KAJIAN NILAI PEROLEHAN OBYEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP) PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN (BPHTB)

 

KAJIAN NILAI PEROLEHAN OBYEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP) PADA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAHDAN ATAU BANGUNAN (BPHTB)

Agus Suhariono 

Email : agus.suhariono@gmail.com

 

Abstrak

Sejak tahun 2001 besarnya NPOPTKP sebagai faktor pengurang BPHTB tidak pernah dilakukan perubahan. Hal ini tentunya tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah. Walaupun didalam penjelasan umum alinea ketiga UU No. 21 Tahun 1997 disebutkan bahwa aspek keadilan bagi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yaitu dengan mengatur nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisa dan mengkaji NPOPTKP yang tidak diubah sejak tahun 2000 sudah memberikan keadilan masyarakat berpenghasilan kecil dalam usahahnya memperoleh rumah pertamanya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis sosiologis, artinya penelitian dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek yang menyangkut beban yang harus ditanggung oleh masyarakat berpenghasilan kecil dalam memperoleh rumah pertama yang diidamkan di Kabupaten Sidoarjo, secara yuridis penelitian ini memfokuskan pada UU No. 28 Tahun 2009 utamanya mengenai NPOPTKP yang tidak mengalami perubahan sejak tahun 2000. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kewajiban negara untuk melindungi kebutuhan warga negara dalam pemenuhan perumahan tidak diimbangi dengan kebijakan atas pungutan pajak bagi masyarakat ekonomi lemah.

Kata kunci : rumah pertama, masyarakat berpenghasilan rendah, pajak yang tinggi

 

Abstact

Since 2001 the amount of NPOPTKP as a reduction factor for BPHTB has never been changed. This certainly does not provide a sense of justice for people in economically weak and low-income groups. Although in general explanation the third paragraph of Law no. 21 of 1997 stated that the aspect of justice for the people, especially the economically weak and low-income people, is to regulate the acquisition of land and building rights that are not taxed. The purpose of this paper is to analyze and study NPOPTKP, which has not been changed since 2000, to provide justice for small income people in their efforts to obtain their first home. The research method used is a sociological juridical approach method, meaning that the research is conducted by looking at the reality that exists in practice concerning the burden that must be borne by the small income community in obtaining the first desirable house in Sidoarjo Regency, juridically this research focuses on Law No. 28 of 2009 mainly concerning NPOPTKP which has not changed since 2000. From the results of the discussion it can be concluded that the state's obligation to protect the needs of citizens in fulfilling housing is not offset by policies on tax collection for weak economic communities.
Keywords: first home, low-income people, high taxes.

 

 

A. PENDAHULUAN

Kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan merupakan hak asasi manusia. Hal itu diatur dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu di dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua yang secara jelas menjamin bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian halnya konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (selanjutnya dalam penelitian ini cukup ditulis UU Perumahan), menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.

Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena hak atas perumahan merupakan hak asasi manusia, maka ini menimbulkan kewajiban pada Negara dalam hal ini Pemerintah untuk melindungi, menghormati dan melaksanakannya. Kewajiban Negara tersebut telah tertuang dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.

Negara dan pemerintah melakukan pengaturan dan pengawasan melalui regulasi-regulasi yang dibuat. Pemerintah melakukan usaha-usaha pembangunan perumahan dengan melibatkan berbagai pihak baik oleh pemerintah sendiri melalui badan usaha milik negara yang bergerak di bidang pembangunan perumahan maupun oleh pihak swasta.

Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan bagian dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, terencana dan berkesinambungan. Dalam hal ini maka pengusaha pengembang perumahan sebagai mitra pemerintah dapat berperan besar dalam mendukung terwujudnya program pembangunan perumahan dan permukiman. Berbagai kemudahan perjinan dan insentif perpajakan telah diberikan kepada perusahaan pembangunan perumahan agar lebih giat membangun dan memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Namun demikian hal tersebut berbanding terbalik dengan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan rumah. Karena untuk mendapatkan rumah yang diidamkan masyarakat, masih banyak beban yang harus ditanggung dalam perolehan rumah, antara lain biaya kredit pemilikan rumah yang tinggi dan juga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus ditanggung masyarakat.

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikenakan bagi masyarakat yang hendak membeli rumah. Dasar pengenaan BPHTB adalah harga transaksi jual beli yang merupakan kesepakatan para pihak, yaitu penjual dan pembeli. Adapun tarifnya sebesar 5 % (lima persen). Dasar hukum pengenaan BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya disingkat UU BPHTB).

Agar tidak semua perolehan rumah dibebani BPTHB, maka diatur Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang ditetapkan secara regional tiap Kabupaten/Kota paling banyak sebesar Rp. 60.000.000,- (enampuluh juta rupiah). Dengan demikian dapat diartikan NPOPTKP adalah jumlah tertentu uang tidak dikenakan pajak atau faktor pengurang pajak. Dasar pertimbangan diberikan NPOPTKP tersebut adalah BPHTB hanya dikenakan bagi masyarakat tidak memberatkan wajib pajak, yang artinya apabila harga transaksi dibawah NPOPTKP tentunya menjadi bebas BPHTB. Namun demikian faktor pengurang tersebut dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan. Walaupun NPOPTKP bisa diubah dengan mempertimbangkan perkembangan regional, namun dari sejak UU BPHTB dibubah di tahun 2000 hingga tahun 2019 ini yang telah berlangsung hampir selama 20 tahun NPOPTKP tidak mengalami perubahan. Di tahun 2000 tentunya masih banyak harga rumah dibawah NPOPTKP, sehingga dapat dikatakan banyak obyek pajak yang bisa bebas BPHTB. Terlebih lagi sejak BPHTB ditetapkan sebagai pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. BPHTB semakin dipacu pendapatannya sebagai pemasukan daerah. Menurut UU No. 28 Tahun 2009 tersebut, tarif BPHTB paling tinggi sebesar 5 %. Namun di kebanyakan kota/kabupaten tarif maximum ini yang diberlakukan, agar pendapatan daerah semakin tinggi.

NPOPTKP yang tidak diubah ini tentunya menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang berpenghasilan kecil, utamanya bagi yang belum pernah memiliki rumah dan ingin membeli rumah melalui KPR, tentunya BPHTB ini memberatkan sekali, disamping biaya-biaya yang terkait dengan KPR yang jumlah juga cukup besar. Dengan bertitik tolak dari uraian diatas, permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah NPOPTKP yang tidak diubah sejak tahun 2000 sudah memberikan keadilan masyarakat berpenghasilan kecil ?

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisa dan mengkaji NPOPTKP yang tidak diubah sejak tahun 2000 sudah memberikan keadilan masyarakat berpenghasilan kecil dalam usahahnya memperoleh rumah pertamanya.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis sosiologis, artinya penelitian dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek yang menyangkut beban yang harus ditanggung oleh masyarakat berpenghasilan kecil dalam memperoleh rumah pertama yang diidamkan di Kabupaten Sidoarjo, secara yuridis penelitian ini memfokuskan pada UU No. 28 Tahun 2009 utamanya mengenai NPOPTKP yang tidak mengalami perubahan sejak tahun 2000.

 

B. KERANGKA TEORI

1.   Keadilan Menurut Hukum

Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya. Teori-teori hukum alam sejak Scorates tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice. Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut.

Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles dan teori keadilan sosial John Rawls.

a.   Keadilan Menurut Aristoteles

Aristoteles[1] berpandangan bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik dan yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.

b.   Keadilan Menurut John Rawls

John Rawls mengkonsepkan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. John Rawls[2] mengemukakan :

First Principles. Each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all. Second Principle. Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both: (a) to the greatest benefit of the least advantaged, consistent with the just saving principle, and (b) attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity.

   (Terjemahan) :

Prinsip pertama. Setiap orang memiliki hak yang seimbang terhadap keseluruhan sistem kebebasan dasar yang seimbang sesuai dengan sistem kebebasan untuk semua orang. Prinsip kedua: (a) untuk manfaat bagi keuntungan yang terbesar, konsisten dengan prinsip keuntungan, dan (b) melekat pada jabatan dan kedudukan terbuka untuk semua kondisi persamaan keseimbangan yang adil).

 

Di dalam konsep keadilan terkandung esensi kelayakan (fairness) yang pada umumnya dikaitkan dengan kewajiban. Kewajiban yang dimaksudkan adalah kewajiban hukum, sehingga tidak termasuk di dalamnya keadilan moral. Munculnya kewajiban yang bersifat mengikat itu terjadi di antaranya karena perbuatan sukarela (voluntary acts) baik karena adanya persetujuan yang tegas ataupun yang diam-diam.[3] Mengenai isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif (distributive justice) dan keadilan komutatif (remedial justice). Keadilan distributif menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya atau jatahnya. Di sini bukan kesamaan yang dituntut tetapi perimbangan. Keadilan komutatif memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Dalam pergaulan di masyarakat keadilan komutatif merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. Di sini yang dituntut adalah kesamaan. Yang adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. Keadilan komutatif ini merupakan tugas hakim. Hakim memperhatikan hubungan perorangan yang mempunyai kedudukan prosesuil yang sama tanpa membedakan orang (equality before the law). Dalam keadilan komutatif memperhatikan kesamaan adalah sifat mutlak.[4]

2.   Keadilan Dalam Perpajakan

Di dalam hukum pajak, asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara[5].

Prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan yang sama serta adanya perlindungan terhadap warga negara terhadap tindakan semena-mena penguasa dalam pemungutan pajak tersebut itu sendiri.

Banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang, undang-undang adalah manifestasi hukum jadi harus adil, pasti, dan manfaat. Apabila undang-undang telah diterbitkan dan sudah menjadi ketentuan maka kita harus menganggap itulah keadilan, dalam arti keadilan legalis atau keadilan yang ditetapkan dalam peraturan. Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti berpendapat bahwa setiap orang harus diperlakukan secara adil, tidak boleh dibedakan yang satu dengan yang lain, dalam keadaan yang sama. Dalam undang-undang pajak, prinsip nondiskriminasi ini harus dipegang teguh. Apa yang diartikan sama, harus ditentukan dalam undang-undang dan diberikan tolak ukurnya.[6] Di samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan juga dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri.

Menurut Santoso Brotodihardjo : “hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni pihak fiscus dan wajib pajak”. Dalam Pasal 23A UUD 1945 mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Pajak memang pelaksanaannya bisa dipaksakan, tetapi tetap harus adil, ukuran adil salah satunya dapat diukur dengan jika aturan itu diatur dengan undang-undang karena undang-undang adalah kesepakatan bersama antara rakyat selaku pemilik kedaulatan negara dengan pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan.

 

C. PEMBAHASAN

1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan

Dasar Hukum pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) awalnya diataur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini yang mengatur bahwa BPHTB atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur kewenangan pemungutan BPHTB sebagai pajak yang dipungut oleh pemerintah. Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada tanggal 1 Januari 2010. Selanjutnya pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi sumber pendapatan asli daerah. Agar pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara mandiri tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan daerah serta menciptakan system perpajakkan yang sederhana dibidang perolehan hak atas tanah dan bangunan, perlu diatur dalam Peraturan Daerah (Perda).

2.   Objek dan Subjek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi :

Pemindahan hak karena :

    Jual beli;

    Tukar-menukar;

    Hibah;

    Hibah wasiat;

    Waris;

·         Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

·         Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

·         Penunjukan pembeli dalam lelang;

·         Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

·         Penggabungan, peleburan, pemekaran usaha;

·         Hadiah.

Pemberian hak baru karena :

    Kelanjutan pelepasan hak;

    Di luar pelepasan hak.

    Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

Yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. BPHTB dikenakan kepada peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.

Objek yang tidak dikenakan BPHTB

Ada beberapa Objek yang tidak dikenakan BPHTB, yaitu Objek yang diperoleh dari :

1.   Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

2.   Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum yaitu tanah dan atau bangunan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik pusat maupun daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah dan jalan umum;

3.   Badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah dan non-pemerintah, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

4.   Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah, contoh :

a.   Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;

b.   Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru;

c.   Perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama, contoh : perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.

5.   Orang pribadi atau badan karena wakaf, yaitu perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya demi kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun;

6.   Karena warisan;

7.   Orang pribadi atau badan, yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

2. Nilai Perolehan Obyek Pajak

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP karena jual beli adalah harga transaksi yang merupakan kesepakatan para pihak, dalam hal ini penjual dan pembeli. Sedangkan dalam hibah dan waris NPOP nya adalah nilai pasar (vide Pasal 87 ayat (2) UU 28/2009). Namun jika nilai transaksi dalam jual beli atau waris atau hibah hak atas tanah dan/atau bangunan tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB.

Misalnya harga transaksi jual beli hak atas tanah dan/atau bagunannya Rp. 225.000.000,- sedangkan NJOP PBB nya Rp 275.000.000,- karena NJOP PBB-nya lebih tinggi, maka dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah harga yang tertera dalam NJOP PBB, yakni Rp. 275.000.000,- Akan tetapi jika harga transaksi jual beli lebih tinggi dari NJOP PBB, misalnya Rp. 375.000.000,- maka yang dipakai untuk pengenaan BPHTB adalah harga transaksi.

3. Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak

Dengan mempehatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah dan masyarakat berpenghasilan rendah, maka diatur Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) agar tidak memberatkan masyarakat golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah tersebut (vide Penjelasan Umum alinea ke3 UU No. 21 Tahun 1997).

Pada awal diberlakukan pungutan BPHTB di tahun 1998, NPOPTKP ditetapkan paling banyak sebesar Rp. 30.000.000,- selang 2 (dua) tahun berikutnya bersamaan dengan diubahnya UU No. 21 Tahun 1997 dengan UU No. 20 Tahun 2000 yang berlaku mulai 1 Januari 2001, NPOPTKP juga ikut disesuaikan menjadi paling banyak sebesar Rp. 60.000.000,-

Hal tersebut berarti dalam selang waktu 2 (dua) tahun NPOPTKP sebagai faktor pengurang pungutan BPHTB dinaikkan 100 % (seratus persen). Asas keadilan dalam pungutan BPTHTB masih menjadi perhatian negara. Namun demikian ternyata dari semenjak tahun 2001 tersebut ternyata NPOPTKP tersebut tidak berubah hingga berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 atau bahkan di tahun 2019 ini NPOPTKP tidak mengalami penyesuaian. Yang berarti pungutan BPTHB tidak memberikan asas keadilan terhadap masyarakat golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah yang awalnya begitu diperhatikan oleh negara dengan pemberian faktor pengurang BPHTB melalui NPOPTKP tersebut. Kewajiban membayar BPHTB ini tentu sangat memberatkan rakyat golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah.

Dalam menunjang penelitian ini, penulis berkunjung ke Kantor Bank BTN Cabang Surabaya yang berada di Jalan Pemuda Surabaya, penulis berhasil melakukan wawancara dengan pemohon Kredit Pemilikan Rumah. Salah satunya Suwardi, tenaga migran berasal dari Ponorogo yang bekerja di Surabaya, saat ini berdomisili bersama keluarga kecilnya di rumah kontrakan di Sidoarjo. Suwardi datang ke Kantor BTN untuk mengajukan permohonan KPR atas rumah sederhana yang hendak dibelinya di kawasan Sedati Sidoarjo. Harga rumah yang yang berlokasi di Desa Kwangsan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, yaitu Kompleks Permata Kwangsan Residence merupakan rumah sederhana dengan type 36/72 seharga Rp. 340.000.000,-

Agar dapat memperoleh rumah idaman tersebut biaya-biaya yang harus dikeluarkan Suwardi adalah sebagai berikut :

-Uang Muka 10%                         = Rp. 34.000.000,-

-Akta Jual Beli dan Balik Nama   = Rp.   2.500.000,-

-BPHTB                                        = (340jt – 60jt) x 5% = Rp. 14.000.000,-

-Asuransi Jiwa                              = + Rp.   7.500.000,-

-Asuransi Kebakaran                    = + Rp. 12.500.000,-

-Pengikatan Jaminan (HT)            = Rp. 2.5000.000

Total                                              = Rp. 73.000.000,-

Dengan demikian untuk dapat memiliki rumah pertamanya dengan cara mencicil melalui KPR BTN, Suwardi harus memiliki tabungan awal sebesar Rp. 73.000.000,- yang tentunya akan membebatkan sekali bagi Suwardi-suwardi yang lain.

Alasan Suwardi memiliki lokasi perumahan di Desa Kwangsan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo adalah karena lokasi tersebut masih bisa dijangkau dengan tempat kerjanya yang berada di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak yang berjarak sekitar 35 km. Penulis sempat bertanya kenapa tidak memilih rumah subsidi yang harganya lebih murah, yang dijawab oleh Suwardi, lokasi rumah subsidi tersebut bisa berjarak sekitar 60 – 70 km dari tempat kerja Suwardi yang menjadikan perlu tenaga lebih untuk berangkat dan pulang kerja. Rumah pilihan Suwardi yang berada di dalam Kompleks Perumahan Permata Kwangsan merupakan type terkecil di kawasan tersebut. Letaknyapun tidak berada di jalan besar tetapi masuh harus menyusuri masuk sekitar 3 km dari jalan Kwangsan.

Kewajiban membayar BPHTB bagi rakyat kecil tentu bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dengan dibebankannya kewajiban membayar BPHTB, bisa saja rakyat kecil gagal untuk mendapatkan kebutuhan pokoknya, hak atas tanah dan/atau bangunan. Dan ini merupakan kezaliman (ketidak-adilan), yang membuat kesenjangan sosial akan semakin jauh.

Di satu sisi negara wajib hadir untuk melindungi hak asasi warga negaranya akan kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan, yang diatur dalam konstitusi, yaitu Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua yang secara jelas menjamin bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian halnya konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (selanjutnya dalam penelitian ini cukup ditulis UU Perumahan), menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Namun disisi lain masyarakat utamanya golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah dibebani pungutan pajak yang cukup memberatkan.

Pentingnya keadilan dalam menetapkan besarnya NPOPTKP haruslah memenuhi asas keadilan yang ada, sebab keadaan setiap orang berbeda-beda mengenai status sosialnya. Hal ini jika dikaitkan dengan landasan sosiologis dan keadilan, yang artinya dalam pemungutan pajak yang adil apabila Wajib Pajak dalam kondisi status ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama, begitu juga sebaliknya apabila Wajib Pajak dalam kondisi ekonomi yang berbeda maka akan dikenakan pajak yang berbeda pula, seperti yang telah disebutkan oleh John Rawls dengan teori keadilannya yang menyebutkan situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Aturan-aturan tersebut harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengkoreksi ketidakadilan yang dialami oleh kaum lemah.

Berangkat dari semua itu sudah seharusnya pembentuk UU mengubah besaran NPOPTKP sebagai faktor pengurang BPHTB, paling tidak menjadi lebih tinggi berkali-kali lipat dan persentase maksimal tarif. Jika rasio perhitungan sejak tahun 1998 mulai berlakunya BPHTB sampai dengan 2001 dengan rentang waktu 3 tahun terjadi kenaikan NPOPTKP sebesar 100%, maka di tahun 2019 atau rentang waktu 18 tahun seharusnya kenaikan NPOPTKP menjadi 6 kali lipat. Sehinga masyarakat ekonomi lemah menjadi terbantu untuk memperoleh rumah yang di idamkan untuk membina rumah tangga.

 

D.  PENUTUP

1. Kesimpulan

a.   Negara berkewajiban untuk melindungi kebutuhan warga negaranya akan kebutuah sandang, pangan dan papan yang merupakan hak asasi yang diamanatkan oleh konstitusi negara Indonesia.

b.   Kebutuhan akan perumahan telah diupayakan dapat dipemenuhi oleh pemerintah melalui kemudahan-kemudahan penyelenggaraan perumahan.

c.   Pemerintah sebagai penyelenggara negara memerlukan pendanaan, salah satunya diperoleh melalui perpajakan.

d.   Dalam pemungutan pajak utamanya pajak BPHTB, landasan sosiologis dan keadilan harus diperhatikan, yang artinya dalam pemungutan pajak yang adil apabila Wajib Pajak dalam kondisi status ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama, begitu juga sebaliknya apabila Wajib Pajak dalam kondisi ekonomi yang berbeda maka akan dikenakan pajak yang berbeda pula.

2.   Saran

Kepada pembentuk UU agar segera mengubah besaran NPOPTKP sebagai faktor pengurang BPHTB, paling tidak menjadi lebih tinggi berkali-kali lipat dan persentase maksimal tarif, supaya golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah memperoleh kemudahan untuk membeli rumah pertama yang diidamkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.

 

John Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts London, England, 1995.

 

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum., Universitas Gajahmada, Yogyakarta, 2005.

 

Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, Pengantar Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2005.

 

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan I, Edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 2004.



[1]Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), hal. 239.

[2] John Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts London, England, 1995, h. 302. 

[3] Ibid., h.112-113. 

[4]Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum., Universitas Gajahmada, Yogyakarta, 2005, h.77-79. 

[5]Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, Pengantar Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 121

[6]Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan I, Edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA