PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO SEBAGAI LANGKAH MODERN PADA JABATAN NOTARIS / PPAT

 

PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO SEBAGAI LANGKAH MODERN

PADA JABATAN NOTARIS / PPAT

Oleh:

Agus Suhariono

 

Pendahuluan

Notaris / PPAT adalah orang yang memiliki keahlian khusus dan memenuhi persyaratan yang diangkat dan diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Keberadaan Notaris / PPAT yang secara hukum dapat dirangkap oleh orang yang sama, merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan ketentuan yang mengatur mengenai akta otentik dan pejabat umum. Dalam ketentuan 1868 KUH Perdata disebutkan akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang; dibuat oleh/dihadapan Pejabat Umum; ditempat pejabat umum tersebut berwenang.

Lebih lanjut menurut Pasal 1870 KUH Perdata disebutkan akta otentik adalah alat bukti tertulis yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti (akta) yang mengikat para pihak, ahliwarisnya dan/atau penerima haknya. Disamping itu hal-hal yang dimuat dalam akta otentik harus dianggap benar sebagai bukti awal sampai dapat dibuktikan sebaliknya, sehingga dapat dianggap sebagai alat bukti yang terkuat dan sempurna.

Keberadaan akta otentik sebagai alat bukti yang terkuat dan sempurna tersebut merupakan ciri khas pada negara-negara yang menganut sistem hukum civil law, sedangkan pada negara dengan sistem hukum common law tidak terlalu mempemasalah kekuatan alat bukti, artinya pada negara dengan sistem hukum common law tidak dikenal akta otentik.

Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda, mewarisi dan mengadopsi sistem hukum yang dianut negara Belanda, yaitu sebagai negara dengan sistem hukum civil law. Oleh karenanya di Indonesia juga dikenal dan diberlakukan akta otentik sebagai salah satu alat bukti dalam sistem hukum pembuktian.

Pasal 1868 KUH Perdata yang mengatur akta otentik adalah akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat umum, sehingga dipandang perlu untuk membentuk pejabat umum. Pengertian pejabat umum dimaksud bukanlah bagian dari pejabat pemerintahan atau pejabat administrasi pemerintaha, akan tetapi jabatan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki keahlian khusus dan memenuhi persyaratan khusus pula.

Di Indonesia terdapat beberapa jabatan yang dapat dikategorikan sebagai pejabat umum, yaitu :

a.   Notaris

Sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, kemudian diundangkan Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang merupakan terjemahan dari Reglement of het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stb. 1860 No. 3) yang kemudian diadopsi ke dalam hukum nasional menjadi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UUJN).

Menurut Pasal 1 angka 1 UUJN ditentukan Notaris adalah Pejabat Umum. Selanjutnya menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN disebutkan Notaris berwenang membuat akta otentuk mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan, yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan... sepanjang tidak ditugaskan kepada pejabat lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut Notaris sebagai Pejabat Umum berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang belum ditugaskan kepada pejabat lain

b.      Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Keberadaan PPAT sebagai pejabat umum dimuat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-ndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT), yang menyatakan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUHT tersebut, PPAT adalah pejabat umum yang hanya berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Selain dari yang ditentukan tersebut, PPAT tidak berwenang.

Lebih lanjut pelaksanaan tugas jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PJ PPAT).

Pengaturan PJ PPAT yang diatur dalam peraturan dibawah undang-undang tersebut masih menimbulkan inkosistensi dan disharmoni dengan konsep akta otentik. Keberadaan PPAT merupakan politik hukum (political will) pemerintah terhadap penyelenggaran pendaftaran tanah yang dibebankan kepada pemerintah.

Tujuan dibentuknya Pejabat Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, adalah agar pejabat umum tersebut melayani masyarakat yang memerlukan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, terhadap perbuatan dan perjanjian yang mereka lakukan sebagai bagian atau lingkup hukum perdata.

Menurut aturan hukum di Indonesia, jabatan Notaris dan jabatan PPAT dapat dirangkap oleh orang yang sama. Pada tiap-tiap jabatan sebagai Pejabat Umum tersebut telah diatur mengenai kewenangan, tatacara dan prosedur pembuatan akta, serta kewajiban dan larangannya. Juga diatur mengenai hak yang dapat diperoleh pejabat umum (Notaris/PPAT) dari akta yang dibuatnya, yaitu hak atas honorarium dari setiap pembuatan akta.

Pada jabatan Notaris, pengaturan kewajiban lebih banyak diatur, antara lain:

a.       kewajiban formil

yaitu kewajiban yang berkaitan dengan tatacara dan prosedur pembuatan akta agar akta yang dibuat memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, sebagaimana tujuan masyarakat yang datang dan meminta bantuan jasa pejabat umum.

b.      kewajiban materiil

yaitu kewajiban yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a juncto huruf e UUJN. Kewajiban materiil ini meliputi notaris wajib: amana, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, juga kewajiban untuk menolak membuatkan akta yang bertentangan/dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Konsekuensi yuridis atas pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan tersebut menimbulkan tanggung jawab hukum.

Beberapa pendapat menyatakan tanggung jawab pejabat umum (Notaris/PPAT) hanya sebatas menjamin otentisitas akta yang dibuat (kewajiban formil). Namun berdasarkan kewajiban materiil, Notaris/PPAT juga dapat diminta bertanggung jawab terhadap misal kewajiban untuk tidak berpihak, yang ternyata hal tersebut dilanggar sehingga terbukti Notaris turut membujuk melalui advice yang diberikan agar salah satu pihak yang semula tidak setuju menjadi setuju. Atau perbuatan hukum yang dilakukan dilarang oleh aturan hukum. Oleh karenanya di dalam menjalankan jabatannya, Notaris/PPAT wajib menjalankan prinsip kehati-hatian serta melakukan manajemen resiko.

Prinsip kehatian-hatian erat kaitannya dengan ketelitian, kecermatan dan kesaksamaan sehingga akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan hukum (sengketa) di kemudian hari. Sehingga tujuan masyarakat datang dan meminta bantuan jasa Notaris/PPAT, agar perbuatan hukum, perjanjian atau penetapan yang mereka lakukan dan dimuat ke dalam akta berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna menjadi tercapai.

Prinsip kehatian-hatian merupakan upaya pencegahan (preventif) terjadinya pelanggaran terhadap kewajiban yang telah ditentukan. Sedangkan manajemen resiko merupakan tindakan represif yang berisikan memetakan dan mengambil langkah-langkah terhadap sengketa yang timbul dari pembuatan akta.

Sengketa yang timbul dari pembuatan akta dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:

a.       sengketa berkaitan dengan kewajiban formil (prosedur dan tatacara pembuatan akta)

Pada sengketa ini, biasanya menempatkan Notaris/PPAT sebagai tergugat utama, dengan materi gugatan perbuatan melawan hukum.

b.      sengketa berkaitan dengan pelaksanaan isi akta

Pada sengketa ini, umumnya berisi terjadinya cidera janji/wanprestasi dari kewajiban pihak di dalam akta. Sengketa ini biasanya juga menarik/menyeret Notaris/PPAT sebagai pihak yang ikut digugat, agar akta yang dibuatnya menjadi batal. Namun demikian walaupun sengketa tersebut berawal dari adanya cidera janji/wanprestasi, tidak jarang Notaris juga digugat melakukan perbuatan melawan hukum dalam prosedur pembuatan aktanya.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, Notaris/PPAT selaku pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti. Kedudukan alat bukti tersebut memang diperlukan agar pihak-pihak didalamnya tunduk dan patuh terhadap hak dan kewajiban yang mereka tentukan sendiri. Oleh karenanya setiap akta yang dibuat selalu memiliki potensi terjadinya sengketa, baik potensi karena pejabat umum tidak melaksanakan kewajiban formil, maupun sengketa sebagai akibat dari pelaksanaan akta. Sengketa yang timbul dari suatu akta otentik hampir selalu melibatkan pejabat umum yang membuat akta itu sebagai tergugat, bahkan dapat juga menempatkannya sebagai tersangka/terdakwa apabila terkait tindak pidana.

 

Penerapan Manajemen Resiko

Sejak pejabat umum (Notaris/PPAT) diangkat dan diambil sumpahnya, maka kepadanya telah diberikan wewenang untuk melayani masyarakat terkait kebutuhan akan alat bukti tertulis yang otentik. Pelaksanaan wewenang itu, kemudian Notaris/PPAT membuka kantor untuk melayani masyarakat. Aspek pelayanan tersebut, kemudian Notaris/PPAT dapat mempunyai pegawai/karyawan untuk membantu tugasnya. Notaris/PPAT merupakan jabatan yang diberikan kepada seseorang, walaupun dalam pelaksanaan dari jabatan tersebut diperlukan suatu tim dan dikerjakan secara bersama-sama, namun hal tersebut semata-mata adalah membantu jabatan dimaksud, sehingga undang-undang sama sekali tidak memberikan pengaturan mengenai persyaratan dan hal-hal yang harus dimiliki oleh kantor Notaris/PPAT, sehingga tidak ada standarisasi pengelolaannya.

Notaris/PPAT juga dapat dianggap sebagai suatu profesi, yaitu suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian dan persyaratan khusus, yang dilakukan secara terus-menerus dengan tujuan memberikan pelayanan dan mendapatkan penghasilan. Sebagai suatu profesi, Notaris/PPAT juga perlu berhimpun dalam suatu organisasi profesi.

Sebagai anggota pada organisasi profesi, pada umumnya ditetapkan standar moral atau etika dalam menjalankan profesi yang biasa disebut kode etik. Disamping mengatur mengenai etika, organisasi profesi juga memberikan perlindungan hukum melalui pemberian bantuan hukum bagi anggotanya yang sedang menjalani permasalahan hukum.

Jabatan Notaris/PPAT dan kantor tempat melaksanakan jabatan tersebut, berikut sarana pendukungnya, yang meliputi sumber daya manusia (SDM) yaitu bagi pejabatnya sendiri, juga karyawan/pegawai yang membantunya, setidaknya memiliki pengetahuan yang diperlukan.

Oleh karena setiap akta yang dibuat yang sejak awal memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti tertulis, sehingga setiap akta selalu berpotensi menjadi sengketa. Sehingga diperlukan langkah pencegahan (preventif) melalui prinsip kehati-hatian, juga diperlukan langkah represif, bilamana akta tersebut menimbulkan sengketa.

Dalam hal sengketa yang timbul adalah sengketa perdata, maka akan menjadikan Notaris/PPAT sebagai pihak yang digugat. Sehingga Notaris/PPAT harus ikut beracara di muka pengadilan sebagai Tergugat.

Terhadap gugatan yang menjadikan Notaris/PPAT sebagai tergugat, setidaknya menjadikan Notaris/PPAT memahami tatacara dan prosedur persidangan sengketa perdata. Pemahaman tersebut menjadi penting agar gugatan yang diajukan dapat dibantah dan ditangkis sesuai hukum acara perdata. Dalam menghadapi sengketa itu terkadang Notaris/PPAT perlu menunjuk tenaga profesional lainnya, yaitu penasehat hukum atau advokad atau lawyer.

Sebagaimana uraian sebelumnya, hak yang didapat Notaris/PPAT dari pembuatan akta adalah honorarium yang jumlah/besarannya tentunya tidak berimbang apabila setiap sengketa yang timbul dari pembuatan akta, meminta bantuan penasehat hukum (lawyer). Oleh karenanya pengelolaan Kantor Notaris/PPAT yang modern diperlukan manajemen pengelolaan yang memiliki SDM yang mampu mencegah terjadinya sengketa, juga diperlukan SDM dalam penyelesaian sengketa.

Kriteria karyawan/pegawai pada Kantor Notaris//PPAT disamping memiliki kemampuan komputer dan pengetikan sebagai kemampuan pokok. Perlu dilakukan modernisasi adanya tenaga Quality Control (QC) yang memiliki pengetahuan hukum yang cukup, baik terhadap konsep minuta maupun terhadap salinan/kutipan yang akan dikeluarkan sebagai sarana pencegahan. Juga diharapkan memiliki SDM yang memahami hukum acara perdata, sehingga setiap sengketa yang timbul tidak harus menggunakan bantuan tenaga penasehat hukum atau advokad atau lawyer.

Pada dasarnya, sengketa yang timbul akibat terjadinya wanprestasi, hanya akan menempatkan Notaris/PPAT sebagai turut tergugat, yang menempatkan Notaris/PPAT sebagai pihak yang diminta patuh pada isi putusan. Kedudukan sebagai Turut Tergugat itu terkadang sudah cukup menimbulkan kepanikan bagi Notaris/PPAT yang bersangkutan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena pada umumnya mereka tidak memahami hukum acara perdata, serta tidak memahami akibat hukum dari turut tergugat.

Dengan memiliki SDM yang memahami hukum acara perdata pada Kantor Notaris/PPAT, maka sengketa yang timbul dari pembuatan akta yang menjadikan Notaris/PPAT sebagai tergugat (turut tergugat), dapat dilakukan analisis awal, apakah  perlu bantuan penasehat hukum atau tidak. Dalam hal diputuskan tidak menggunakan jasa bantuan hukum, maka pegawai yang memiliki pemahaman hukum acara perdata mempersiapkan eksepsi dan duplik dari sisi hukum formil, sedangkan Notaris/PPAT yang dapat dianggap sebagai ahli hukum memperhatikan sisi hukum materiil terkait materi gugatan.

Dalam hal dipertimbangkan belum diperlukan adanya SDM yang memahami hukum acara perdata, maka apabila terjadi sengketa yang melibatkan Notaris/PPAT sebagai tergugat (turut tergugat), maka dapat meminta bantuan / advice kepada teman sejawat yang memiliki pengalaman sebagai lawyer atau kepada biro hukum pada organisasi profesi dalam menyelesaikan sengketa dimaksud. Tentunya menjadi kewajiban organisasi memberikan bantuan hukum yang diminta sebagai bentuk perlindungan hukum kepada anggota dari organisasi profesi.

 

Kesimpulan

Jabatan sekaligus profesi hukum sebagai Notaris/PPAT yang diberikan wewenang membuat alat bukti, tentu saja alat bukti dimaksud selalu memiliki potensi terjadi sengketa. Notaris/PPAT yang dijadikan tergugat atau turut tergugat dalam sengketa perdata, merupakan hak warga negara yang merasa kepentingannya dilanggar sebagai cermin dari negara hukum. Oleh karenanya kedudukan sebagai Tergugat atau Turut Tergugat belum menjadikan Notaris/PPAT sebagai pihak yang bersalah, dan tidak seharusnya menimbulkan kepanikan pada diri Notaris/PPAT. Setiap permasalahan hukum (sengketa) perlu dihadapi dan dibuktikan sendiri dan/atau dengan bantuan penasehat hukum bahwa Notaris/PPAT yang dijadikan Tergugat atau Turut Tergugat, telah menjalankan jabatannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA