Mengkritisi Pelayanan Hak Tanggungan Elektronik Terkait Pembatalan Pelayanan

Mengkritisi Pelayanan Hak Tanggungan Elektronik Terkait Pembatalan Pelayanan

Oleh: Agus Suhariono

Email: agus.suhariono@gmail.com

 

 

Pendahuluan

Pelayanan pendaftaran Hak Tanggungan sekarang ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang memiliki tujuan memberikan kemudahan dalam pelayanan publik, yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Permen ATR/KBPN No. 5/2020).

Dalam Permen ATR/KBPN No. 5/2020 tersebut terdapat pihak-pihak yang terkait dengan pendaftaran hak tanggungan, yaitu:

a.   Kementerian ATR/KBPN sebagai Penyelenggara

b.   Kantor Pertanahan sebagai Pelaksana

c.   PPAT sebagai mitra kerja diberikan kedudukan sebagai Pengguna

d.   Kreditor sebagai Pengguna

Sebagaimana tujuan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) adalah untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Pelaksanaan pendaftaran hak tanggungan secara elektronik seharusnya mendukung tujuan pokok dari UUHT di atas. Akan tetapi ternyata pengaturan dalam Permen ATR/KBPN No. 5/2020 justru bertolak belakang dengan tujuan UUHT. Hal tersebut tercemin dari pengaturan Pasal 25 ayat (1) Permen ATR/KBPN No. 5/2020 yang menentukan:

“Dalam hal terjadi keadaan darurat di luar kendali manusia (force majeure) dan/atau keadaan tertentu yang menyebabkan Sistem HT-el terganggu dan hasil Pelayanan HT-el tidak dapat diterbitkan, maka permohonan Pelayanan HT-el dinyatakan batal”.

Dari ketentuan Pasal  25 ayat (1) Permen ATR/KBPN No. 5/2020 mengandung pengertian apabila Sistem HT-el mengalami gangguan teknis maka pendaftaran dinyatakan batal.

Dengan demikian jelas sudah tujuan dilakukannya pendaftaran hak tanggungan secara elektronik yang seharusnya memberikan kemudahan pelayanan publik dalam mendukung UUHT untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum justru Pasal 25 ayat (1) Permen ATR/KBPN No. 5/2020 memberikan ketidakpastian hukum, sehingga perlindungan hukum juga tidak dapat dilaksanakan. Tentunya pembatalan tersebut sangat merugikan kedudukan kreditor dalam upaya mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terkait saat lahirnya hak tanggungan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penulisan ini adalah apakah Menteri ATR/KBPN berwenang membuat pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) Permen ATR/KBPN No. 5/2020 ? dan bagaimana seharusnya penormaan yang baik dalam mengakomodir terganggunya sistem HT-el ?

 

Metode Penulisan

Penulisan ini bertipe yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

 

Pembahasan

1.   Pengertian Force Majeure

Menurut doktrin yang disarikan oleh penulis, force majeure adalah keadaan yang tidak bisa dihindari yang terjadi di luar kemampuan yang dapat disebabkan oleh faktor alam, faktor massa dan faktor teknis. Keadaan force majeure dapat berakibat : 

a) prestasi tidak dapat dilaksanakan;

  b) tertunda pelaksanaannya.

Dengan terjadinya force majeure, maka kepada pihak yang belum melaksanakan prestasi (debitor) dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang timbul, karena prestasi yang seharusnya dilakukan menjadi tidak dapat dilaksanakan atau tertunda pelaksanaannya.

Unsur-unsur force majeure yang dapat membebaskan tanggung jawab debitor adalah:

1) bukan kesalahan debitor

2) harus dapat dibuktikan

Berdasarkan hal di atas, debitor baru mendapat pembebasan tanggung jawab, apabila keadaan foce majeure tersebut bukan kesalahan debitor dan dapat dibuktikan.

2.   Force Majeure dalam Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik

Penulis berpendapat alasan diaturnya force majeure pada pendaftaran hak tanggungan secara elektronik adalah karena :

1. Sebagai aturan futuristis (antisipasif), hal tersebut memang diperbolehkan oleh hukum

2. Sistem HT-el dapat saja mengalami gangguan yang bukan disebabkan oleh kesalahan penyelenggara (BPN Pusat) ataupun Pelaksana (Kantor Pertanahan).

Terjadinya Force Majeure atau Gangguan Sistem HT-el dapat memiliki akibat hukum pendaftaran HT-el tidak dapat dilakukan secara tepat waktu. Sehingga BPN lebih memilih membatalkan pendaftaran HT daripada memilih menunda pendaftaran HT.

Pilihan membatalkan sebenarnya pilihan yang dilematis bagi BPN, karena menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT, pendaftaran hanya dapat dilakukan pada hari ketujuh, tidak boleh sebelumnya atau sesudahnya, dengan pengecualian.

3.   Dasar Hukum Pengaturan Force Majeure Pada Sistem HT-el

a.   Sistem HT-el merupakan bagian dari Sistem Elektronik (SE) yang berpedoman pada Undang-Undang Rеpublik Indonеsiа Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Rеpublik Indonеsiа Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 15 UU ITE mengatur tentang Force Majeure dan akibatnya, yang mengandung unsur-unsur:

1)   bukan kesalahan Penyelenggara Sistem Eeletronik;

2)   dapat dibuktikan.

b.   BPN merupakan instansi yang melakukan pelayanan publik, sehingga BPN juga berpedoman pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik). Pasal 28 UU 25/2009 juga mengatur tentang Force Majeure.

Berdasarkan dasar hukum ini, dapat disarikan force majeure merupakan aturan antisipasif yang dapat diartikan sebagai hak bagi penyelenggara pelayanan publik termasuk BPN.

4.   Kewajiban Kantor Pertanahan Terhadap Pendaftaran HT

Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT, pencatatan buku tanah hanya dapat dilakukan pada hari ketujuh setelah surat-surat diterima lengkap. Penulis berpendapat penetapan hari ketujuh tersebut, cukup sulit diakomodir dalam Sistem HT-el. Sehingga apabila pada hari ketujuh Sistem HT-el mengalami gangguan dan pendaftaran tidak dapat dilaksanakan, akan menyebabkan Kepala Kantor Pertanahan diberikan sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 63 UUHT.

Dengan demikian terjadi disharmoni antara hak yang diatur dalam UU ITE dan UU Pelayanan Publik dengan kewajiban yang diatur dalam UUHT.

5.   Pengaturan Force Majeure / Gangguan Sistem Pada Permen ATR/KBPN No. 5/2020

Menurut Pasal 25 ayat (1) Permen 5/2020, secara tekstual menyatakan:

Dalam hal terjadi keadaan darurat di luar kendali manusia (force majeure) dan/atau keadaan tertentu yang menyebabkan Sistem HT-el terganggu dan hasil Pelayanan HT-el tidak dapat diterbitkan, maka permohonan Pelayanan HT-el dinyatakan batal.

Dari Pasal 25 ayat (4) tersebut dapat disarikan :

1.      keadaan yang menyebabkan sistem HT-el terganggu

2.      Pelayanan HT-el dinyatakan batal

Unsur harus dapat dibuktikan yang diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU ITE justru dihilangkan sehingga dimungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dalam menentukan saat terjadinya sistem terganggu yang tidak mencerminkan keadilan.

Kewajiban yang diperintahkan Pasal 13 ayat (4) UUHT juga diabaikan. Sehingga dapat diartikan KemenATR/KBPN hanya menuntut haknya (untuk dibebaskan dari tanggung jawab) tetapi tidak menjalankan kewajibannya.

Dengan penormaan yang demikian maka Pasal 25 (1) tersebut bertentangan dengan UU ITE dan UUHT. Mengingat Permen ATR/KBPN No. 5/2020 derajatnya dibawah UU ITE dan UUHT, seharusnya tidak boleh melanggar/bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi berdasarkan asas lex superiori derogat legi inferiori. Dengan demikian ketentuan Pasal 25 ayat (1) dianggap tidak berlaku.

6.   Penormaan Yang Baik Dalam Mengakomodir Terjadinya Gangguan Sistem

Rumusan Pasal 13 ayat (4) UUHT menyatakan:

“Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya” (huruf tebal oleh penulis).

Pada frasa kata hari libur tersebut mengandung pengertian sebagai hari tidak bekerja. Kata hari libur ini dapat saja penafsiran gramatikalnya diperluas menjadi “hari tidak bekerjanya sistem HT-el baik karena hari bebas bekerja (libur) maupun karena hari tidak bekerjanya Sistem HT-el karena gangguan teknis yang dapat dibuktikan”.

Dengan perluasan penafsiran kata hari libur maka KemenATR/BPN dapat mengakomodir antara hak dan kewajibannya secara seimbang. Perluasan penafsiran gramatikal tersebut dapat dimuat pada bagian definisi dari Permen yang biasanya dimuat pada Pasal 1 Ketentuan Umum. Perluasan penafsiran tersebut bukan norma baru, tetapi hanya mempertegas sehingga sangat diperbolehkan dimuat ke dalam produk hukum setingkat Peraturan Menteri.

 Kesimpulan dan Rekomendasi

a.. Kementerian ATR/BPN merupakan instansi pemerintahan di bidang pertanahan, yang berwenang menyelenggarakan pendaftaran hak tanggungan dengan berpedoman pada Undang-Undang Hak Tanggungan dan peraturan lainnya yang terkait. Dalam rangka memberikan kemudahan pelayanan publik, maka pelayanan pendaftaran hak tanggungan diselenggarakan secara elektronik yang dikonstruksikan KemenATR/BPN sebagai Penyelenggara, Kantor Pertanahan sebagai Pelaksana, serta PPAT dan Kreditor sebagai Pengguna. KemenATR/BPN sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik sekaligus Penyelenggara Sistem Elektronik mendapatkan hak untuk dibebaskan dari tanggung jawab jika terjadi keadaan force majeure menurut UU ITE dan UU Pelayanan Publik. Pelaksanaan hak seharusnya tidak mengabaikan kewajiban yang diatur dalam UUHT. Akan tetapi ternyata penormaan keadaan force majeure justru menghilangkan unsur dapat dibuktikan menurut UU ITE dan mengabaikan kewajiban yang diatur dalam UUHT. Dengan demikian dapat disimpulkan Pasal 25 ayat (1) Permen ATR/KBPN No. 5/2020 bertentangan dengan Pasal 15 ayat (3) UU ITE dan Pasal 13 ayat (4) UUHT. Berdasarkan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori, maka ketentuan Pasal 25 ayat (1) dapat dianggap tidak berlaku.

b.   Permen ATR/KBPN No. 5/2020  merupakan pengganti atau penyempurnaan dari Permen ATR/KBPN No. 9/2019. Akan tetapi ternyata materi / muatan dari Permen ATR/KBPN No. 5/2020 masih mengandung cacat kewenangan terkait kewenangan Menteri ATR/KBPN dalam mengatur pembatalan pelayanan pendaftaran hak tanggungan.

c.   Merekomendasikan kepada ATR/KBPN untuk mencabut dan memperbarui serta menyempurnakan penormaan dalam Permen ATR/KBPN No. 5/2020 dalam mengakomodir hak dan kewajiban secara seimbang.     

 

Kepada pembaca yang budiman, jangan lupa meninggalkan jejak dengan klik reaction atau tuliskan komentar. Terima kasih


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6822205242648022"
     crossorigin="anonymous"></script>

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA