengurangi resiko pembatalan hak tanggungan milik
pihak ketiga, sehingga tujuan hak tanggungan yang memberikan kepastian hukum
bagi pihak yang berkepentingan menjadi tercapai. Yang menjadi permasalahan,
apakah pembatasan tersebut tepat diatur melalui peraturan menteri?
3. Kedudukan PerMen ATR/BPN No.
9/2019 Yang Mengatur Pembatasan Subyek Pemberi HT
Dalam hierarki peraturan
perundangan-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3)
menyatakan :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Dari ketentuan di atas, peraturan menteri bukan merupakan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian, jenis peraturan menteri keberadaannya
diatur dalam Pasal 8 UU P3, yang menegaskan:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar
peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3 memiliki
kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:
1.
diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
2.
dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat
dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang
dibentuk atas dasar:
1. atribusi pembentukan
peraturan perundang-undangan; dan
2. delegasi pembentukan
peraturan perundang-undangan
A. Hamid S. Attamimmi, menegaskan atribusi
kewenangan perundang-undangan diartikan penciptaan wewenang (baru) oleh
konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever)
yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang
dibentuk baru untuk itu.[1]
Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah
pemindahan/penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang
kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima
delegasi (delegataris) dengan tanggungjawab pelaksanaan kewenangan
tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan tanggungjawab delegans terbatas
sekali.[2]
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar
perintah dari undang-undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan
demikian, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3, termasuk Peraturan
Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU P3 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU P3 juga
menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”.
Istilah “kewenangan” dalam ketentuan tersebut,
tentu saja bukan kewenangan membentuk peraturan melainkan kewenangan pada ranah
lain. Misalnya, Menteri
melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang merupakan
kekuasaan Presiden. Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa
adanya “perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”,
Peraturan Menteri tersebut tetap dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan. Padahal
dalam doktrin tidak dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian.
Hal itu perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif
teori perundang-undangan terutama dalam kaitannya peraturan perundang-undangan
sebagai norma hukum yang bersifat hierarki dimana norma hukum yang lebih rendah
mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi sebagaimana dikemukakan
Hans Kelsen sebagai chain of validity.[3]
Dalam undang-undang sebelumnya (Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004), tidak dikenal peraturan perundang-undangan yang dibentuk
atas dasar kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri. Peraturan Menteri
yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi sebelum berlaku UU P3, dikenal secara teoritik sebagai peraturan
kebijakan (beleidregels), yaitu suatu keputusan pejabat administrasi
negara yang bersifat mengatur dan secara tidak langsung bersifat mengikat umum,
namun bukan peraturan perundang-undangan.[4]
Karena bukan peraturan perundang-undangan,
peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang memiliki
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU P3, maka tidak lagi
perbedaan antara Peraturan Menteri yang merupakan peraturan perundang-undangan
dengan Peraturan Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk
sebelum berlakunya UU P3, tetap berlaku sepanjang tidak dicabut atau
dibatalkan. Namun demikian, terdapat dua jenis kedudukan Peraturan Menteri yang
dibentuk sebelum berlakunya UU P3. Pertama : Peraturan Menteri yang dibentuk
atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Kedua, Peraturan Menteri
yang dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal
ini disebabkan UU P3 berlaku sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 104
UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum
tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih tunduk berdasarkan ketentuan
undang-undang yang lama (UU No.10/2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan
Menteri kategori pertama di atas, yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah
Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang
dibentuk setelah berlakunya UU P3, baik yang dibentuk atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang dibentuk atas dasar
kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri,
berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan
Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat
dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan
dengan undang-undang.
Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan
memiliki beberapa manfaat, yakni menghindari salah satu cabang kekuasaan
(eksekutif atau legislatif) mendominasi kekuasaan sehingga dan tidak
menciptakan prinsip checks and balances kekuasaan. Apabila peraturan
pelaksanaan didominasi oleh legislatif, dalam arti peraturan pelaksanaan dibuat
oleh legislatif, secara praktis dapat menghambat pelaksanaan suatu
undang-undang oleh eksekutif mengingat legislatif tidak mengetahui praktik
pelaksanaan secara detail dan pengaturan lokal.
Sebaliknya apabila peraturan pelaksanaan dibuat
secara penuh oleh eksekutif, maka akan berpotensi kekuasaan legislatif akan
diambil alih oleh eksekutif. Selain itu, mencegah eksekutif menyelenggarakan
pemerintahan secara tidak terkendali. Adanya delegasi kewenangan dari
legislatif kepada eksekutif akan mencegah eksekutif melakukan improvisasi yang
tidak tepat dalam menyelanggarakan pemerintahan.
Keberadaan PerMen ATR/BPN No. 9/2019, tidak ada
peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara jelas mendelegasikannya.
Ketentuan Pasal 9 ayat (5) dari Permen tersebut yang mengatur bahwa APHT yang
dapat didaftarkan dalam sistem HT-el dengan subyek Pemberi HT harus debitor
sendiri berpotensi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UUHT.
Oleh karena Permen tersebut menurut UU P3 dapat dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan, maka dapat dilakukan uji materi pada Mahkamah Agung.
[1] A.
Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI, Disertasi,
Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990, h. 352..
[2] Ibid, h. 377
[3]
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress,
Jakarta, 2006,
h. 157
[4]
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,
Alumni, Bandung,
1997, h. 169.
Komentar
Posting Komentar