MENGKRITISI RATIO DECIDENDI MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UJI FORMIL UU CIPTA KERJA

 <script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6822205242648022"

    crossorigin="anonymous"></script>

MENGKRITISI RATIO DECIDENDI MAHKAMAH KONSTITUSI

TERHADAP UJI FORMIL UU CIPTA KERJA

Oleh: Agus Suhariono

 

Uji formil atau pengujian atas prosedur pembentukan undang-undang belum pernah terjadi sebelumnya. Artinya uji formil UU Cipta Kerja merupakan kasus baru dan menjadi perbincangan yang menarik.

Sebagaimana diketahui, wewenang MK adalah menguji undang-undang untuk dibandingkan dengan konstitusi (UUD 1945)

Selanjutnya apabila mengacu pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, dinyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.  Ketentuan ini mencerminkan atribusi wewenang kepada DPR sebagaimana asas trias politika yang dianut Indonesia, yaitu pembagian kekuasaan.

Tugas utama DPR adalah membentuk undang-undang, yang pembahasannya dapat dilakukan bersama dengan Presiden (pemerintah), dan khusus yang terkait Pasal 22D pembahasannya dapat dilakukan bersama DPD.

Jadi unsur pemerintah dan/atau DPD dalam pembentukan UU hanyalah alternatif. Apabila pemerintah dan/atau DPD tidak ikut melakukan pembahasan atau menolak hasil pembahasan. Hal tersebut tidak mengurangi wewenang DPR dalam membentuk UU.

Lebih lanjut menurut Pasal 22A UUD 1945, dinyatakan: “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Ketentuan ini terkait dengan atribusi wewenang kepada DPR atau pembagian wewenang sebagaimana Pasal 20 ayat (1) di atas.

Namun MK justru berpendapat sebaliknya, bahwa UU yang mengatur mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pendelegasian dari Pasal 22A UUD 1945. 

Undang-Undang yang dimaksud Pasal 22A UUD 1945 adalah UU 12/2011. Undang-undang ini adalah produk hukum dari DPR sebagai pembentuk undang-undang.

Oleh karena UU 12/2011 dianggap pendelegasian dari konstitusi, maka UU 12/2011 oleh MK dipersamakan dengan konstitusi. 

Apabila merujuk pada konsep pembagian kekuasaan, wewenang DPR sebagai pembentuk undang-undang adalah wewenang yang diberikan oleh konstitusi. Artinya wewenang tersebut adalah atribusi dari konstitusi.

Atas dasar atribusi wewenang itu, apabila dikaitkan dengan Pasal 22A UUD 1945, konstitusi mengamatkan bahwa tatacara pembentukan undang-undang harus (hanya) diatur dengan undang-undang (yang dibentuk DPR). Jadi yang diamanatkan konstitusi adalah bentuknya harus dan hanya berupa undang-undang. Hal ini bukanlah bukanlah bentuk pendelegasian wewenang.

Jika dikaitkan dengan teori sumber kewenangan, apabila suatu kewenangan sudah diberikan secara atribusi tentunya sudah tidak diperlukan pendelegasian lagi kepada penerima wewenang yang sama. 

Oleh karena penafsiran yang diberikan MK, yang menurut penulis tidak tepat karena menafsirkan Pasal 22A UUD 1945 sebagai pendelegasian wewenag.

Sehingga semua pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK dalam melakukan uji formil UU Cipta Kerja adalah diuji dengan UU 12/2011 yang oleh MK dianggap sebagai konstitusi adalah tidak tepat pula.

Artinya MK membandingkan undang-undang dengan undang-undang, yaitu UU Cipta Kerja dengan UU 12/2011.

Walaupun MK berpendapat bahwa uji formil ini bukan menguji UU dengan UU, tentunya logika yang demikian adalah lucu, bagi lembaga yudikatif sekaliber MK.

Lebih konyol lagi... putusannya MK bersifat abu-abu (grey area) dengan menggunakan istilah inkonstitusional bersyarat. Dikutip darimana istilah ini ??

Jangka waktu perbaikan yang diberikanpun terbilang cukup pendek... hanya 2 tahun

Padahal jika merujuk Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 yang menguji UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Untuk menghapus diskriminasi batas usia saja, MK memberikan waktu 3 tahun.

Sedangkan pada UU Cipta Kerja yang materinya begitu banyak, yaitu merubah 77 UU dan mencabut 1 UU = total 78 UU hanya diberikan waktu 2 tahun. 

Rasio penentuan batas waktu ini juga tidak memiliki tolok ukur yang jelas, dan merupakan tafsir sepihak dari MK saja.

Tapi yach begitu lah…

Karena putusaan MK adalah putusan pertama dan terakhir serta mengikat maka kelucuan membanding UU dengan UU tidak dapat dipungkiri.

Lagi pula beberapa putusan MK telah dengan mudah menganulir suatu norma/pasal dan merumuskan norma baru (bukan wewenang MK membuat norma baru), menunjukkan MK mulai menunjukkan sebagai lembaga maha kuasa.

Andai UU MK di ubah yang kemudian dianggap merugikan MK, maka UU itu pasti akan di uji oleh MK sendiri sehingga pada akhirnya hanya yang menguntungkan bagi MK saja.

Ada baiknya wewenang MK dibatasi juga melalui amandemen konstitusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKTA BERITA ACARA PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM VIA TELEKONFERENSI

PROSEDUR PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN (VERLEIDEN) AKTA NOTARIS AGAR MEMILIKI KEKUATAN SEBAGAI AKTA OTENTIK

MENGKRITISI DUALISME KEPENGURUSAN IKATAN NOTARIS INDONESIA