BENTUK IDEAL AKTA KETERANGAN HAK WARIS YANG DIBUAT NOTARIS

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6822205242648022" 

     crossorigin="anonymous"></script> 

 

BENTUK IDEAL AKTA KETERANGAN HAK WARIS YANG DIBUAT NOTARIS

Oleh: Agus Suhariono

Email: agus.suhariono@gmail.com


Pada tanggal 23 Agustus 2021, telah diundangkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat Permen ATR/KBPN No. 16/2021). Peraturan Menteri tersebut mengubah beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah.

Salah satu hal yang diubah adalah Pasal 111 ayat (1) c tentang alat bukti waris yang dapat dipergunakan untuk pendaftaran peralihan hak atas karena pewarisan. Salah satu alat bukti waris yang dapat dipergunakan sebagai dasar peralihan hak karena warisan adalah yang diterbitkan oleh Notaris. Selanjutnya alat bukti waris itu, penulis akan menggunakan istilah Akta Keterangan Hak Waris (disingkat AKHW)

Pada peraturan sebelumnya, Notaris hanya dapat menerbitkan AKHW khusus bagi WNI keturunan Tionghoa yang tunduk pada hukum waris menurut KUH Perdata. Namun sekarang ini kekhususan tersebut seolah-olah dihilangkan. Artinya seolah-olah Notaris dapat menerbitkan AKHW untuk semua hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat dan KUHPerdata itu sendiri. Dengan demikian seolah-olah wewenang Notaris dalam menerbitkan AKHW diperluas, yang semula hanya berwenang untuk hukum waris KUHPerdata saja, sekarang ini seolah-olah juga berwenang untuk menerbitkan AKHW yang tunduk pada hukum waris Islam dan hukum waris adat.

Kata “seolah-olah” digunakan oleh penulis, karena ketentuan Pasal 111 ayat (1) c angka 5 Permen ATR/KBPN No. 16/2021 mengandung multi tafsir. Sehingga penulis menafsirkan bahwa Notaris adalah salah satu pejabat yang dapat menerbitkan AKHW untuk semua hukum waris yang berlaku di Indonesia, baik hukum waris Islam, hukum waris adat dan KUHPerdata.

Fokus kajian pada penulisan ini adalah pembuatan AKHW oleh Notaris bagi WNI yang tunduk pada hukum waris Islam dan hukum waris adat. Dengan pertimbangan, hukum waris Islam dan hukum waris adat bentuknya tidak tertulis, yang tentunya akan menimbulkan dilema bagi Notaris, apabila ada masyarakat yang meminta bantuan kepada Notaris untuk dibuatkan AKHW nya. Notaris pasti kebingungan dalam mencari pedoman yang akan diterapkan dalam pembuatan AKHW dimaksud.

Apabila Notaris salah dalam menetapkan ahli waris, tentunya akan menimbulkan konsekuensi hukum bagi Notaris. Artinya dapat saja Notaris dimintai tanggung jawab secara hukum.

Adapun pembahasan dari permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

 

1.   Dasar Hukum Wewenang Notaris Dalam Membuat AKHW

Wewenang Notaris dalam membuat AKHW tidak memiliki dasar hukum, karena pedoman bagi Notaris menjalankan jabatan adalah UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UUJN). Apabila ditelusuri, tidak ada satu Pasal pun yang dapat ditafsirkan Notaris berwenang menerbitkan AKHW.

Wewenang Notaris dalam membuat AKHW adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Notaris di zaman Hindia Belanda yang pada saat itu berpedoman pada Peraturan Jabatan Notaris disingkat PJN (Stb. 1860 No.3). Oleh karena PJN juga tidak mengatur mengenai wewenang Notaris dalam membuat AKHW, maka untuk kebutuhan hukum, Notaris di zaman Hindia Belanda mengikuti pengaturan Notaris di Negeri Belanda. Dengan demikian dapat diketahui wewenang Notaris di Indonesia, yang diadopsi dari PJN selanjutnya diganti dengan UUJN tidak ada ketentuan yang mengatur wewenang Notaris untuk membuat AKHW.

Berdasarkan kebiasaan yang dilakukan Notaris di zaman Hindia Belanda, maka Notaris di Indonesia dalam membuat AKHW, dibuat dalam bentuk surat atau yang dikenal dengan istilah brevet akta. Surat tersebut hanya berisikan keterangan notaris yang dibuat dan disimpulkan dari alat bukti yang diberikan kepada Notaris. Di samping itu sebagai pendukung biasanya dibuat akta Pernyataan/Kesaksian yang memuat pernyataan (ahli) waris mengenai kebenaran data yang diberikan juga kesaksian orang-orang yang mengetahui riwayat Pewaris ketika masih hidup.

Dalam perkembangannya, pembuatan AKHW dalam bentuk brevet dapat menimbulkan beban tanggung jawab yang cukup berat bagi Notaris. Karena apabila keterangan atau ketetapan / keputusan notaris yang dimuat dalam surat itu mengandung ketidakbenaran, maka Notaris dapat dianggap memberikan keterangan palsu sehingga Notaris dapat dipidana.

Banyaknya Notaris yang dipidana ketika membuat AKHW dalam bentuk brevet akta, menjadikan beberapa Notaris melakukan terobosan dengan membuat AKHW dalam bentuk akta pihak (otentik). Pada AKHW yang dibuat dalam bentuk akta otentik tersebut, memuat pernyataan dan kesaksian dari para pihak. Selanjutnya berdasarkan pernyataan dan kesaksian itu, Notaris memberikan ketetapan/kesimpulan dengan memperhatikan hukum waris, siapa-siapa yang menjadi ahli waris.

Terobosan tersebut tampaknya cukup mengurangi beban tanggung jawab Notaris. Karena apabila terjadi sengketa atas AKHW dapat dengan mudah ditelusuri sumber ketidakbenaran atau kesalahannya. Pada akhirnya Notaris dapat terhindar dari jerat pidana. Namun demikian AKHW dalam bentuk akta pihak tidak memenuhi ketentuan struktur akta sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UUJN, yang pada intinya akta pihak memiliki struktur dan beban tanggung jawab, yaitu :

a.       Kepala akta, yang memuat:

-    Judul

-    Nomor

-    Tanggal

-    Uraian bahwa penghadap telah secara nyata menghadap (secara fisik) kepada notaris dan saksi-saksi

b.      Badan akta

Bagian ini adalah keterangan para pihak yang disampaikan kepada Notaris. Badan akta merupakan kehendak mereka sendiri, Notaris hanya berfungsi mencatat kehendak mereka ke dalam akta.

c.       Penutup akta, memuat:

- Tempat akta dibacakan/diresmikan

- Keterangan mengenai saksi-saksi

- Tata cara pembacaan dan penandatangan akta

- Keterangan mengenai renvooi

Jika terdapat ketidakbenaran atau kesalahan pada struktur akta, memiliki beban tanggung jawab yang berbeda-beda.

Ketidakbenaran atau kesalahan pada kepala dan penutup akta merupakan tanggung jawab Notaris. Sedangkan ketidakbenaran atau tidak dapat dilaksanakan kehendak yang dibuat pada badan akta merupakan tanggung jawab para pihak sendiri.

Apabila dikaitkan dengan AKHW yang dibuat dalam bentuk akta otentik (akta pihak), namun tidak sesuai dengan struktur keputusan atau keterangan atau ketetapan Notaris dan beban tanggung jawabnya. Sehingga penulis berpendapat AKHW dalam bentuk akta pihak kurang tepat apabila dikaitkan struktur akta notaris yang diatur dalam Pasal 38 UUJN.

 

2.   Karakteristik Alat Bukti Waris

Sebagaimana telah diuraikan diatas, alat bukti waris adalah keterangan atau keputusan atau kesimpulan dari pejabat yang menerbitkannya. Kesimpulan itu merupakan alat bukti (proof) yang dibuat dengan memperhatikan ketentuan dari hukum waris (bersifat saisine)[1] dari data/alat bukti (evidence) yang diberikan kepada pejabat tersebut. Dalam hal pejabat dimaksud adalah Notaris, maka AKHW merupakan kesimpulan (proof) dari Notaris yang dibuat dengan memperhatikan hukum waris berdasarkan data / alat bukti (evidence) yang diberikan kepada Notaris.

Menurut hukum perdata, sebagaimana ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti (evidence) terdiri dari:

a.       bukti tertulis

b.      bukti saksi;

c.       persangkaan;

d.      pengakuan;

e.       sumpah.

Berdasarkan macam-macam alat bukti tersebut, maka dapat dihimpun:

a.       alat bukti tertulis

misal akta kematian, akta perkawinan, akta kelahiran, keterangan dari daftar pusat wasiat (DPW), akta wasiat dll.

b.      bukti saksi

berupa kesaksian orang-orang yang mengenai riwayat hukum pewaris

c.       pengakuan

berupa pengakuan dari ahli waris

Setelah memeriksa bukti-bukti tersebut, selanjutnya Notaris memberikan penetapan ahli waris.

 

3.   Bentuk Ideal AKHW

UUJN merupakan pedoman bagi Notaris dalam menjalankan jabatan, yang didalamnya antara lain memuat kewenangan, prosedur dan tatacara pembuatan akta notaris. Adapun kewenangan utama Notaris, dimuat dalam Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan:

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (garis bawah oleh penulis)

Frasa kata “penetapan” dari ketentuan di atas, mengandung makna bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai penetapan. Ketentuan tersebut juga menggunakan kata “semua” artinya tidak ada pembatasan suatu penetapan tertentu. Dengan demikian menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN di atas, menunjukkan Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai penetapan (waris).

Mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata, menurut jenisnya akta otentik terbagi menjadi akta pejabat (relaas acte) dan akta pihak (partij acte). Beban tanggung jawab pada kedua jenis akta tersebut berbeda. Pada akta pejabat, merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari Notaris yang membuatnya. Sedangkan pada akta pihak terjadi pemisahan tanggung jawab, yaitu pada bagian kepala dan penutup akta menjadi tanggung jawab Notaris, bagian badan akta menjadi tanggung jawab para pihak sendiri. 

Dengan merujuk pada karakteristik AKHW, maka bentuk AKHW yang ideal adalah akta pejabat (relaas acte). Adapun prosedur sebagai berikut:

1.   Adanya surat permohonan/permintaan pembuatan AKHW dari orang yang mengaku sebagai ahli waris dari Pewaris (dilampiri alat bukti tertulis)

2.   Saksi-saksi yang mengetahui riwayat hidup Pewaris

3.   Saksi yang memahami hukum waris, misal ulama/kyai bagi hukum waris Islam atau pemuka adat bagi hukum waris adat

4.   Pemohon membuat pengakuan sebagai ahli waris dengan menceritakan silsilah keluarga

Sedangkan struktur aktanya sebagai berikut:

 

AKTA HAK WARIS

Nomor

-Pada hari ini, …

pukul …

-Saya, …., Notaris di…, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, Notaris kenal dan nama-namanya akan disebutkan pada bagian akhir akta ini

-Atas permintaan dari:

1. uraian pemohon

2. dst

Berdasarkan surat permohonan tanggal… dibuat dibawah tangan bermeterai cukup, yang dilekatkan pada minuta akta ini,

-untuk membuat akta hak waris dari ...

-Telah hadir dan karenanya berhadap dengan saya, Notaris dengan dihadiri para saksi:

1. Pemohon 1

2. Pemohon 2 dst.

3. Saksi 1 orang yang mengetahui riwayat hidup pewaris

4. Saksi 2 orang yang mengetahui riwayat hidup pewaris

5. Saksi 3 orang yang paham hukum (khusus untuk hkm waris Islam/Adat)

-Para penghadap dikenal oleh saya, notaris.

-Para penghadap menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut:

1.   bahwa pada tanggal … telah meninggal dunia …, yang bertempat tinggal terakhir di … sebagaimana Akta Kematian … (selanjutnya disebut Pewaris)

2.   bahwa penghadap … dan penghadap … (pemohon) mengakui hal-hal sebagai berikut:

a.   selama hidup Pewaris telah  menikah  untuk  pertama  kalinya di … dengan … sebagaimana Akta Perkawinan …, dengan/tanpa perjanjian kawin.

b.   dari  perkawinan tersebut telah lahir … orang anak sah yang masih hidup yaitu :

1) penghadap….

2) penghadap…. Dst.

c.   Pewaris tidak pernah mengangkat atau mengakui anak.

3.   Penghadap … dan penghadap …, memberikan kesaksian bahwa mereka mengetahui riwayat hidup Pewaris, sebagai berikut:

a.   selama hidup Pewaris telah  menikah  untuk  pertama  kalinya di … dengan … sebagaimana Akta Perkawinan …, dengan/tanpa perjanjian kawin.

b.   dari  perkawinan tersebut telah lahir … orang anak sah yang masih hidup yaitu :

1) penghadap….

2) penghadap…. Dst.

c.   Pewaris tidak pernah mengangkat atau mengakui anak.

4.   Penghadap … dalam kedudukannya selaku kyai/ulama (pemuka adat) memberikan keterangan bahwa menurut hukum waris Islam/adat yang berlaku bagi Pewaris, maka ….

-Bahwa menurut surat elektronik dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tertanggal … Nomor … tidak terdaftar akta wasiat atas nama Pewaris.

-Bahwa berdasarkan pengakuan dan kesaksian tersebut diatas serta setelah meneliti semua surat-surat yang diperlukan dan ada hubungannya dengan pembuatan akta ini, maka saya, Notaris, menetapkan:

-bahwa yang ahli waris dari …………… adalah :

1.

2.

3.

-Dan dengan demikian hanya merekalah yang bersama-sama merupakan satu-satunya/segenap ahliwaris dengan menge­cualikan siapapun juga berhak menuntut dan menerima dan memberikan tanda penerimaannya yang sah mengenai barang-barang, uang dan pembayaran-pembayaran oleh Bank dan maskapai-maskapai asuransi jiwa yang termasuk dalam harta peninggalan Pewaris.

-demikian itu dengan mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.

-Akhirnya para penghadap menerangkan, bahwa segala pengakuan dan kesaksian serta rangkaian tersebut memang sesuai dengan keadaan, serta kenyataan yang sebenarnya, dan untuk itu para penghadap selalu sanggup untuk disumpah atas kebenaran pengakuan dan kesaksiannya tersebut. dan karena hal-hal tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka pengakuan dan kesaksian, serta rangkaian tersebut dalam bantuan, cara serta alasan apapun tidak akan dicabut/ditarik kembali.

DEMIKIAN AKTA INI

Dst.

Contoh bentuk akta di atas, memuat surat permohonan/permintaan, alat bukti tertulis, pengakuan dan kesaksian baik saksi kejadian dan saksi ahli. Sehingga bentuknya adalah akta pejabat (relaas acte).

Penulis membuka forum diskusi baik melalui kolom komentar ataupun melalui email.

Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan mengenai kekaburan kata penetapan pada Pasal 15 ayat (1) UUJN sehingga penulis menafsirkannya melalui tulisan ini. Agar simpang siur bentuk AKHW dapat diakhiri. Terima kasih telah bersedia membaca tulisan ini. Salam


<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6822205242648022"
     crossorigin="anonymous"></script>

[1] Menurut Pasal 833 ayat (1) jo. Pasal 874 KUH Perdata, yang pada intinya hak saisine adalah beralihnya hak dan kewajiban Pewaris kepada ahli waris karena hukum (dengan sendirinya/otomatis) tanpa dibutuhkan suatu perbuatan tertentu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA