PEMAHAMAN PRINSIP PARATE EKSEKUSI PADA HAK TANGGUNGAN

 

PEMAHAMAN PRINSIP PARATE EKSEKUSI PADA HAK TANGGUNGAN

Oleh:

Agus Suhariono

Email: agus.suhariono@gmail.com

 

Diundangkan dan diberlakukannya No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan memiliki tujuan terciptanya kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya debitur dan kreditur, sehingga tercipta ketertiban dan rasa keadilan.

Salah satu tujuan dari undang-undang tersebut adalah mengatur kemudahan eksekusi, apabila debitur wanprestasi.

Sebagaimana fungsi jaminan yaitu memberikan jaminan kepada kreditur, bahwa debitur akan melaksanakan prestasinya tepat waktu sesuai yang diperjanjikan. Dalam hal prestasi debitur tidak dapat atau tidak tepat waktu dilaksanakan sesuai yang diperjanjikan, maka debitur dianggap telah melakukan cidera janji / wanprestasi.

Wanprestasi yang dilakukan debitur, menjadikan kreditur dapat menuntut agar debitur memenuhi prestasinya, yaitu mengembalikan pinjaman yang telah diterimanya dengan seketika dan sekaligus.

 Apabila debitur tetap tidak dapat melakukan pelunasan yang dituntut kreditur, maka kreditur diberi hak oleh undang-undang (by law) untuk menjual barang jaminan dan hasil penjualannya dijadikan pelunasan kepada kreditur.

Hak kreditur untuk menjual barang jaminan, oleh undang-undang telah diatur cukup jelas, yaitu melalui sarana pelelangan umum dengan harapan akan diperoleh harga tertinggi dan transparan.

Penjualan barang jaminan melalui pelelangan ini adalah upaya paksa (ekskusi) yang tidak memerlukan persetujuan (kesepakatan) dari debitur.

Di samping melalui upaya paksa (eksekusi), penjualan barang jaminan dapat juga dijual secara dibawah tangan atas kesepakatan kreditur dan debitur, sepanjang menguntungkan kedua belah pihak.

Pengaturan upaya paksa (eksekusi) penjualan barang jaminan yang diatur dalam UU No. 4/1996, tidak dapat berdiri sendiri karena undang-undang tersebut merupakan bagian dari sistem hukum yang saling terkait dan harus selalu dikaitkan juga dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu hukum acara perdata dan perundang-undangan di bidang lelang.

Hak tanggungan memilik sifat sebagai perjanjian tambahan (asseoir) dari perjanjian pokok yang umumnya disebut perjanjian kredit. Hak tanggungan harus didaftarkan, agar memperoleh kepastian dan perlindungan hukum.

Pendaftaran hak jaminan tersebut akan menghasilkan sertifikat hak tanggungan. Oleh undang-undang sertifikat hak tanggungan, diberikan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Irah-irah tersebut merupakan ciri khas dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Oleh karena sifatnya telah tetap dan mengikat (inkract), maka putusan yang demikian memiliki kekuatan eksekutorial.

Selanjutnya di dalam hukum acara perdata yang diatur dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg., dinyatakan:

Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang memakai perkataan: atas nama keadilan di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada Pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti”.

Berdasarkan ketentuan di atas, hukum acara perdata memberikan perlakukan khusus bagi perjanjian hutang-piutang. Artinya khusus untuk perjanjian hutang-piutang yang dijamin dengan hipotik, maka kedua surat yaitu:

-          (asli) surat hipotik dan

-          (asli) surat utang,

Kedua surat itu dapat dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah inkracht, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial. Kata asli tersebut kemudian di istilahkan sebagai grosse (salinan pertama).

Dengan adanya ketentuan tersebut, apabila debitur wanprestasi maka kreditur dengan berbekal grosse surat hipotik dan grosse akta utang, telah dianggap dapat menjalankan upaya paksa (eksekusi) untuk menjual barang jaminan melalui pelelangan umum. Artinya kreditur tidak perlu lagi menuntut debitur wanprestasi, tetapi cukup meminta kepada hakim untuk memanggil debitur dan memberikan teguran (aanmaning) untuk melaksanakan prestasinya (melakukan pembayaran). Dalam waktu yang telah ditetapkan debitur masih tidak dapat melunasi, maka hakim dapat memerintahkan dilakukan penyitaan barang jaminan. Selanjutnya hakim mengajukan permohonan lelang kepada kantor lelang negara. Hasil penjualan melalui lelang diserahkan kepada kreditur sebagai pembayaran kewajiban debitur.

Upaya paksa (eksekusi) penjualan obyek hipotik di atas, lazimnya disebut eksekusi berdasarkan titel eksekutorial.

Prosedur eksekusi ini adalah:

  1. kreditur mengajukan gugatan aanmaning kepada pengadilan
  2. hakim memanggil dan menegur debitur,
  3. jika teguran tidak dilaksanakan, dilakukan penyitaan
  4. hakim bertindak selaku pemohon lelang
  5. kantor lelang negara melaksanakan lelang eksekusi

Titel eksekutorial sebagaimana ketentuan Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg., secara tegas berlaku terhadap hak jaminan berupa hipotik.

Agar ketentuan Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg., juga berlaku terhadap hak tanggungan, maka:

a.   Pada Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 4/1996, dinyatakan:

(2)  Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

(3)  Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

b.   Lebih lanjut dalam Penjelasan Ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan:

“Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata”.

Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa kedudukan sertifikat hak tanggungan adalah pengganti dari grosse akta hipotik, dan prosedur eksekusinya dilakukan sesuai hukum acara perdata, dalam hal ini Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg.

Dengan demikian tampak jelas bahwa sertifikat hak tanggungan, dimaksudkan sebagai perluasan grosse akta hipotik, sehingga frasa kata asli (grosse) akta hipotik pada Pasal Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg., diperluas yang dapat dibaca: sertifikat hak tanggungan adalah sama dengan grosse akta hipotik. Ketentuan tersebut tidak melebur/ menghilangkan keberadaan grosse akta hutang sebagai salah satu syarat lainnya, agar mempunyai kekuatan eksekutorial.

Di samping upaya paksa (eksekusi) berdasarkan titel eksekutorial yang memerlukan bantuan pengadilan. Dengan tujuan memberikan kemudahan kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya, maka oleh UU No. 4/1996 diatur juga upaya paksa (eksekusi) yang dilakukan berdasarkan prinsip parate eksekusi.

Prinsip parate eksekusi memiliki pengertian:

  1. tanpa bantuan pengadilan
  2. tanpa penyitaan
  3. kreditur menjadi pemohon lelang
  4. kantor lelang negara melaksanakan lelang eksekusi

Dengan demikian lelang eksekusi yang dilakukan berdasarkan prinsip parate eksekusi, maka surat-surat yang memiliki titel eksekutorial adalah: a) sertifikat hak tanggungan; dan b) grosse akta hutang. 

Sertifikat hak tanggungan hanyalah salah satu unsur dan harus didukung unsur lainnya, yaitu grosse akta hutang. Apabila kedua unsur tersebut tidak terpenuhi kedua-duanya, pelaksanaan lelang eksekusi berdasarkan prinsip parate eksekusi tidak sah menurut hukum.

Untuk keperluan pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan tersebut, instansi pemerintah yang mengurusi pelelangan berada di bawah kementerian keuangan.

Peraturan hukum mengenai lelang yang ada sekarang ini adalah produk hukum peninggalan kolonial, yang dimuat dalam Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 Nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 Nomor 190).

Berdasarkan kedua peraturan di atas, kemudian dibentuk Inspeksi Lelang yang bertanggung jawab kepada Direktuur van Financient di pemerintahan VOC, yang kemudian setelah Indonesia merdeka menjadi Menteri Keuangan.

Implementasi dari peraturan lelang peninggalan kolonial yang menunjuk Menteri Keuangan untuk membawahi kantor lelang negara sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat Indonesia.

Peraturan pelaksanaan dari Vendu Reglement/ Peraturan Lelang, yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan, dari waktu ke waktu sangat sering diubah.

Seringnya peraturan pelaksanaan lelang diubah tentunya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencerminkan hal-hal diatur di dalamnya tidak memiliki prinsip dan asas yang jelas, akibat tidak berkompetennya kementerian keuangan yang ditunjuk mengurusi pelelangan.

Saat ini peraturan pelaksanaan lelang diatur dalam PermenKeu No. 213/PMK.06/2020 yang mencabut Permenkeu No. 26/PMK.06/2016.

Pada bagian Lampiran dari PermenKeu No. 213/PMK.06/2020, disebutkan:

Persyaratan Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) terdiri dari:

a)   dokumen yang bersifat khusus yang disampaikan pada saat permohonan lelang terdiri dari:

(1)  salinan/fotokopi Perjanjian Kredit/ Akta Pengakuan Hutang/ Surat Pengakuan Hutang/ dokumen perjanjian utang piutang lainnya, atau dokumen pengalihan piutang dalam hal Hak Tanggungan berasal dari pengalihan piutang karena cessie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 613 KUH Perdata;

(2)  salinan/fotokopi Sertipikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan;

(3) fotokopi sertipikat hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan;

(4)  salinan/fotokopi Perincian Hutang/jumlah kewajiban debitor yang harus dipenuhi;

Berdasarkan persyaratan lelang eksekusi hak tanggungan tersebut, tampak bahwa Permenkeu No. 213/PMK.06/2020 bertentangan (konflik norma) dengan Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg., artinya persyaratan lelang eksekusi memuat alternatif, yaitu:

Perjanjian Kredit atau Akta Pengakuan Hutang atau Surat Pengakuan Hutang dsb. 

Menunjukan Menteri Keuangan yang menerbitkan PermenKeu No. 213/PMK.06/2020 tidak dapat membedakan kedudukan Perjanjian Kredit sebagai perjanjian pokok dengan Pengakuan Hutang sebagai perjanjian assesoir seperti halnya hak tanggungan.

Hal tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip bahwa kreditur memiliki wewenang (hak) untuk menjual, apabila:

a. adanya sertifikat hak tanggungan, dan

b. adanya grosse akta pengakuan hutang 

Berawal dari ketidakpahaman kementerian keuangan dalam menafsirkan Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg., sehingga lelang eksekusi hak tanggungan dilakukan dewasa ini tidak memberikan perlindungan hukum yang seimbang dan menimbulkan ketidakadilan bagi debitur.

Bagi masyarakat yang dirugikan secara langsung terhadap pelaksanaan lelang eksekusi yang dilakukan secara sewenang-wenang, tanpa dilengkapi grosse akta hutang dapat mengajukan pembatalan lelang kepada pengadilan.

Disamping itu juga dapat mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Agung atas Permenkeu No. 213/PMK.06/2020 dengan membandingkan hukum acara perdata yang dimuat dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258 R.Bg.

Secara hierarki, kedudukan hukum acara perdata dalam HIR/R.Bg., dipersamakan dengan undang-undang, sehingga derajatnya lebih tinggi daripada Permenkeu No. 213/PMK.06/2020.

Peraturan yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi (lex superior derogat legi priori) sehingga sangat layak Permenkeu No. 213/PMK.06/2020 terkait persyaratan lelang eksekusi pasal 6 UUHT di uji di MA.

Rekomendasi:

1.   Keberlakuan Vendu Reglement/ Peraturan Lelang sudah tidak sesuai perkembangan masyarakat, sehingga sangat mendesak di bentuk hukum lelang nasional.

2.   Pendelegasian wewenang kepada kementerian keuangan untuk mengurusi lelang sudah tidak tepat. Wewenang tersebut sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang berkaitan/mengurusi hukum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA