Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Perbankan Syariah

 

Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Perbankan Syariah

Selama ini dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun dalam berbisnis di antara manusia tidak sedikit yang mengandung unsur riba’ yang menurut ajaran Islam adalah merupakan hal yang dilarang (haram), sehingga kemudian dicari cara terbaik dalam menjalankan aktifitas sehari-hari maupun dalam berbisnis. 

Masyarakat di Indonesia yang beragama Islam sudah sejak lama berharap adanya suatu lembaga keuangan yang mengacu pada prinsip syariah. Berdasarkan aspirasi masyarakat yang beragama Islam tersebut, kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah).

Sejak perbankan syariah mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan banyak dilakukan masyarakat sehingga dalam pelaksanaanya sering pula terjadi sengketa yang dihadapi oleh masyarakat. Pada dasarnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diatur dalam Pasal 55 UU Perbankan Syariah, yang pada ayat (1) pada intinya mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama.

Pada ayat (2) pada intinya mengatur, para pihak di dalam akad syariah boleh memperjanjikan penyelesaian sengketa di luar pengadilan agama, akan tetapi pemilihan forum penyelesaian sengketa itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Namun dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) justru menimbulkan dualisme lembaga litigasi, yaitu pengadilan agama dan pengadilan negeri.

Dualisme tersebut kemudian diakhiri dengan Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 yang memperkuat kompetensi absolut pengadilan agama sebagai lembaga litigasi dalam penyelesaian sengketa pada perbankan syariah.

Tetapi Putusan MK tersebut menimbulkan permasalahan baru, karena Putusan MK tersebut telah menutup jalur non-litigasi, sehingga sengketa perbankan syariah hanya dapat dilakukan melalui lembaga litigasi yaitu pengadilan agama, dan meniadakan jalur non-litigasi.

Dalam prakteknya, kegiatan perbankan syariah tidak hanya dilakukan oleh yang beragama Islam (muslim) saja, tetapi juga oleh pihak yang tidak beragama Islam (non-muslim) dan juga oleh badan hukum yang tentunya tidak memiliki agama. 

Padahal sesuai kewenangan Pengadilan Agama, yang hanya memeriksa dan mengadili sengketa diantara mereka yang beragama Islam (muslim), sedangkan bagi pihak yang bukan beragama Islam (non-muslim) juga badan hukum tidak dapat bersengketa di pengadilan agama. Sehingga terjadi kekosongan hukum terhadap alternatif penyelesaian sengketa / alternatif dispute settlement (ADR).

Lalu sengketa perbankan syariah yang melibatkan pihak non-muslim diselesaikan dimana?

Menurut penulis, pemilihan forum di luar lembaga litigasi (pengadilan agama) sebagai alternatif, terutama akad syariah yang melibatkan pihak non-muslim sangat penting untuk diperjanjikan.

Walaupun Putusan MK telah mereduksi (dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat) terhadap perjanjian pemiilihan ADR (non-litigasi), akan tetapi putusan MK tidak menyatakan melarang.

Dengan demikian pemilihan forum/ADR, bukan hal yang terlarang, tetapi justru akan sangat membantu sebagai penerapan asas perjanjian berlaku sebagai hukum bagi yang membuatnya (pacta sun servanda) jika dalam pelaksanaan akad syariah itu menimbulkan sengketa.

Jadi, dalam akad syariah yang melibatkan pihak non-muslim, klausul pemilihan forum penyelesaian sengketa (ADR) harus selalu ada.

Sekian dan terima kasih.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA