MENGKRITISI LAYANAN HAK TANGGUNGAN ELEKTRONIK

MENGKRITISI LAYANAN HAK TANGGUNGAN ELEKTRONIK

Oleh : Agus Suhariono

Email : agus.suhariono@gmail.com

 

PENDAHULUAN

Belum lama ini Menteri ATR / Kepala BPN menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik yang mulai berlaku sejak diundangkan yaitu sejak tanggal 21 Juni 2019 (Permen ATR/KBPN 9/2019).

Permen tersebut merupakan kesinambungan dengan Permen ATR/KBPN sebelumnya, yaitu Permen 3/2019 tentang penggunaan sistem elektronik dan Permen 7/2019 tentang perubahan bentuk sertifikat.

Dengan diterbitkannya permen-permen tersebut merupakan langka maju Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional dalam mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari kementerian tersebut dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Walaupun Permen tersebut telah diterbitkan dan berlaku sejak diundangkan, namun pelaksanaan Permen No. 9/2019 tentang HT-el masih tergantung kesiapan masing-masing kantor pertanahan dalam menerapkan sistem elektronik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Terdapat poin-poin penting dalam HT-el yang terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan PPAT, adanya pemisahan antara perbuatan pendaftaran HT-el dengan perbuatan penyampaian akta APHT kepada Kantor Pertanahan. Jika selama ini perbuatan penyampaian akta sekaligus pendaftaran Hak Tanggungan ditugaskan kepada PPAT maka dalam Permen memisahkan hal itu menjadi :

  1. Penyampaian APHT kepada Kantor Pertanahan tetap menjadi tugas PPAT untuk menyampaikan akta yang dibuatnya sesuai batas waktu yang ditentukan, penyampaian akta tersebut dapat dilakukan secara elektronik (vide Pasal 10).

b.       Permohonan pendaftaran HT-el menjadi kewajiban kreditor, sehingga apabila kreditor lalai tidak mendaftarkannya maka resiko dan akibat hukumnya menjadikan jaminan yang diberikan tersebut tidak memberikan hak-hak istimewa yang diberikan oleh UU Hak Tanggungan.

Disamping itu ternyata terdapat pengaturan dalam Permen 9/2019 yang cukup krusial, yaitu pendaftaran HT-el hanya dimungkinkan terhadap pemberi HT yang harus oleh debitor sendiri (vide Pasal 9 ayat (5).

Beberapa kalangan menganggap pengaturan Pasal 9 ayat (5) sebagai bentuk larangan terhadap pembuatan APHT dan pendaftaran HT yang bukan milik debitor sendiri.

Berdasarkan uraian hal hal tersebut diatas, permasalahan yang hendak dikaji adalah :

  1. Bagaimana kedudukan PPAT dalam layanan HT-el ?
  2. Apakah pemberi HT yang bukan debitor dilarang ?

 

PEMBAHASAN

A. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan PPAT

1.      Fungsi Dan Tujuan Pendaftaran Tanah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang merupakan peraturan dasar yang mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pengendalian pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai kepastian hak atas tanah yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum kepemilikan tanah.

Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, dalam Pasal 19 UUPA telah diatur ketentuan dasar pendaftaran tanah sebagai berikut :

(1)   Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

(2)   Pendaftaran tanah tersebut pada ayat (1) meliputi :

a.       pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;

b.      pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c.       pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah ditetapkan dalam PP No. 10/1961 yang kemudian dalam perkembangannya disempurnakan dengan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mulai berlaku pada tanggal 8 Oktober 1997 dan telah mendapat pengaturan lebih lengkap dan lebih rinci dalam ketentuan pelaksanaannya yaitu dalam PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997, yang mulai berlaku juga pada tanggal 8 Oktober 1997.

Pengertian pendaftaran tanah tercantum dalam Pasal 1 angka 1 PP 24/1997 yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Tujuan kegiatan pendaftaran tanah yang dinyatakan dalam Pasal 3 PP 24/1997 yang bertujuan untuk :

a.       untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

b.      untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

c.       untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Dengan demikian menurut penulis, fungsi dan tujuan diadakannya pendaftaran tanah oleh pemerintah yang diamanatkan Pasal 19 UUPA adalah untuk :

  1. tercatat/terdaftarnya seluruh tanah yang ada di wilayah negara Indonesia
  2. memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang SHAT
  3. mengelola data pendaftaran tanah terhadap mutasi/pemindahan hak dan pembebanan atas tanah sebagai jaminan utang.
  4. Memberikan informasi pertanahan bagi masyarakat atau pihak yang kepentingan.

2.      Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah

Hasil akhir dari kegiatan pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah adalah diterbitkannya surat tanda bukti hak atas tanah yang lazim disebut Sertipikat Hak Atas Tanah (SHAT) kepada pihak yang bersangkutan yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap hak atas tanah yang dipegangnya itu.

Kekuatan pembuktian SHAT ini tergantung pada sistem publikasi pendaftaran tanah. Di dunia ini dikenal 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif.

Dalam sistem publikasi positif menggunakan sistem pendaftaran hak, dan negara menjamin kepastian hukumnya sehingga SHAT yang diterbitkan berlaku sebagai pembuktian mutlak yang tidak dapat dibatalkan.

Sedangkan dalam sistem publikasi negatif menggunakan pendaftaran akta, yang menunjukan adanya perbuatan hukum, peristiwa atau akibat hukum. Sahnya perbuatan hukum mempengaruhi pendaftarannya. Jika suatu perbuatan hukum digugat dan dinyatakan tidak sah / dibatalkan oleh pengadilan maka pendaftarannya juga  menjadi batal.

Sistem publikasi pendaftaran tanah yang adalah sistem publikasi negatif sebagaimana dimuat dalam Pasal 19 ayat (2) huruf d UUPA yang menyebutkan : ”pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” UUPA hanya menyebutkan bahwa tanda bukti hak hasil pendaftaran tanah sebagai alat pembuktian yang kuat (negatif) dan bukan alat bukti yang mutlak (positif).

Namun demikian menurut pengaturan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 yang mengatur bahwa sistem publikasi yang digunakan di Indonesia adalah negatif bertendensi positif, dengan memuat syarat-syarat tertentu. Pengaturan Pasal 32 ayat (2) ini tidak diamanatkan oleh UUPA, sehingga sistem publikasi negatif bertendensi positif ini masih diperlukan pengkajian lagi.

 

3.      Fungsi, Tugas dan Kewenangan PPAT Dalam Pendaftaran Tanah

Keberadaan dan kedudukan PPAT merupakan amanat dari Pasal 26 ayat (1) UUPA yang menyatakan : "Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah". Sebagai implementasi ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA tersebut, kemudian diatur ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP 24/1997 dinyatakan bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan oleh menteri (dalam hal ini Menteri ATR/BPN).

Sebagai pejabat yang diangkat oleh menteri, PPAT mempunyai tugas, fungsi dan wewenang sebagai berikut :

a.       Fungsi PPAT

PPAT berfungsi untuk membantu kepala kantor pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah.

b.   Tugas PPAT

PPAT bertugas membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh peraturan hukum itu.

  1. Kewenangan PPAT

Berdasarkan fungsi dan tugas tersebut diatas, PPAT diberikan kewenangan untuk mengesahkan perbuatan hukum meliputi:

a)   Jual beli,

b)   Tukar menukar,

c)   Hibah,

d)   Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),

e)   Pembagian hak bersama,

f)   Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak

      Milik,

g)   Pemberian Hak Tanggungan,

h)   Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

 

4.      Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat PPAT

Sebagaimana telah disinggung diatas, PPAT mempunyai tugas untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu yang obyeknya berupa tanah. Dalam ilmu hukum dikenal 2 akta, yaitu akta otentik dan atas dibawah tangan.

Alat bukti yang dibuat oleh PPAT tersebut. Akta yang dibuat PPAT termasuk yang mana? Akta otentik atau akta dibawah tangan?

Menurut Pasal 1868 BW, suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dalam bentuk yg ditentukan undang-undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Dari pengaturan Pasal 1868 BW tersebut terdapat unsur-unsur suatu yang dapat dikatakan akta otentik, yaitu :

1.      bentuknya ditentukan undang-undang

2.      dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum

3.      ditempat pejabat umum tersebut diberi wewenang

Ketiga unsur tersebut, merupakan syarat kumulatif yang artinya ketiganya harus terpenuhi agar dapat dinyatakan sebagai akta oktentik. Dengan pengaturan Pasal 1868 BW tersebut, akta PPAT tidak dapat dikategorikan sebagai akta otentik, karena tidak memenuhi unsur pertama, yaitu bentuknya ditentukan UU, sedangkan peraturan jabatan PPAT diatur dalam PP dan bentuk aktanya diatur dalam peraturan menteri, unsur kedua telah terpenuhi dengan diaturnya PPAT sebagai pejabat umum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan.

Untuk mengakomodasi agar akta PPAT yang akan dijadikan sebagai dasar pendaftaran tanah mempunyai bobot sebagai akta otentik, maka syarat mengenai bentuk akta otentik diperluas penafsirannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 101 huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : "akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;"  Dengan dengan pengaturan itu maka, akta PPAT merupakan akta otentik.

5.      Pendaftaran Akta PPAT Dalam Rangka Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, PPAT bertugas membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu yang obyeknya berupa tanah untuk dijadikan dasar pendaftaran tanah. Oleh karenanya dalam membuat akta, PPAT harus senantiasa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, diantaranya mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW.

Setelah mengesahkan perbuatan hukum yang dilakukan para pihak yang dituangkan dalam akta yang dibuatnya, PPAT masih mempunyai kewajiban untuk menyampaikan akta yang dibuat itu kepada kantor pertanahan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. Dengan ancaman diberikan sanksi/teguran apabila lalai dalam menyampaikan akta tersebut.

Dalam prakteknya saat ini penyampaian akta PPAT dibarengi dengan permohonan pendaftaran akta. Dari hal tersebut terdapat 2 perbuatan sekaligus, yaitu penyampaian akta yang merupakan kewajiban PPAT dalam menjalankan tugasnya, dan  sebagai pemohon yang bertindak selaku kuasa dari- dan mewakili pemilik/penerima hak.

 

B. Layanan HT-el

1.      Kedudukan Hak Tanggungan Dalam UUPA

Hak Tanggungan merupakan istilah dalam Hukum Jaminan Nasional yang dimaksud oleh UUPA, yang sebelumnya belum dikenal, baik dalam Hukum Adat maupun dalam KUH Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut, maka diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Dalam Pasal 29 UUHT ditentukan bahwa dengan berlakunya UUHT, ketentuan mengenai Credietverband dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi dengan diundangkannya UUHT tersebut maka Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang tertulis.

2.      Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan

UUHT dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1)      Droit de preferent artinya memberikan kedudukan atau mendahului kepada pemegangnya, yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Maksud dari kedudukan diutamakan atau mendahului adalah bahwa jika cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain.

2)      Droit de suite artinya selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada, yang diatur dalam Pasal 7 UUHT. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan.

3)      Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

4)      Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi. Bagi debitur yang cidera maka dapat dilakukan lelang obyek yang dijadikan jaminan yang disebut parate eksekusi, yang diatur dalam Pasal 224 HIR.

Sifat dari Hak Tanggungan adalah accessoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dapat dijamin.

3.      Prosedur Pembuatan APHT Menurut UU Hak Tanggungan

Pemberian hak tanggungan merupakan salah satu perbuatan hukum yang harus dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT. Dengan demikian Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) merupakan kewenangan PPAT untuk membuatnya. Prosedur untuk membuat APHT harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP 24/1997, BW dan UUHT serta peraturan terkait lainnya.

PP 24/1997 mengatur PPAT harus melakukan pengecekan SHAT dengan buku tanah yang ada di Kantor Pertanahan terlebih dahulu, BW mengatur mengenai syarat sahnya APHT, serta UUHT mengatur mengenai syarat mengenai subyek dan obyek hak tanggungan, serta janji-janji yang boleh dimuat dalam APHT, juga diatur mengenai apabila pemberi HT tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT, diatur mengenai surat kuasa yang dapat dipergunakan yaitu SKMHT.

4.      Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut UUHT dan Permen ATR/BPN No. 9/2019

Pasal 13 ayat (1) UUHT mewajibkan APHT didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Namum UUHT tidak mengatur siapakah yang menjadi pemohon dalam pendaftaran HT tersebut. Sebagaimana diatur dalam PP 24/1997, yang dapat memohon dilakukannya pendaftaran tanah adalah pemilik tanah atau penerima hak. Demikian pula dalam hal hak tanggungan maka yang menjadi pemohon pendaftarannya adalah penerima  hak tanggungan yaitu kreditor.

Selama ini pendaftaran dilakukan secara manual dengan menyampaikan bukti fisik pada loket di kantor pertanahan, dengan PPAT terlebih dahulu mencatatkan pendaftaran tersebut secara online pada portal resmi Kementerian ATR/BPN. Permohonan pendaftaran dan penyampaian APHT dilakukan sekaligus oleh PPAT atau orang yang dikuasakan.

Pasal 3 ayat (2) Permen No. 9/2019 yang mengatur bahwa pelayanan hak tanggungan ”dapat” dilaksanakan secara elektronik melalui Sistem HT-el. Frasa kata ”dapat” mengandung pengertian bahwa terdapat pilihan dalam mendapatkan pelayanan hak tanggungan, yaitu secara manual seperti sebelumnya, maupun melalui Sistem HT-el.

Permen 9/2019 juga mengatur hal-hal khusus, antara lain dalam Pasal 7 yaitu pengguna HT-el adalah kreditor, Pasal 9 ayat (5) pemberi HT harus debitor sendiri. Dengan demikian apabila pemberi HT bukan debitor, maka tidak dapat menggunakan layanan HT-el yang artinya pendaftaran HT dilakukan secara manual/fisik. Ketentuan Pasal 9 ayat (5) bukanlah larangan bagi pemberian HT oleh pihak lain (pemilik jaminan) yang bukan debitor.

Permen tersebut juga memisahkan kebiasaan yang berlaku selama ini, yaitu perbuatan permohonan pendaftaran APHT dengan penyampaian APHT yang dilakukan oleh PPAT. Penyampaian APHT merupakan kewajiban PPAT dengan diancam sanksi apabila lalai. Sedangkan permohonan pelayanan pendaftaran HT bertindak selaku kuasa yang bertindak mewakili penerima HT atau kreditor.

5. Penggunaan Sistem Elektronik Terhadap Pelayanan Pertanahan Lainnya

Berdasarkan Permen No. 3/2019 tentang tanda tangan elektronik dan Permen No. 7/2019 mengenai bentuk SHAT, nampaknya Kementerian ATR/BPN tengah mempersiapkan penggunaan teknologi informasi dalam memberikan pelayanan pertanahan bagi masyarakat.

 

C. KESIMPULAN

a.   Layanan HT-el merupakan bentuk pemberian pelayanan dari Kementerian ATR/BPN dalam mempermudah pelayanan kepada masyarakat dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. HT-el merupakan pilihan untuk mendaftarkan hak tanggungan sehingga masyarakat dapat mendaftarkan HT baik secara manual maupun melalui sistem HT-el

b.   PPAT tetap berkewajiban untuk menyampaikan akta yang dibuatnya, termasuk APHT dalam secepatnya paling lambat 7 hari. PPAT tidak diberi akses untuk HT-el untuk mengembalikan fungsi, tugas dan kewenangan PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum tertentu.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA