Memahami Jenis Akta dan Kekuatan Hukum Akta PPAT
Memahami Jenis Akta dan Kekuatan Hukum
Akta PPAT
13 April 2022
Agus Suhariono
Email: agus.suhariono@gmail.com
Sebelum terbentuknya Negara Indonesia dahulu wilayah tersebut adalah jajahan kolonial Belanda. Setelah negara Indonesia terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1945 pada wilayah jajahan tersebut resmi bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai negara bekas jajahan Belanda, sendi kehidupan hukum di NKRI banyak mewarisi hukum yang telah ditetapkan oleh penjajah.
Pewarisan hukum yang dikenal dengan istilah asas konkordansi tersebut memang diperlukan agar ketertiban tetap terjaga, sampai dapat dibentuknya hukum nasional.
Salah satu warisan hukum kolonial yang masih berlaku walaupun NKRI telah terbentuk selama 77 tahun silam karena belum dibentuknya hukum nasional adalah hukum perdata yang dikodifikasi dalam Burgerlijk Wetboek Staatblad 1847 Nomor 23 yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Perdata (KUH Perdata).
Walaupun beberapa bagian dari KUH Perdata telah diatur secara khusus dalam undang-undang yang dibentuk dan berlaku sebagai hukum nasional, misal pada hukum perkawinan telah dibentuk UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, maka hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan tidak lagi berpedoman pada KUHPerdata namun berpedoman pada UU No. 1/1974, demikian pula hukum agraria/pertanahan sekarang ini berpedoman pada UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Akan tetapi terhadap hal-hal yang belum diatur secara khusus melalui hukum nasional menunjukkan masih berlakunya ketentuan-ketentuan dari KUHPerdata.
Menurut
KUHPerdata, alat bukti tertulis dibagi menjadi yaitu akta otentik dan akta
dibawah tangah (vide Pasal 1867). Akta otentik memiliki karakteristik yang
membuat akta itu adalah pejabat umum, yang dibuat sesuai dengan bentuk (baca:
prosedur/tatacara) yang ditetapkan. Selanjutnya akta otentik jenisnya dibagi 2
lagi, yaitu akta pejabat atau relaas acte
dan akta pihak atau partij acte (vide
Pasal 1868).
Sebagaimana
disinggung di atas, bahwa hukum agraria/pertanahan yang di muat dalam UUPA
secara tegas mencabut ketentuan hukum perdata barat apabila berkaitan dengan
agraria/pertanahan.
Menurut
sifatnya UUPA adalah payung hukum bagi pengaturan hukum pertanahan di
Indonesia, artinya UUPA merupakan sendi utama dari pembentukan peraturan
perundang-undangan hukum nasional mengenai agraria/pertanahan.
Senyampang
berlakunya UUPA sebagai payung hukum bidang agraria/pertanahan, kemudian
diundangkan UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang secara tegas
menyatakan hukum jaminan yang obyeknya berupa hak atas tanah berpedoman pada
UUHT. Hal tersebut menunjukkan bahwa bagian hukum jaminan yang obyeknya hak
atas tanah yang diatur dalam UUHT mengesampingkan berlakunya KUHPerdata.
Artinya
bagian dari KUHPerdata yang telah diatur dalam hukum nasional merupakan hukum
khusus (lex spesialist) sekaligus dan
hukum baru (lex posteriori) dengan
mengesampingkan dan mengganti hukum umum (lex
generali) dan hukum lama (lex priori).
Menurut
sudut pandang penulis, bagian hukum perdata (KUHPerdata) yang cukup mendesak (urgent) diatur dalam hukum nasional yang
berkaitan dengan pertanahan adalah hukum perikatan (khususnya hukum perjanjian)
dan hukum pembuktian terkait jenis akta otentik.
Pada
hukum perjanjian, oleh KUHPerdata dilakukan “pemisahan” antara perjanjian obligatoir (berisikan hak dan
kewajiban) dan levering (berisikan pelaksanaan prestasi).
Dengan
dibuatnya perjanjian obligatoir maka hak dan kewajiban telah timbul, para pihak
yang membuatnya *“terikat”* untuk melaksanakannya, namun pada saat perjanjian
obligatoir dibuat prestasi belum dilaksanakan. Pelaksanaan prestasi dilakukan
terpisah dan diperlukan alat bukti lain.
Artinya
menurut KUHPerdata diperlukan beberapa alat bukti, yaitu alat bukti yang memuat
obligatoir dan alat bukti yang memuat levering sebagai pelaksanaan prestasi
yang timbul dari perjanjian obligatoir.
Sekarang
mari kita simak perjanjian Jual Beli yang obyeknya hak atas tanah.
Pengertian Jual Beli versi KUHPerdata
Jual
beli dianggap telah terjadi dengan tercapainya kata sepakat (vide Pasal 1457). Dengan
konsep ini, maka Perjanjian Jual Beli hanya sebagai perjanjian obligatoir saja,
tidak termasuk levering (pelaksanaan prestasi). Artinya ada pemisahan antara obligatoir dan
levering.
Pengertian Jual Beli versi Hukum Nasional
(UUPA)
UUPA
bersumber dari hukum adat. Pada hukum adat pengertian jual beli harus memenuhi
unsur-unsur: terang, tunai dan riil
Terang artinya dilakukan
dihadapan pejabat yang berwenang (PPAT)
Tunai artinya prestasi para
pihak harus dilakukan seketika (Pembeli membayar dan Penjual menyerahkan yang
dijual)
Riil artinya jual beli
tersebut bukan pura-pura
Berdasarkan
unsur-unsur tersebut, maka Jual Beli yang obyeknya hak atas tanah terdapat penggabungan antara perjanjian
obligatoir dan levering.
Dengan
demikian terdapat perbedaan konsep Jual Beli antara KUHPerdata dan UUPA
Sekarang
mari kita simak hukum pembuktian khususnya alat bukti tertulis berupa akta
otentik.
Sebagaimana
diuraikan di atas, keberadaan akta otentik diadopsi dari Pasal 1868 KUHPerdata.
Tentunya
konsep jenis akta otentik disinkronkan dengan karakteristik hukum perjanjian
menurut KUHPerdata, sehingga jenis akta otentik dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
akta pejabat (relaas acte) yang
dinyatakan “dibuat oleh” dan akta pihak (partij
acte) yang dinyatakan “dibuat dihadapan”
Kedua
jenis akta tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pula.
Pada akta pejabat, dikonsepkan
akta tersebut merupakan keterangan
dari pejabat umum yang membuatnya. Keterangan (proof) itu dapat berisikan kesimpulan dari alat bukti (evidence) yang diberikan kepada pejabat
umum, bisa juga berupa kesaksian
dari kejadian atau perbuatan hukum yang disaksikan sendiri oleh pejabat umum
dan saksi-saksi. Sehingga pejabat umum itu bertanggung jawab terhadap
keterangan yang dimuat dalam akta otentik.
Pada akta pihak, dikonsepkan
pejabat umum menerima alat bukti (evidence)
ditambah isi kesepakatan, keterangan atau pengakuan yang disampaian kepada
pejabat umum untuk dimuat ke dalam akta otentik.
Peralihan Hak Atas Tanah Dibuktikan
Dengan Akta PPAT
Berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang hukum pertanahan, peralihan hak wajib
dibuktikan dengan akta yang dibuat dihadapan PPAT.
Akta
PPAT walau masih debatable, namun
akta PPAT sebaiknya dianggap sebagai akta otentik saja daripada kebalikannya,
yaitu akta dibawah tangan.
Akta
PPAT dikonsepkan sebagai akta pihak tentunya tidak sesuai dengan kebutuhan
hukum bahwa jual beli menurut UUPA yang bersumber dari hukum adat yaitu harus
memenuhi unsur terang dan tunai.
Unsur
terang dapat dipenuhi yang dibuktikan dengan akta PPAT (formal), namun secara
materiil belum terpenuhi, karena penyerahan atau levering hanya berdasarkan
keterangan atau pengakuan para pihak saja.
Di
dalam praktiknya pelaksanaan prestasi yang hanya didasarkan pada keterangan
atau pengakuan para pihak, cukup banyak menyumbangkan sengketa pertanahan. Di
samping itu sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah pendaftaran akta yang dipengaruhi
oleh sahnya perbuatan hukum di dalam akta.
Seharusnya
pejabat umum dalam hal ini PPAT yang bertugas membuat alat bukti serta
mengesahkan jual beli, diberi wewenang dan tugas untuk memastikan pelaksanaan
prestasi masing-masing pihak, Pembeli secara nyata membayar harganya, terkait
hal tersebut guna menghindari tindak pidana pencucian uang (TPPU) pembayarannya
tidak dimungkinkan lagi dilakukan menggunakan uang tunai, dan diarahkan melalui
jasa perbankan uangnya ditampung terlebih ke rekening penampungan (escrow) yang dikelola PPAT nantinya diteruskan
kepada Pembeli, sehingga secara riil pembayaran benar-benar dilakukan dan dipastikan
telah terjadi.
Penyerahan
obyek secara fisik dapat dilakukan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST)
bilamana perlu PPAT memberikan penugasan peninjauan setempat (PS) kepada pihak
yang dipercaya PPAT, misal kepada karyawan, fungsinya semata-mata untuk
memastikan terjadinya penyerahan penguasaan fisik.
Berdasarkan
uraian diatas, dapat diketahui bahwa jenis akta PPAT khususnya Akta Jual Beli,
oleh peraturan perundang-undangan diseragamkan bentuknya, namun jenisnya adalah
akta pihak, yang tidak cukup kadar kebenarannya. Hal tersebut disebabkan PPAT
tidak dibebani kewajiban untuk menelusuri kebenaran dari keterangan atau
pengakuan para pihak termasuk pengakuan pembayaran maupun pengakuan serah
terima penguasaan fisik.
Saat
ini RUU Jabatan PPAT sedang digodok penyelesaiannya untuk segera diundangkan.
Penulis
berpendapat sebaiknya jenis akta PPAT diatur dan diseragamkan sebagai gabungan
akta pihak dan akta pejabat (partij relaas
acte) sehingga alat bukti tersebut memiliki tingkat kebenaran yang cukup
dan dijadikan dasar pendaftaran peralihak hak atas tanah.
Diharapkan
partisisipasi pembaca untuk memberikan kritik, saran dan masukan.
Surabaya,
13 April 2022
Komentar
Posting Komentar